Brain, Beauty and Behavior

1519 Words
Maya's POV Sudah satu bulan aku tinggal di apartemen dosen di Kota Delta Silicon.Kota industri di kabupaten Cikarang tempat ribuan pabrik skala kecil sampai besar didirikan. Selama sebulan ini aku hidup tenang, orang-orang yang memburuku, pasti sudah kehilangan jejakku karena aku sekarang berubah menjadi sosok Dr. Maia Alfonso,seorang dosen dari Manila. Aku sudah mulai mengajar mahasiswa-mahasiswa semester IV . Mata kuliah yang kuajar adalah Teknologi terapan. Ini bidang yang sangat aku kuasai . Berhubung Universitas Science International ini adalah universitas baru, mahasiswanya masih belum banyak, dosen juga masih belum banyak, kebanyakan hanya dosen tamu seperti diri Maia Alfonso yang menjadi identitasku sekarang. Para dosen-dosen tamu seperti kami hanya akan mengajar satu semester saja sesuai ilmu yang kami kuasai Tiba di pintu kelas, aku melihat seorang mahasiswa baru berambut gondrong yang duduk di kursi depan sambil menyilangkan kakinya, ketika aku masuk ke ruang kelas dan berdiri di podium tempat aku mengajar, dia maju memperkenalkan diri. Dia memakai celana jeans sobek-sobek dengan kemeja yang dua kancingnya terbuka, memperlihatkan dadanya yang bidang. Dia lebih mirip anak band daripada mahasiswa science yang biasanya tidak berpenampilan seperti dirinya. " Hi Doc, Aku Bill , Mahasiswa pindahan dari Menado." Katanya menjabat tanganku dengan gaya santai. Dia tidak seperti mahasiswa Indonesia lainnya yang lebih sopan kala berbicara dengan dosennya. " Pindah di semester IV?" Tanyaku heran, karena biasanya jarang mahasiswa yang pindah di tahun ke 2. " Ya. Aku dapat beasiswa dari Universitas ini. Jadi aku menerima tawaran full scholarshipnya untuk pindah dari Menado ke sini karena hidupku jadi terjamin, dapat tempat tinggal, dapat gaji dan biaya kuliah gratis." Kata Bill dengan gaya santainya " Berapa IPK mu sampai kamu bisa dapat beasiswa?" Kataku ragu, karena penampilan Bill benar-benar tidak seperti mahasiswa science lainnya. " 3.4 tapi aku lulus test pada saat apply beasiswa di universitas ini dengan nilai tertinggi." Katanya dengan bangga. Aku menatapnya semakin heran. Mungkin kampus ini ada pertimbangan tersendiri, memberikan beasiswa kepada mahasiswa berpenampilan seperti Bill ini. " Silahkan duduk Bill. Saya akan segera mulai pelajarannya." Kataku tidak mau lagi melanjutkan pertanyaanku pada lelaki muda ini. Tapi kata pepatah tentang Don't judge a book by it's cover itu berlaku untuk Bill. sepanjang aku memberikan pemaparan materi perkuliahan ilmu teknologi terapan, dia sanggup menjawab semua pertanyaan-pertanyaan sulitku dengan terperinci . Dia benar-benar cemerlang, pantas dia bisa mendapat beasiswa. Universitas ini tidak salah memberikan mahasiswa kepadanya karena dibalik penampilannya yang layaknya anak band, dia memiliki otak yang cerdas. +++ Will's POV Setelah tiga minggu melacak keberadaan Maya Santoso, akhirnya Komandan Jackson menemukan suatu petunjuk pasti. Maya Santoso, yang sempat tak terlacak di Jakarta, ternyata memakai identitas Maia Alfonso. Maia Alfonso kini hidup menjadi hippie di Bali mengikuti lelaki pujaan hatinya, meninggalkan karir dan semua tanggung jawabnya demi gaya hidup yang bebas. Sebuah putaran takdir membawa Maya Santoso menggantikan posisi Maia Alfonso sebagai dosen di Universitas Science International. Setelah mendapatkan petunjuk pasti, aku yang telah pulih, diperintahkan Komandan Jackson untuk segera terbang ke Indonesia. Kini aku telah tiba di Universitas Science International, menyamar sebagai mahasiswa semester IV bernama Bill berumur duapuluhan, padahal aku