9. Jiwa yang Terguncang

1918 Words
Empat hari tinggal bersama tidak lantas mengubah kondisi hubungan Levi dan Lody. Keduanya masih tetap seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal satu sama lain. Sekalipun berbicara hanya seperlunya saja. Terutama Lody adalah menjadi pihak yang menghindar berinteraksi lebih sering dengan Levi. Hubungan mereka sangat jauh dari kata hubungan suami istri yang baru saja menikah. Yang dilakukan oleh Lody hanya mendekam di kamar dan keluar sebentar ketika Levi memanggilnya saat waktu makan tiba atau sekadar mengajaknya menonton televisi. Levi mencoba memahami posisi Lody yang masih berduka atas kematian orang yang sangat dicintai. Dia selalu berusaha mencari cara untuk bisa berinteraksi dengan Lody. Entah dengan cara menanyakan rekomendasi makanan yang enak, tempat makan yang nyaman dan private, bahkan sekadar mengajak Lody makan sesuatu dengan alasan dia kelebihan saat memesan makanan. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan membiarkan Lody merasa sendiri menghadapi hari-harinya, seperti yang pernah dikatakannya saat Lody tahu tentang kematian Nadip untuk pertama kalinya bahwa dia ada di sini untuk menemani dan menjaga Lody. Empat hari terakhir itu juga tidak sekalipun Lody absen mendatangi makam Nadip. Dia seolah sedang mencari pembenaran atas takdir yang menimpa kehidupannya. Betapa dia sangat mencintai laki-laki itu sampai sepanjang sujudnya dia terus memohon pada Sang Illahi kalau takdir kematian yang menimpa Nadip adalah mimpi buruk semata. Namun kali ini semesta sedang tidak mendengar doa-doa yang dipanjatkan oleh Lody. Karena terbukti papan nisan bertuliskan nama Naradipta itu masih terus ada dan ketika kulitnya menyentuh benda itu terasa nyata. Air matanya selalu jatuh setiap kali memandang batu nisan itu dan mendapati kenyataan pahit bahwa Nadip-nya terkasih telah benar-benar pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Hingga sampai pada momen dimana akhirnya Levi merasa saat ini dia sedang tidak menjadi dirinya sendiri hanya untuk mendapatkan atensi dari Lody. Dulu dia memang pernah seperti ini ketika SMA. Namun itu semua dilakukannya jelas hanya untuk memuaskan rasa penasaran kenapa Lody sangat berubah dengan Lody yang pernah dikenalnya di masa kecil. Ketika Levi tidak juga menemukan jawaban atas rasa penasarannya itu, ditambah dia juga tahu kalau Nadip juga menyukai Lody, maka sejak itu Levi memutuskan untuk berhenti mengejar Lody. Kini Levi akan mencoba melakukan pendekatan dengan Lody lagi, tapi kali ini dia melakukannya bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk Nadip. Setiap waktu dilewati oleh Levi untuk memastikan keadaan Lody tanpa memedulikan dirinya sendiri. Seperti pagi ini, Levi menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Lody. “Dy, aku udah nyiapin sarapan buat kamu di atas meja. Makan dulu ya,” ujar Levi setelah mengetuk pelan kamar utama yang kini menjadi kamar Lody. “Nggak perlu repot-repot. Aku bisa bikin sarapan sendiri kalau laper,” jawab Lody dari dalam kamar. “Nanti kamu lemes kalau nggak makan,” balas Levi. “Kalau kamu lagi males keluar kamar biar sarapannya aku antar ke kamar aja.” “Nggak usah sok baik sama aku, Lev. Kamu juga nggak perlu ngejatuhin pride kamu sebagai lelaki cuma buat narik perhatianku,” jawab Lody kemudian tubuhnya muncul dari balik pintu kamar yang dibukanya secara kasar. “Kamu pikir aku ngelakuin ini buat kamu? Salah, kalau kamu mikirnya seperti itu. Aku ngelakuin ini buat Nadip,” ujar Levi santai tapi terdengar tajam menusuk relung hati Lody. Levi tersenyum sinis lalu meraih tangan Lody dan dengan agak sedikit menyeret membawa Lody ke ruang makan. “Duduk! Lalu makan dengan tenang,” ujar Levi setelah menarik sebuah kursi untuk Lody. Setelah Lody menurut dia berpindah ke seberang meja lalu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Di apartemen ini sebenarnya cukup membantu Lody menghindari bertemu siapapun kenalannya termasuk keluarganya. Lody masih belum siap menghadapi dunia luar dengan perasaan yang masih diliputi rasa bersalah, kecewa dan marah. Sampai detik ini Lody memang masih terus menyalahkan dirinya sendiri atas kecelakaan yang menimpa Nadip. Namun yang membuat dia semakin merasa terpuruk adalah kekecewaan dan kemarahan di dalam hatinya terhadap orang tuanya yang punya andil besar atas terjadinya pernikahan antara dirinya dengan Levi. Berulang kali Ayah, Mamah, Caca bahkan Bunda yang masih bertahan di Jakarta hendak menemuinya, tetapi Lody menolak mentah-mentah rencana kunjungan itu. Sebenarnya Lody juga tidak mau berlama-lama tinggal seatap lagi dengan Levi yang artinya dia menerima pernikahan tanpa landasan cinta ini, sedangkan sampai detik ini dia masih enggan tinggal di rumah orang tuanya dan dia tidak punya tempat tinggal selain rumah kedua orang tuanya. Mau ngekos, sewa rumah atau sewa apartemen waktunya sudah mepet. Orang-orang juga akan curiga kalau dia memutuskan untuk tinggal di tempat yang berbeda dengan suaminya. Sial! Lody merasa seperti buah simalakam sekarang. Sementara itu waktu Lody untuk bersembunyi sudah habis. Akhirnya setelah dipikir berulang-ulang dia memutuskan tetap tinggal di apartemen Levi untuk sementara sambil memikirkan kehidupan dia ke depannya. Namun permasalahan baru kembali menghantui pikiran Lody. Dua hari lagi dia harus kembali bekerja. Dia butuh seragam, dan perlengkapan mengajarnya yang lain. Semua barang-barang yang dibutuhkannya itu tentu saja berada di rumah orang tuanya. Sehingga mau tidak mau Lody harus datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk mengambil barang-barang itu. Dia lalu berencana akan mendatangi rumah orang tuanya nanti di saat semua anggota keluarganya sedang tidak ada di rumah. Namun Lody lupa kalau dia memiliki ikatan batin yang cukup kuat dengan kedua orang tuanya. Bahkan meski Lekha adalah ibu sambung baginya wanita itu selalu tahu hal-hal yang dibutuhkan Lody saat ini. Lekha tahu masa cuti Lody sudah mau habis sementara anak perempuannya itu belum menunjukkan batang hidungnya di rumah untuk mengambil barang-barang penting yang dibutuhkan untuk bekerja. Di sinilah keluarganya berada sekarang, di unit apartemen Levi tanpa Lody tahu rencana kedatangan keluarganya itu. Kavi dan Caca turut serta bersama Bayu dan Lekha mendatangi apartemen Levi. Levi menyambut kedatangan mereka semua dengan ramah. Meski masih terasa canggung tapi dia berusaha memosisikan dirinya dengan baik sebagai bagian dari keluarga itu. Dia menyalami Bayu dan Lekha dengan sopan ketika bertemu. Beruntung Caca ikut, sehingga keberadaan gadis itu di sana membuat suasana terasa lebih nyaman. “Saya sengaja membawa makanan kesukaan Lody yang saya masak sendiri untuk kamu dan Lody,” ujar Lekha menyerahkan sebuah goodie bag pada Levi. “Semoga kamu juga suka ya,” “Lody pasti senang dikunjungi seperti ini, apalagi dibawain makanan kesukaan dia,” ujar Levi sambil mempersilakan keluarga Lody masuk sekaligus duduk di ruang tengah. Menurutnya suasana di ruang tengah lebih nyaman untuk berbincang ketimbang ruang tamu yang kesannya terlalu formal. “Gimana kabar Lody? Dia sama sekali nggak membalas pesan maupun telepon dari kami. Padahal telepon dan pesan yang kami kirim untuk Lody laporannya masuk,” ujar Bayu. “Kayaknya Sisi ngaktifin mode DND,” timpal Caca. “Kontaknya masih bisa ditelepon atau dikirimi pesan, tapi dia nggak menerima notifikasi apa pun.” “Oh, begitu,” balas Bayu dengan wajah sendunya. Levi sama sekali tidak tahu menahu tentang situasi ini. Dia memang belum pernah melihat Lody menyentuh ponsel selama beberapa hari terakhir setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama meski hanya sekadar makan maupun menonton televisi. Kini Levi merasa bersyukur atas keputusannya untuk tidak meletakkan televisi di dalam kamar. Sekarang dia jadi punya alasan membuat Lody keluar dari kamar, yakni mengajak gadis itu menonton televisi. “Saya taruh ini ke dapur dulu ya, terus panggil Lody,” ujar Levi tanpa ikut nimbrung ke dalam obrolan Bayu dan Caca tentang ponsel Lody. Lekha mengikuti langkah Levi ke dapur. “Levi, saya boleh menemui Lody sendirian nggak?” tanya Lekha dengan tatapan penuh harap. “Oh, boleh aja, Tante. Itu kamarnya di sana,” ujar Levi salah tingkah dengan permohonan Lekha. Karena menurutnya tidak seharusnya seorang ibu sampai memohon seperti itu hanya untuk bertemu dengan anak perempuannya. “Kok, Tante? Panggil Mamah juga seperti Lody,” ujar Lekha sambil tersenyum lembut di akhir ucapannya. Kalimat yang meluncur dari mulut Lekha terdengar ramah, menenangkan dan membuat Levi lebih lega saat ini. Ternyata kehadirannya tidak hanya dianggap sebagai calon suami pengganti untuk Lody, tetapi sudah benar-benar dianggap anggota baru dalam keluarga Lody sebagai suami sah Lody. Levi tersenyum kikuk lalu membalas teguran halus dari Lekha. “Iya, Mah.” “Saya tahu Lody pasti masih bersikap dingin sama kamu. Tapi saya minta kamu tetap bersabar menghadapi Lody. Saya nggak meminta kamu menjadi suami yang sempurna untuk Lody. Saya hanya minta kamu selalu ada di sisinya untuk saat ini dan selamanya,” jelas Lekha dengan mata mulai berkaca-kaca. Levi mengangguk. Dari awal dia sudah tahu resiko dan konsekuensinya ketika mengambil keputusan menikah dengan Lody. Namun yang membuat dia kuat bertahan lebih lama dalam situasi sulit ini adalah janjinya pada Nadip untuk melanjutkan pernikahan antara Nadip dan Lody dan menjadi suami yang sah bagi Lody. “Ya, saya akan selalu berusaha melakukan yang terbaik,” jawab Levi. Lekha tersenyum puas dan merasa lega karena menemukan tanda-tanda bahwa Levi sudah mulai menerima pernikahan yang terkesan begitu mendadak ini untuknya. Lekha lalu melanjutkan langkah menuju kamar yang tadinya ditunjukkan oleh Levi. Sementara Levi menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk para tamunya. “Dengar-dengar lo udah kerja di US ya, Lev?” tanya Caca. “Iya, setelah kuliah gue lanjut kerja di US,” jawab Levi sopan setelah meletakkan nampan dengan lima gelas minuman dingin di atasnya. “Lalu apa rencana kamu selanjutnya? Apa kamu berencana kembali ke US?” timpal Bayu tanpa bisa menyembunyikan wajah penasarannya. Dia merasa kasihan pada menantunya ini. Entah sudah berapa banyak hal dan waktu yang dikorbankan oleh pemuda ini demi memenuhi wasiat sahabatnya. Levi terdiam sejenak. Dia mencoba memikirkan jawaban paling tepat untuk diberikan kepada laki-laki yang kini statusnya sudah berubah menjadi ayah mertuanya. Dia tidak mungkin meninggalkan Lody dalam kondisi batin dan jiwa yang masih terguncang seperti itu. Namun mengajak Lody pindah ke US juga bukan solusi terbaik. Tidak hanya Lody yang menolak rencananya, keluarga gadis itu tentu saja akan sangat mempertimbangkan keputusan Levi tersebut, bahkan besar kemungkinan akan menunjukkan ketidak setujuan mereka. “Saya akan menetap di sini dan kemungkinan besar join firma hukum Papa.” Sebenarnya Levi belum memikirkan rencana selanjutnya setelah menikah secara mendadak. Dia bahkan belum pernah membicarakan rencananya itu dengan papanya. Sementara pekerjaan dia di Amerika sana tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Dia sudah merintis kariernya selama bertahun-tahun dan tidak mungkin ditinggalkan begitu saja sekalipun orang tuanya sendiri juga sudah sangat berharap dia secepatnya kembali dan tinggal lagi di tanah air. Sementara itu Bayu terlihat puas mendengar jawaban Levi. Tadinya dia berpikir akan menemukan jalan buntu untuk persoalan tersebut. Ternyata menantunya itu lebih bijak dari yang diperkirakan olehnya. “Saya senang mendengar rencana itu,” ujar Bayu lalu tersenyum tulus. Hatinya kini tenang karena bayangan akan berpisah jauh dengan anak perempuannya itu tidak benar-benar terjadi. Bayu menatap Levi dengan tatapan bersalah. Dia merasa menantunya ini adalah laki-laki yang bijaksana. Dia pikir Levi akan tumbuh menjadi seorang laki-laki yang tidak pengertian karena sudah cukup lama tinggal di negara maju. Bayu merasa lega telah ikut ambil andil dalam pengambilan keputusan Levi waktu itu untuk memenuhi permintaan Nadip. Sementara itu tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah kamar utama. Tak lama kemudian suara debuman pintu ditutup menggelegar mengisi ke seluruh penjuru unit apartemen. “Teteh dengerin dulu penjelasan Mamah,” pinta Lekha sambil mengetuk pintu kamar. Bayu yang mendengar suara keras itu segera lompat dari sofa dan berjalan cepat menuju kamar. Dia meminta Lekha untuk menyingkir dari pintu dan mengganti aktivitas istrinya. “Ayah nggak pernah mengajari kamu menyelesaikan sebuah masalah dengan cara seperti ini. Kamu boleh marah, ngambek atau apa saja. Tapi kamu nggak boleh bersikap kasar terhadap orang tua!” Suara Bayu terdengar tegas dan membuat siapapun yang mendengarnya membeku di tempat masing-masing. “Buka pintunya sekarang ya, Nak!” pinta Bayu, kali ini dengan nada bicara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD