Bab 3 - Ayo Kita Cerai

1521 Words
Lima tahun kemudian. “Ayo kita cerai.” “What?” Mata Darrel seketika melebar. Mendadak ia meragukan pendengarannya sendiri. “Ayo kita cerai,” ulang Calandra lagi. Lega rasanya kini ia berhasil mengatakan hal tersebut. “Oh my, honey, kita baru aja mau tinggal serumah. Masa kamu bicara bergitu,” ujar Darrel dengan senyum sejuta pesonanya. “Aku serius, Darrel. Berhentilah bercanda,” ujar Calandra jengkel. Pria ini masih saja seperti dulu. Sama sekali tidak merasa berdosa dengan apa yang telah dilakukannya. Melihat istrinya yang tampak serius, Darrel seketika terdiam. Dulu, Calandra yang ia ingat tidak pernah memanggilnya begini. Gadis ini dulu memanggilnya dengan sebutan “Kak Darrel”. Kuliah di luar negeri membuat istrinya ini benar-benar sudah kehilangan sopan santun. Dan apa tadi dia bilang? Cerai? Hah, yang benar saja. Pulang-pulang kok minta cerai. Apa jetlag membuat fungsi otak juga nge-lag? “Honey, kita—“ “Stop it! Don’t call me honey,” Calandra mengacungkan telunjuk ke depan muka Darrel. “But, why? You’re my wife. And I’m your husband.” “Soon to be ex,” ujar Calandra sinis. “Hey, kita bisa bicarakan ini baik-baik kan?” Darrel berusaha membujuk. “Nggak. Bicara baik-baik apanya? Aku sudah muak sama kamu.” “Tapi, apa salahku?” tanya Darrel bingung. Calandra menatap Darrel tajam. Ia benar-benar mengutuk dirinya yang sempat menyukai pria ini bertahun-tahun lalu. Andai bisa kembali ke masa lalu, ia ingin membuat dirinya yang belia segera sadar dan membuka mata bahwa pria yang ia sukai ini adalah playboy br*ngsek menyebalkan. Lihat wajah tampan dan sorot mata yang menarik tersebut. Semuanya kini terlihat menjijikkan baginya. Sementara Calandra memelototinya, Darrel sendiri tidak membuang kesempatan untuk menatap istrinya yang super cantik dan memesona di hadapannya ini. Calandra yang sekarang bukan lagi gadis lugu dan culun. Ia kini sudah berubah menjadi perempuan cantik yang melek mode dengan rambut dan kulit yang terawat. She’s soooo damn sexy. Membayangkan apa yang bisa ia lakukan bersama gadis ini di tempat tidurnya seketika membuat tubuh Darrel panas dingin. “Kamu benar-benar nggak tahu apa salahmu?” tanya Calandra sambil melipat tangan di d**a. Ucapan Calandra barusan membuat Darrel seketika tersadar dari fantasi liar yang mulai menari-nari di dalam kepalanya. Ia pun otomatis mengangguk. “Kamu memang laki-laki br*ngsek, Darrel.” Darrel seketika melotot. Dia bilang apa barusan? Br*ngsek? Apa istrinya ini sekarang bisa membaca isi pikiran orang sehingga tahu bahwa tadi Darrel sedang memikirkan hal yang tidak-tidak di antara mereka berdua? Kenapa umpatannya tepat sekali? “Ke mana saja kamu selama lima tahun ini, hah? Pernahkah sekali saja kamu bersikap layaknya suami? Lima tahun aku pergi, tapi tidak sekali pun kamu datang untuk mengunjungiku. Setiap akhir tahun, hanya Papa yang datang mengunjungiku. Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan?” tanya Calandra marah. “A-aku...” Darrel mulai sadar dengan kesalahannya. “Lalu setelah aku pulang, dengan tak berdosa kamu panggil aku ‘honey’ seolah kita adalah pasangan suami istri yang berbahagia. Kamu lupa apa yang sudah kamu lakukan di malam pernikahan kita dulu?” Darrel berusaha keras menggali ingatannya. “Kamu memang lelaki br*ngsek,” ujar Calandra geram. “Dengar, aku nggak akan mundur. Keputusanku sudah bulat. Sampai jumpa di pengadilan.” Setelah mengatakan itu, Calandra segera menyeret kembali kopernya yang tadi sempat dibawa ke kamar Darrel dan langsung meninggalkan kamar tersebut sesegera mungkin. Napasnya memburu karena kesal. Ia benar-benar benci pria ini. Darrel terdiam. Sudah berapa kali tadi Calandra menyebutnya br*ngsek? Dua? Tiga? Darrel tidak mengejar Calandra. Ia benar-benar masih terkejut dengan reaksi Calandra padanya kali ini. Di mana gadis yang dulu selalu menatapnya malu-malu itu? Sekarang gadis lugu dan culun itu telah berubah menjadi perempuan yang cantik luar biasa dan juga galak seperti singa betina. “Den Darrel... Tuan... Tuan besar...” Darrel masih diam membatu di posisinya berdiri, saat seorang pelayan tergopoh-gopong memanggilnya. Pelayan itu berdiri di depan kamarnya dengan wajah pucat. “Ada apa?” tanya Darrel. “Tuan... Tuan besar, m-masuk rumah sakit. J-jantungnya kambuh.” “Apa?!” Darrel langsung bergegas keluar dari kamarnya. Seingatnya, hari ini ayahnya sedang menghadiri acara salah satu koleganya. Dan sebelum pergi tadi, pria itu tampak baik-baik saja. Kenapa jantungnya tiba-tiba kambuh? Darrel pun meraih kunci mobil dan segera menelepon asistennya. “Papa dibawa ke rumah sakit mana? Kenapa nggak langsung ngabarin gue?” tanyanya cemas. Satu-satunya orangtua yang ia miliki kini sedang berada di antara hidup dan mati. Asistennya yang merupakan teman akrab Darrel sejak SMA itu pun menjawab dengan menyebutkan salah satu rumah sakit. Darrel pun segera bergegas menuju pintu rumahnya. Dalam perjalanannya menuju pintu depan, Darrel melihat Calandra yang juga baru hendak mencapai pintu. Setelah menyelesaikan panggilannya, Darrel menyimpan ponsel dan langsung meraih lengan Calandra. “Apaan sih?” Calandra berusaha menepis tangan Darrel. “Lepas!” “Ikut aku.” “Nggak!” Calandra berusaha menarik tangannya. “Papa masuk rumah sakit. Aku yakin kamu nggak mau jadi menantu kurang ajar saat ini,” ujar Darrel dengan ekspresi serius. Tangan Calandra yang sejak tadi berusaha memberontak, seketika kehilangan kekuatannya. *** “Papa...” ujar Calandra dengan mata berkaca-kaca. Mertuanya itu kini sedang berbaring di ranjang pasien di sebuah ruang VVIP rumah sakit. “Hey, menantu Papa, jangan nangis,” bujuk Agustian Danubrata. “Maaf aku baru pulang sekarang. Aku bahkan nggak tahu kalau Papa sakit.” Satu tetes air mata jatuh dari mata Calandra. Melihat kondisi mertuanya saat ini membuat Calandra diterpa perasaan bersalah. Selama lima tahun belakangan ia sudah terlalu egois dengan melarikan diri dari rasa sakit akibat perbuatan Darrel hingga lupa untuk memerhatikan kondisi ayah mertuanya. Ia hanya sibuk menyembuhkan lukanya sendiri dan abai pada satu-satunya orangtua yang ia miliki saat ini. “Maafin Papa juga ya tadi nggak sempat jemput kamu di bandara,” ujar mertuanya lirih. Calandra menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Di sini aku yang harusnya minta maaf.” Tangisnya tak lagi mampu dibendung. Calandra menatap ayah mertuanya dengan air mata bercucuran. Rasa takut kehilangan itu ternyata masih ada. Membayangkan harus kehilangan ayah mertuanya kali ini membuat Calandra ketakutan. Seolah kejadian buruk yang menimpa kedua orangtuanya dulu kembali menghantui. Ia tidak ingin kehilangan orangtuanya lagi kali ini. “Papa nggak apa-apa,” ujar Agustian membujuk menantunya. “Beberapa hari lagi juga sembuh.” “Dokter bilang Papa harus banyak-banyak istirahat,” ujar Calandra sambil menyusutkan tangis. “Papa juga nggak boleh capek-capek lagi.” “Iya, Papa pasti sembuh kok. Kan kamu sudah ada di sini sekarang. Papa senang kamu akhirnya kembali,” ujar mertuanya dengan senyum lemah. Darrel yang berada di sofa seberang tempat tidur memperhatikan interaksi istri dan ayahnya dalam diam. Ia cemas dengan kondisi ayahnya. Dan ia juga tahu bahwa ayahnya sangat menyayangi Calandra. Darrel adalah anak tunggal. Memiliki menantu perempuan tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri bagi ayahnya. Lalu, apa yang akan terjadi nanti jika ayahnya tahu bahwa menantu kesayangannya sedang berusaha bercerai dengan putra satu-satunya ini? *** Setelah menginap di rumah sakit selama dua hari, Agustian Danubrata akhirnya diizinkan pulang. Sejak dua hari lalu pula Calandra terus berada di rumah sakit untuk menemani ayah mertuanya. Ia sama sekali tidak pedulu pada Darrel yang mondar-mandir di dekat mereka. Calandra hanya fokus pada kesembuhan ayah mertuanya. Sementara itu, di sisi lainnya, Darrel malah cemas setengah mati. Ia takut Calandra tidak mampu menahan diri dan langsung mengutarakan kembali keinginannya untuk bercerai. Darrel tidak ingin berita buruk tersebut membuat ayahnya terkejut dan kembali drop. Ayahnya baru saja sembuh. Sambil merapalkan doa berkali-kali, Darrel mendorong kursi roda ayahnya ke kamar. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda bahwa Calandra ingin mengungkit kembali mengenai perceraian tersebut. Namun, Darrel tidak akan menurunkan kewaspadaannya. “Makasih ya,” ujar Agustian. “Papa sudah bikin kalian berdua repot selama dua hari ini.” Ia memandang putra dan menantunya dengan senyum teduh. “Nggak repot kok, Pa,” jawab Calandra yang membantu menyusun bantal di kepala tempat tidur untuk ayah mertuanya bersandar. “Gara-gara jagain Papa, kamu bahkan belum sempat ziarah ke makan orangtua kamu.” Tubuh Calandra mendadak menegang. Namun, itu hanya sesaat sebelum ia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Pa. Aku bisa pergi ke sana nanti.” “Rel, kamu temani Calandra ke makam orangtuanya ya,” pinta ayahnya tiba-tiba. “Eh, nggak usah, Pa. Aku bisa pergi sendiri,” tolak Calandra sambil menggeleng. “Jangan pergi sendiri. Biarkan Darrel menemani kamu. Sejak dulu dia selalu sibuk. Tapi hari ini kamu nggak sibuk kan, Rel?” tanya Agustian yang tiba-tiba menatap Darrel. “Nggak, aku punya banyak waktu luang kok hari ini,” ujar Darrel dengan senyum tipis. “Aku juga sudah lama nggak ke sana.” Calandra memandang Darrel terkejut. Si b******k ini sejak kapan berubah peduli? Dulu selalu hanya Agustian yang menemani Calandra mengunjungi makam orangtuanya. Darrel si pria tak berperasaan itu sama sekali tampak tak peduli. Selalu saja ada alasan untuk menghindar saat diajak pergi ke makam. Tapi hari ini? “Bagus. Karena hari ini Papa masih disuruh istirahat, kamu ziarahnya sama Darrel aja ya.” Calandra mati kutu. Ia tak kuasa menolak. Apa lagi kini ayah mertuanya itu menatapnya dengan tatapan penuh harap. Sepertinya rencana perceraiannya dengan Darrel tidak akan berjalan dengan mudah. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD