Bab 2 - Pergi

1223 Words
Darrel pulang dalam keadaan setengah mabuk. Mejelang subuh pula. Apa dia sudah selesai bersenang-senang? Calandra hanya bisa memperhatikan Darrel yang melangkah sempoyongan menuju tempat tidur. Pria itu langsung menjatuhkan tubuh begitu saja ke kasur, tanpa sedikitpun peduli pada kondisi Calandra. Ia sama sekali tidak melihat mata Calandra yang membengkak akibat menangis semalaman. “Kak Darrel,” panggil Calandra. Meski hatinya sudah hancur semalam, rasa sayangnya membuat Calandra berusaha bertahan. “Kak...” panggil Calandra lagi. “Ssshhh... Diam! Aku mau tidur. Berisik!” Tangan Calandra yang tadinya terulur hendak membantu melepas sepatu pria itu, seketika terhenti di udara. Dengan gemetar, ditariknya kembali tangannya sambil menahan tangis. Tidakkah sedikit saja Darrel merasa bersalah? Calandra memeluk tangannya di depan d*da dan kembali berbaring ke kasur dengan posisi membelakangi suaminya. Mendiang ibunya dulu pernah bilang bahwa setelah menikah nanti, ia tidak boleh tidur sambil memunggungi suaminya. Namun, kali ini Calandra tidak mampu berbaring sambil menghadap Darrel. Ia tidak ingin menunjukkan tangisnya pada pria itu. Meski Darrel tidak peduli sekali pun. Papa... Mama... Kenapa kalian pergi meninggalkan aku? Kenapa kalian tidak bawa aku juga untuk ikut bersama kalian? Kenapa cuma aku yang selamat waktu itu? Hidup tanpa kalian terasa sangat berat. Suamiku bahkan tega meninggalkan aku dan masuk ke pangkuan perempuan lain di malam pengantin kami. Apa salahku sampai harus mengalami ini semua? Calandra membekap mulutnya untuk meredam isakan. Hatinya benar-benar sakit. Mengapa takdir bisa sekejam ini padanya? Rasanya ia ingin mati saja. *** Akibat terlalu banyak menangis dan stress, Calandra berakhir demam dan asam lambungnya naik. Suhu tubuhnya yang sangat tinggi, membuat ia akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan dirawat selama tiga hari di sana. Ini adalah hari kedua Calandra di rumah sakit. Kamar rawat inapnya terasa sepi. Tidak ada yang menemaninya di sana. Ayah mertuanya tadi harus berangkat bekerja karena ada rapat penting yang harus ia hadiri. Sejak kemarin, hanya pria tua itu yang menemaninya di sini. Darrel entah pergi ke mana. Jenny sempat datang mengunjunginya tadi, dan meminta maaf karena sudah membuat Calandra jatuh sakit karena memberitahunya mengenai ulah Darrel kemarin. Namun, Calandra tidak menyalahkan Jenny. Justru ia harus berterima kasih karena Jenny sudah membuatnya sadar dan mampu melihat dengan jernih siapa Darrel sebenarnya. Sejak Calandra di rumah sakit, Darrel hanya mengunjunginya satu kali. Itu pun saat ayah mertuanya sedang menunggui Calandra, bukan saat tidak ada siapa pun yang menemaninya seperti saat ini. Pria itu beralasan sangat sibuk, padahal seharusnya ia punya waktu luang mengingat jadwal bulan madu mereka yang terpaksa dibatalkan karena Calandra yang jatuh sakit. Harusnya Darrel punya waktu untuk menjaganya di rumah sakit, namun pria itu malah terus-terusan mengaku sangat sibuk dengan entah apa pun itu. Meski sakit hati, Calandra sangat pandai menutupi penderitaannya. Ia bilang pada ayah mertuanya yang benar-benar khawatir dengan kondisinya, bahwa ia jatuh sakit karena kelelahan. Hal itu didukung pula dengan teori entah dari mana, yang mengatakan bahwa demam Calandra adalah akibat “malam pertamanya” dengan Darrel. Biasanya hal “tersebut” memang menyebabkan demam, karena ada benda asing yang merobek kegadisannya. Apa pun itu, Calandra bersyukur ayah mertuanya tidak tahu dengan kelakuan brengs*k Darrel. Ia tidak ingin pria tua itu bersedih. Hanya beliau satu-satunya orangtua yang Calandra miliki saat ini. Ia harus menjaga perasaannya. Calandra tidak yakin ia akan sanggup bertahan jika seumur hidup menghadapi ini terus-menerus. Karena itulah, akhirnya ia membuat keputusan untuk pergi tanpa harus membuat ayah mertuanya merasa sedih. *** “Pa, aku ingin kuliah di luar negeri,” kata Calandra tiba-tiba. Saat ini ia sedang makan malam bersama suaminya dan ayah mertuanya di kediaman keluarga Danubrata. Calandra sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit siang tadi. “Kamu baru sembuh, Sayang. Kok sudah mikirin kuliah,” ujar ayah mertuanya tersenyum. “Soalnya... Mendadak kepikiran sejak di rumah sakit kemarin,” jawab Calandra. Agustian Danubrata menatap menantunya dengan sorot prihatin. Saat jatuh sakit kemarin, Calandra sempat meracau memanggil orangtuanya. Ia tahu bahwa menantunya ini masih sangat terluka akibat kepergian kedua orangtuanya. Ia sendiri mendadak merasa bersalah karena sudah menikahkan anaknya dan gadis ini dalam waktu secepat ini. Calandra mungkin masih belum selesai berkabung karena kematian orangtuanya yang bahkan belum genap setahun. “Izinkan dia melanjutkan pendidikannya, Pa,” kata Darrel tiba-tiba. “Dia masih muda. Dia masih berhak mengejar apa pun yang menjadi cita-citanya.” Ya, kamu memang ingin aku pergi kan, batin Calandra sedih. Sementara itu, Agustian menatap putranya sambil menahan kesal. Bocah tak berguna ini, malah ikut-ikutan bicara tanpa berpikir. Ingin sekali rasanya Agustian menepuk kepala putranya itu biar sadar. “Kamu ini, kan yang jadi suami Calandra saat ini adalah kamu. Kenapa pula kamu harus minta izin Papa,” ujar Agustian. Pernyataannya barusan adalah untuk menyadarkan Darrel tentang perannya sebagai suami. Harusnya Darrel sadar dengan statusnya kini yang bukan lagi seorang single. Ia punya istri yang menjadi tanggungjawabnya. Akan tetapi, tampaknya putranya itu memang tidak menggunakan otaknya dengan benar. “Ya, soalnya kan Papa yang memegang kendali,” jawab Darrel enteng. Hati Calandra kembali nyeri mendengar jawaban Darrel. Tidak ada sedikit pun kepedulian dari nada suaranya. Agustian mencoba bersabar menghadapi putranya. Menantunya baru saja sembuh. Tidak lucu jika ia harus memberikan tontonan mengenai perseteruannya dengan Darrel. “Kamu sudah putuskan ingin kuliah di mana?” tanya Agustian lagi. “Hmm... Aku inginnya di US, Pa,” jawab Calandra. Kalau bisa, ia bahkan ingin pergi lebih jauh lagi. “Sudah ada persiapan?” tanya Agustian lagi. Calandra mengangguk. Siap tidak siap ia harus pergi sesegera mungkin. Agustian menghela napas melihat tekad Calandra. Tampaknya ia memang tidak bisa menghalangi keinginan menantunya itu untuk pergi. “Setelah makan, kita bahas ini lebih lanjut ya. Sekarang kamu habiskan malam malammu dulu,” ujar Agustian. Calandra mengangguk. “Makasih, Pa,” ujarnya tersenyum. Senyum itu adalah senyum pertama Calandra sejak resepsi pernikahannya dan Darrel beberapa hari lalu. Dan Agustian benar-benar menyadari hal itu. Meski bibir gadis itu tersenyum, matanya selalu menyorot sedih. *** Hari keberangkatan Calandra pun akhirnya tiba. Kini ia sudah berada dalam perjalanan menuju bandara, dan lagi-lagi hanya ditemani ayah mertuanya. Darrel, seperti biasa, selalu mengaku sibuk. Belakangan, Calandra tidak lagi merasa sedih dengan sikap Darrel yang cenderung menganggapnya tidak ada. Calandra terlalu sibuk dengan persiapan keberangkatannya. Ia bahkan sudah bisa tidur nyenyak meski Darrel tidak pernah pulang untuk tidur di sampingnya. Di kamar mereka, Darrel bersikap seperti orang yang tidak mengenal Calandra. Pria itu hanya ada di kamar saat ingin mandi dan berganti pakaian. Sisanya ia kabur entah ke mana. Calandra sudah berhenti untuk peduli. Akan tetapi, sesakit apa pun dirinya, rasa sayangnya pada Darrel masih sering kali memenangkan perdebatan batinnya. Seperti saat ini. Meski otaknya bekerja sangat keras untuk berhenti peduli pada Darrel, namun tangannya dengan nekat mengetikkan pesan singkat ke pria itu mengenai keberangkatannya. Calandra sadar Darrel pasti tidak akan peduli. Namun, hati kecilnya masih saja berharap. Calandra: Kak Darrel, aku pamit ya. Mulai hari ini kita akan berjauhan. Maaf karena aku belum bisa menjadi istri yang baik. Semoga Kak Darrel selalu bahagia. Calandra: Aku sedang dalam perjalanan ke bandara sama Papa. Pesawatku akan terbang satu setengah jam lagi. Aku berharap Kak Darrel mau menyusul ke sini dan ikut mengantarku. Aku tunggu ya, Kak. Akan tetapi, hingga panggilan keberangkatan bergema di menit terakhir pun, Darrel tidak pernah datang. Calandra kembali dibuat kecewa untuk yang ke sekian kalinya. Karena itu, mulai saat ini Calandra berjanji pada diri sendiri untuk melupakan Darrel. Ia bisa menghadapi ini semua. Harus. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD