Levi terkesiap mendengar suara teriakan Lody dari dalam kamar utama. Dia langsung bangkit dari sofa dan bergegas ke arah asal suara.
“Kak Nadip…” Kini suara Lody terdengar parau sambil memanggil nama Nadip dalam tidurnya.
Levi mendekati ranjang dan duduk di pinggirannya. Dilihatnya bantal yang menyanggah kepala Lody sudah dibasahi oleh air mata. Perlahan Levi menghapus jejak air mata yang masih basah di pipi gadis itu. Dia melakukannya dengan hati-hati karena khawatir perbuatannya ini akan membangunkan Lody.
“Aku nggak sanggup lihat kamu berduka sedalam ini, Dy. Aku juga merasa kehilangan Nadip. Tapi kenapa seolah-olah kamu yang harus menanggung semua duka kehilangan itu?”
Sebenarnya Levi masih ingin terus memandangi wajah Lody yang kini sudah berhenti menangis dan mengigau dengan memanggil nama Nadip. Namun suara ponsel dari arah ruang televisi menuntutnya untuk segera meninggalkan kamar ini. Levi meraih ponsel yang terletak di atas meja. Ada nama kontak dengan nama Om Bayu sedang berusaha melakukan panggilan telepon. Tanpa pikir panjang Levi menerima panggilan telepon tersebut.
“Lody sudah tahu semuanya?” tanya Bayu setelah panggilan telepon terhubung.
“Iya, Lody sudah tahu.”
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Dia shock berat dan nggak berhenti menangis. Cuma itu aja, nggak terlalu menunjukkan emosi yang berlebihan. Cenderung lebih banyak diam, tatapannya kosong dan justru sikap seperti itu yang mengkhawatirkan karena pikirannya sama sekali nggak ketebak.”
Bayu terdengar menarik napas dalam-dalam dan menyemburkannya dengan kasar. Pria itu sangat mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya saat ini. “Sekarang kalian di mana?” tanya Bayu setelah terdiam selama beberapa detik.
“Saya dan Lody sudah ada di apartemen saya. Sekarang Lody sedang tidur. Barusan ngigau lagi. Panggil-panggil nama Nadip sambil nangis.”
“Saya titip Lody ya, Lev. Sementara ini saya belum bisa menemui kalian. Saya mau menyelesaikan urusan di sini dulu. Kalau kamu butuh sesuatu bisa hubungi Caca. Dia sahabat Lody. Nanti biar saya kasih kontak telepon kamu sama Caca.”
“Baik, Om. Lody aman. Nanti kalau saya butuh sesuatu seputar keperluan Lody, saya akan hubungi Caca.”
“Terima kasih, Lev.”
“Nggak perlu berterima kasih seperti itu. Lody sudah menjadi tanggung jawab saya sekarang.”
“Ya, saya percaya kamu pasti bisa menjaga Lody.”
Kemudian panggilan telepon diakhiri. Tak berselang lama ponselnya berdenting sekali, tanda pesan singkat masuk. Sebuah chat singkat bertuliskan “Save nomerku. Caca.” Levi kemudian langsung menghubungi sahabat Lody itu. Dia meminta pada Caca untuk datang ke apartemennya sambil membawa barang-barang keperluan milik Lody seperti pakaian ganti dan perlengkapan lainnya. Dia berpikir sepertinya apartemennya adalah tempat terbaik bagi Lody untuk menenangkan diri. Hal yang paling dibutuhkan Lody untuk saat ini hingga beberapa waktu ke depan.
Sambil menunggu kedatangan Caca dan Lody yang masih tertidur pulas, Levi memutuskan untuk membereskan kekacauan di mobilnya. Dia merapikan barang-barang yang ada di mobil dan mengangkutnya ke unit apartemennya hingga tidak ada satupun yang tersisa di dalam sana. Setelah berada di unit apartemennya Levi mulai melipat pakaian pengantin yang tadi dikenakannya saat acara akad nikah dan menumpuknya menjadi satu dengan aksesoris kepala yang juga digunakan oleh Lody saat akad nikah.
Baru saja Levi menyelesaikan aktivitas beberesnya bel apartemennya berbunyi. Dia segera menuju pintu untuk mencari tahu siapa tamunya. Ternyata Caca yang datang bersama Alana, yang terlihat tidak familiar di mata Levi. Di samping kedua gadis itu ada sebuah travel bag ukuran mini dan juga sebuah tas jinjing di atasnya.
“Masuk yuk,” ujar Levi mempersilakan mereka dan mengambil alih travel bag yang berada di tangan Caca yang dia tebak milik Lody.
“Thanks, Kak. Ayo, Lana,” ajak Caca disambut sebuah anggukan dari Alana.
“Oiya, Kak. Sebelumnya perkenalkan dulu, ini Alana. Adiknya Sisi dari Semarang.”
Levi menyodorkan tangan seraya menyebutkan namanya. Hal yang sama juga diikuti oleh Alana. “Oiya, Kak. Ini tas sehari-harinya Kakak Lody. Isinya dompet, handphone dan kayaknya barang-barang pribadi punya Kakak Lody yang biasa dipakai sehari-hari,” ujar Alana menyerahkan sebuah tas perempuan berbentuk ransel warna beige kepada Levi.
“Kalau di travel bag itu isinya pakaian yang biasa dipakai Sisi sehari-hari. Ada baju tidurnya juga. Aku nggak bawain pakaian kerjanya karena Sisi bilang dia cuti seminggu. Jadi nanti biar dia aja yang ambil sendiri ke rumahnya kalau udah mulai kerja. Trus kalau tas yang kecilan itu isinya peralatan mandi, make up, skincare dan body care yang biasa dipakai Sisi sehari-hari juga. Nggak banyak karena dia orangnya nggak ribet kayak ciwik-ciwik pada umumnya,” jelas Caca lalu tersenyum setelahnya.
Levi balas tersenyum sembari mengangguk paham. Dia lalu menggeser posisi travel bag ke dekat meja bar tanpa mencari tahu isi di dalamnya. Nanti biar Lody sendiri yang membongkar barang-barangnya, pikir Levi.
“Kakak Lody di mana sekarang, Kak?” tanya Alana setelah menjelaskan barang bawaan milik Lody.
“Ada di kamar. Tapi lagi tidur,” jawab Levi sembari menunjuk ke arah kamar utama yang pintunya dibiarkan tidak tertutup rapat.
“Lana boleh masuk. Nggak mau bangunin cuma pengen lihat kondisi Kakak Lody,” kata Alana dengan mata berkaca-kaca. Gadis remaja itu kini sudah tahu kejadian buruk yang menimpa kakak tirinya. Sekalipun mereka jarang bertemu tapi Alana begitu menyayangi dan mengagumi Lody.
“Boleh, kok. Masuk aja,” jawab Levi diikuti langkah Alana menuju kamar yang tadi ditunjuk oleh Levi.
Sementara itu Caca dipersilakan duduk di ruang tamu oleh Levi. “Gimana tadi Sisi waktu tahu cerita yang sebenarnya, Kak?” tanya Caca membuka topik obrolan dengan Levi. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.
“Shock banget dia. Tapi shock-nya nggak yang histeris, apalagi sampai teriak-teriak gitu. Dia cuma lemas, nangis, diam dan meski sadar tatapannya itu kosong. Tadi di basement dia melakukan hal diluar dugaan. Malah aku yang shock,” jelas Levi.
“Hal di luar dugaan kayak gimana, Kak?” tanya Caca cemas.
“Aku nggak ngerasain dia bernapas. Tapi denyut nadinya masih ada semua. Kulitnya juga masih terasa hangat. Trus tiba-tiba dia bangun, lompat keluar dari mobil, abis itu lari dan hampir aja ketabrak mobil yang kebetulan melintas di basement.”
“Astaga, Sisi. Dia pasti kalut dan nekat ngelakuin hal-hal yang di luar nalar kayak bundir.”
“Kurang lebihnya seperti itu. Aku sendiri juga nggak tahu dia nggak bernapas udah berapa lama.”
“Sisi punya teknik tahan napas cukup baik, Kak. Dia kan mantan atlet renang indah. Mana baru-baru ini lagi demen banget diving. Nggak napas 15 sampai 20 menitan bukan hal sulit buat Sisi.”
“Oh, pantes. Tapi abis itu lemes banget badannya. Trus tidur sampai sekarang. Cuma ya gitu, bikin trauma. Hampir tiap sepuluh menit aku ngecek kondisi dia, takutnya ngelakuin hal seperti itu lagi.”
“Ortunya juga khawatir banget. Tadi bundanya mau ikut ke sini. Tapi nggak dibolehin sama Om Bayu takutnya Sisi masih nggak mau ketemu siapapun.”
“Aku pikir juga gitu. Makanya aku bawa ke sini karena tempat ini nggak banyak orang yang tahu, kecuali keluargaku sendiri.”
“Thanks ya, Kak. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan-sungkan buat ngerepotin aku,” kata Caca sambil merileks-kan tubuhnya. Biar bagaimanapun kini dia sedang menanggung beban cukup berat karena menjadi salah satu orang yang tahu tentang pernikahan yang harusnya tidak terjadi antara Levi dan Lody. Dia tidak berani membayangkan bagaimana reaksi Lody nanti ketika akhirnya tahu kalau sahabatnya ini mengetahui skenario yang terjadi hari ini.
Levi mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Aku pasti akan lebih sering menghubungi kamu. Meski aku kenal dengan Lody, tapi pernikahan ini terlalu mendadak. Butuh waktu banyak untuk kami saling mengenal satu sama lain lagi,” ujar Levi.
“Sebenarnya Sisi nggak banyak berubah. Sifat dan karakternya masih tetap sama kayak waktu SMA. Pendiam, dingin dan nggak banyak tingkah. Cuma ya gitu, kudu banyakin sabar dan istighfar kalau udah dikasih silent treatment sama Sisi,” lanjut Caca menjelaskan tentang karakter Lody pada Levi.
“Tapi kata Nadip nggak gitu. Nadip bilang Lody udah banyak berubah.”
“Ya, itu sih, karena Kak Nadip aja yang sabar banget ngadepin Sisi.”
Keduanya lalu tertawa ringan. Dari zaman putih abu-abu yang cenderung lebih akrab memang Levi dan Caca. Bahkan Caca pernah menyukai Levi, tapi hanya sekadar suka-suka ala remaja, tidak sampai pakai hati dan emosi. Lody bahkan tahu soal itu dan mendukung sahabatnya itu untuk terus mengejar Levi. Namun Caca bukan tipe cewek yang hanya cukup dengan menyukai satu orang cowok saja pada masa itu. Caca adalah tipe cewek yang gampang naksir orang kata Lody, kendati begitu hingga kini belum ada satupun laki-laki yang benar-benar bisa menyentuh hatinya.
“Pulang sekarang yuk, Kak Ca. Kakak Lody masih tidur. Dia pasti ngantuk dan capek banget. Dari semalam kan nggak tidur juga itu,” kata Alana sesaat setelah keluar dari kamar utama.
“Iya, ayo. Aku juga udah ngantuk. Kak Levi juga kelihatan capek banget,” sambung Caca sambil bangkit dari kursi ruang tamu. Selisih usia Levi dan Caca sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun karena angkatan sekolah Levi dengan Caca beda dua tingkat maka dari itu dia memanggil Levi dengan sebutan Kak Levi. Selain itu juga karena sudah kebiasaan sejak SMA memanggil dengan sebutan seperti itu.
“Buru-buru amat? Aku malah seneng ada kalian di sini. Jadi ada temen ngobrol,” ujar Levi santai.
“Udah malem juga ini, Kak. Nanti kalau aku dan Lana diculik gimana?” canda Caca yang mendapat pukulan pelan di pundaknya dari Alana.
“Tapi kalian berani ini pulang malam-malam gini?”
“Pulang clubbing juga biasanya sendiri, Kak,” balas Caca sembari berjalan menuju pintu apartemen.
“Clubbing banget ya, Ca?”
“Kayak Kak Levi nggak pernah aja.”
Levi hanya balas tertawa sambil membukakan pintu untuk kedua gadis yang baru saja datang mengunjungi unit apartemennya. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih karena sudah mau direpotkan olehnya.
~~~
^vee^