beberapa bulan lagi akan memasuki usia 30 tahun. Aku sebenarnya tidak suka menyamar menjadi mahasiswa dan bertugas melindungi seorang wanita. Aku lebih menyukai penyamaran yang lebih menantang, seperti menyamar di jaringan teroriis tapi demi mematuhi perintah atasan yang menyuruhku untuk melindungi Prof. Maya Santoso dari para pembuunuh bayaran yang ingin membunuhnya, kini aku berakhir duduk di ruang kuliah ini menunggu Prof.Maya Santoso untuk menerima materi kuliah sebagai mahasiswa semester IV. Ketika Prof. Maya Santoso, atau Dr. Maia Alfonso sesuai identitas yang dipakainya saat ini, memasuki ruangan kelasku, aku mengerutkan kening. Dia benar-benar tidak mirip dengan foto Maya Santoso yang diperlihatkan padaku. Maya Santoso dalam foto yang diperlihatkan komandan Jackson itu adalah wanita berambut panjang sepinggang, berkacamata tebal dengan wajah tak terawat tanpa make up. Tapi sosok yang muncul di hadapanku ini adalah wanita berambut bob pendek, dengan make up tipis menghiasi wajahnya. Dia juga tidak berkacamata—mungkin dia pakai contact lens. Penampilannya sungguh berbeda dan penampilannya yang berbeda itu membuat dirinya sangat menarik. She has beauty and brain, tinggal kita lihat aja apa dia punya behaviour yang baik. Kalau punya Wow.... Bakalan luar biasa wanita seperti dia. Apakah Komandan Jackson salah memberiku foto? Atau mungkin ini adalah perubahan yang sengaja dilakukan Maya Santoso agar dia terhindar dari pembunuh bayaran yang memburunya? Kalau benar ini yang dia lakukan, wanita ini patut dikagumi. Dia berhasil memikirkan cara sesempurna ini untuk menghindari kejaran para pembunuhnya. Aku semakin penasaran dengan sosoknya. Aku memutuskan untuk lebih memperhatikan setiap gerak-geriknya, mencari tanda-tanda yang bisa memastikan identitasnya. Setelah memperkenalkan diriku padanya , aku duduk di barisan depan, mencoba menangkap setiap detail kecil yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Dia tampak tenang dan percaya diri, tetapi ada kalanya aku melihat kilatan kecemasan di matanya, terutama saat ada suara mendadak atau ketika dia menyadari seseorang memperhatikannya terlalu lama. Sosok wanita yang berbeda dari foto ini membuatku berpikir, apakah dia adalah benar Prof Maya yang harus aku lindungi ? Ada sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan luar, dia begitu ahli berubah dari sosok peneliti cuek menjadi seorang dosen berdedikasi. Ketika dia berbicara tentang teknologi terapan dengan antusiasme yang tulus, aku tidak bisa tidak merasa kagum. Dia bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki keberanian yang luar biasa. Namun, di balik kekaguman itu, aku harus waspada. Setiap orang harus aku awasi, aku saja bisa menemukannya, pasti pembunuh bayaran lainnya juga bisa menemukan dirinya, ini hanya tergantung waktu pembunuh bayaran dari kelompok mana yang berhasil menemukannya terlebih dahulu, karena informasi terakhir dari Komandan Jackon, nama Maya Santoso telah tercantum di Murder. Inc. Perusahaan pembunuh bayaran paling ditakuti. Aku harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan, karena para pembunuh bayaran itu bisa muncul kapan saja. Misi ini bukan hanya tentang melindunginya, tetapi juga melindungi penemuan Prof Maya Santoso yang berharga hingga membuat nyawanya terancam. Keherananku atas perubahan Maya membuatku berpikir kalau sebenarnya Maya tahu, bahaya yang mengintainya karena perubahan drastis dalam penampilannya menunjukkan tingkat kecerdasan dan strategi yang luar biasa. Ini bukan sekedar pelarian, tapi transformasi yang direncanakan dengan matang. Apakah aku akan mampu melindunginya? Atau justru sebaliknya, dia yang akan membimbingku untuk mengungkap siapa dalang utama yang merencanakan pembunuhannya. Dalang yang memiliki sumber daya luar biasa, karena sanggup mengejar Maya Santoso dari Amerika sampai Indonesia dan membuat namanya menjadi sasaran nomor satu dari perusahaan pembunuh bayaran. Satu hal yang bisa kupastikan, kehidupanku di Universitas Science International baru saja dimulai dan mungkin tugas yang awalnya tidak kusukai ini akhirnya bisa menjadi tugas favoritku karena aku merasakan ketegangannya yang semakin terasa. Awalnya aku berpikir pasti akan boson mengawal seorang wanita ilmuwan berpenampilan seperti Maya, namun pertemuan pertama ini, mulai membuatku ragu, karena aku bisa melihat kecerdasannya dan kesiap-sediannya menghadapi semua mara bahaya demi melindungi penemuannya. Saat perkuliahan berakhir, aku berjalan di sisi Dr. Maia menuju apartemen tempat tinggalnya. Dia menatapku dengan heran. "Kamu kenapa mengikuti saya?" "Aku tidak mengikuti Anda . Aku berjalan kembali ke apartemenku," jawabku dengan sikap cuek. "Di mana apartemenmu?" tanyanya dengan kening berkerut. "Itu," kataku sambil menunjuk gedung kuning berlantai lima yang terletak di depan kami. "Bukankah itu apartemen khusus dosen? Kamu kan mahasiswa, kenapa bisa tinggal di apartemen dosen?" tanyanya mulai dengan suara penuh curiga. "Ibu, karena mahasiswa di kampus ini masih sedikit dan dosen yang mengajar juga masih sedikit, jadi hanya ada satu unit gedung apartemen yang dibuka, yaitu apartemen warna kuning itu. Para dosen tinggal di lantai lima dan mahasiswa yang mendapat full scholarship seperti kami tinggal di lantai satu sampai lantai empat," kataku menjelaskan. "Oh, saya baru tahu," katanya pelan. Kami pun berjalan dalam diam. Aku berjalan dua langkah di belakangnya, memperhatikan langkahnya yang pelan sambil mawas mengawasi keadaan sekeliling. Aku harus waspada terhadap bahaya yang mungkin mengintai dirinya. "Kamu tinggal di lantai berapa?" tanya Maia saat kami menunggu lift kecil yang akan membawa kami ke apartemen. "Lantai empat," kataku, berpura-pura tidak memperhatikan dirinya. Aku tahu wanita ini sedang curiga pada siapa pun yang mendekati dirinya, jadi lebih baik aku pura-pura tidak tertarik padanya. Sikap cuek adalah metode terbaik untuk melindunginya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maya mengangguk. Saat pintu lift terbuka, aku membiarkan Maya memencet tombol lantai lima, lalu aku memencet tombol lantai empat. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Aku melihat wajah Maya sedikit memucat, entah karena apa. Ketika angka merah penunjuk lantai berpindah dari angka satu ke angka dua, aku melihat Maya menyandar pada dinding lift sambil memegang kepalanya. Kecurigaan muncul di wajahnya, matanya melirik ke arahku seakan mencoba menilai apakah aku ancaman atau bukan. Ketika angka lift berpindah lagi dari angka dua ke angka tiga, tubuh Maya lemas. Sebelum dia jatuh ke lantai, aku menangkap tubuhnya dan dia jatuh dalam pelukanku. Dia Pingsan! Apa yang terjadi? Mengapa dia tiba-tiba pingsan? Tanganku memeluk erat tubuh Dr.Maia atau lebih tepatnya Prof . Maya. Aku memencet dua kali tombol angka 1, agar lift kembali menuju lantai dasar, karena di lantai satu ada klinik untuk mahasiswa dan dosen. Detak jantungku berpacu, dan pikiranku dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah ada seseorang yang meracuni dia? Apakah dia memiliki kondisi medis yang tidak aku ketahui? Atau mungkin ini hanya akibat dari stres yang dia alami karena hidup dalam pelarian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD