Duplikat

1191 Words
Maya's POV Mega menjemputku tepat jam delapan pagi,kami akan melakukan perjalanan ke kampus Universitas Science Indonesia yang berada di kawasan Deltamas Cikarang. Aku sudah bersiap memaparkan makalah sesuai tema yang diberikan padaku sebagai keynote speaker di acara Science Fair Universitas Science International. Meskipun aku bukan Maia yang sebenarnya, aku sangat menguasai ilmu yang akan dibawakan oleh Maia sebagai pembicara. Aku percaya diri bahwa aku bisa menjadi pembicara yang sama baiknya dengan Maia, yang merupakan dosen bidang sains dan teknologi di Universitas Manila. Kemarin di kamar hotelku, aku mencoba stalking nama Maia yang dosen di Universitas Manila tapi tidak ada foto Maia di media sosial, sepertinya Maia seperti diriku, tidak memiliki akun media sosial apapun. Maia hanya menghabiskan hidupnya untuk mengajar, seperti aku yang menghabiskan diriku untuk penelitianku. Sebelumnya aku mencoba login ke website Universitas Manila untuk mengenali sosok Maia. Hanya ada namanya tertulis, Maia Alfonso, PhD, tetap tanpa foto. Berarti, semua orang di Universitas Science International juga tidak mengenali sosok Maia, sehingga untuk sementara aku bisa menjadi duplikat Maia Alfonso agar aku terhindar dari bahaya. Itu rencanaku sebelum tidur, jadi hari ini aku sudah siap menjalankan misiku sebagai Maia Alfonso, bukan lagi Maya Santoso. " Bagaimana tidur anda?" Tanya Mega membuyarkan pemikiranku " Baik." Aku berbohong, padahal aku tak bisa tidur karena jetlag parah. Tapi tidak mungkin aku ungkapkan kepada Mega, dia pasti heran kenapa hanya terbang dari Manila saja yang mempunyai perbedaan waktu hanya 1 jam dengan Jakarta bisa membuatku tidak tidur semalaman. " Syukurlah." Katanya dengan senyumannya yang ramah " Kamu sudah lama bekerja sebagai asisten dekan di Universitas Scinece International?" Tanyaku mengorek informasi. " Sudah dua tahun, sejak universitas ini berdiri" Aku mengangguk. Berarti universitas ini adalah universitas baru yang belum menamatkan mahasiswanya. " Universitas kami memang masih baru, tapi universitas kami mempunyai dana penelitian yang sangat besar karena dimiliki oleh salah satu pengusaha kaya di Indonesia yang prihatin dengan sedikitnya ilmuwan di bidang science di negara kami, padahal banyak anak berbakat di Indonesia." Mega seperti bisa menebak isi otakku. " Wow.. Sungguh mulia bapak pengusaha itu." Kataku tersenyum " Ibu, bukan bapak," Kata Mega mengoreksi " Maaf, wanita itu sungguh hebat. Memang perlu universitas yang baik agar bisa menghasilkan peneliti-peneliti hebat." Kataku kagum dengan dedikasi sang ibu pengusaha yang bersedia mengelontorkan dana untuk membangun universitas demi mendapatkan calon-calon peneliti bidang science dan teknologi. +++ Acara science fair berlangsung meriah, seperti dugaanku, tidak ada yang curiga kalau aku bukan Maia Alfonso. Aku berhasil memaparkan teknologi tepat guna dengan memberikan hasil penelitianku untuk gelar doktoratku yaitu tentang pompa air tenaga surya, yang sudah kusederhanakan agar mahasiswa mahasiswa muda itu lebih memahami. Mereka tampak sangat antusias, aku pun jadi ikut antusias menjelaskan kepada mereka sehingga melupakan sejenak tentang bahaya yang mengintaiku. Aku terlena menjadi pembicara , aku senang bisa membagi ilmuku. Tanpa terasa aku sudah berbicara lebih dari waktu yang diberikan padaku, sampai moderator acara mengangkat tangannya untuk memberiku signal agar aku mengakhiri pembicaraanku ini. Tapi para mahasiswa yang merupakan calon peneliti-peneliti hebat, belum puas dan berteriak. "Jelaskan sampai tuntas dulu untuk pemaparannya, Dr. Maia agar kami lebih paham." Aku membiarkan mereka memanggilku doktor sesuai gelar Maia, padahal gelarku sudah Prof. Aku tidak peduli lagi dengan gelar itu, asalkan aku bisa tetap selamat melindungi diriku dengan menjadi Maia Alfonso. "Maaf, waktu untukku sudah habis." Tapi mereka terus berteriak tak puas. Akhirnya dekan Mr. Matthew maju ke atas panggung dan berkata " Kalau kalian ingin tahu lebih banyak tentang pemaparan Dr Maia ini, perlu kalian ketahui kalau Dr Maia sedang dalam negosiasi dengan pihak kami agar bersedia menjadi dosen tamu di Universitas kita selama satu semester, jadi ayo bujuk beliau agar bersedia." Kata Dekan Matthew " Apakah Dr. Maia bersedia?" Tanyanya padaku di depan seluruh Mahasiswa. Aku terkejut ,tapi dalam hati aku melonjak senang, berarti aku mempunyai tempat berlindung selama 6 bulan. Dalam enam bulan itu, aku yakin sudah menemukan cara terbaik, bagaimana aku harus memaparkan penemuanku pada dunia, apakah bisa lewat Universitas Science International ini? Tapi kalau aku lakukan akankah membahayakan mereka? Aku tidak mau para mahasiswa muda di kampus ini ikut jadi korban, bila pembunuh bayaran yang berdarah dingin itu menyerbu kampus dan tanpa ampun memborbardir semua mahasiswa yang ikut kelasku dengan senapan. Aku tidak ingin lagi ada yang terluka, aku tidak ingin lagi ada yang mati sia-sia seperti suamiku Arya. "Gimana Doc? Sudah siap tanda tangan kontrak sebagai dosen tamu untuk satu semester, para mahasiswa sangat antusias." Tanya dekan Matthew Setelah berpikir beberapa saat.Aku pun mengangguk menyetujui tawaran Dekan Matthew untuk menjadi dosen tamu selama satu semester. Aku ingin mempunyai tempat berlindung dulu, dan sepertinya berlindung di Kampus Universitas Science International yang terletak di pinggiran Jakarta ini opsi terbaik saat ini. Kami berjabatan tangan dan aku berkata dalam hati ' Maafkan aku. mengambil posisimu untuk enam bulan ke depan Maia, semoga kamu baik-baik saja di manapun kamu berada' . +++ Malam ini adalah malam terakhir aku nginap di kamar hotel ini, sebelum pindah ke apartemen Dosen di Kota Deltamas, ketika kembali ke kamar hotel, aku merasa lega sekaligus cemas. Berada di universitas sebagai dosen tamu memberiku perlindungan sementara, tetapi aku harus selalu waspada. Setiap langkahku harus diperhitungkan dengan cermat. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Dunia akademis yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru bisa berubah menjadi arena berbahaya jika identitasku terbongkar. Aku membayangkan skenario terburuk, pembunuh bayaran yang mengincarku bisa saja menyusup ke dalam universitas dan membunuh semua orang yang terlibat denganku. Sambil berbaring di tempat tidur, pikiranku melayang pada Maia Alfonso. Di manakah dia sekarang? Apakah dia tahu aku mengambil tempatnya? Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul? Situasi akan menjadi sangat rumit. Tapi aku memutuskan harus fokus pada misiku. Aku harus merencanakan langkah berikutnya, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan penelitianku tanpa membahayakan diriku atau orang lain. Tiba-tiba telepon di kamar 323 tempatku menginap , berdering nyaring, memecah keheningan malam. Siapa yang meneleponku malam-malam begini? Aku bertanya dalam hati dan mempertimbangkan apakah aku perlu mengangkat telepon ini. Hatiku berdebar kencang, dan dering telepon terus memekakkan telingaku. Haruskah kuangkat lalu kugantung saja agar suara deringannya berhenti? Akhirnya, dengan tangan gemetar, aku memutuskan untuk mengangkat telepon itu. "Hello," kataku pelan. "Selamat malam, Madam Maia," bisik resepsionis. "Saya hanya menelepon untuk mengabari kalau tadi siang ada dua orang pria yang mencari Maya Santoso, padahal Anda adalah Maia Alfonso. Saya bilang pada mereka tidak ada nama Maya Santoso yang check in di hotel kami, dan mereka lalu pergi. Mohon maaf, yang ingin saya tanyakan, apakah Anda mengenal Maya Santoso? Atau itu merupakan nama lain Anda?" tanya resepsionis itu dengan sopan. Hatiku berdebar sangat kencang. Mereka sudah menemukanku. Pasti mereka menyisir satu persatu hotel yang ada di kawasan ini. Apa yang harus kulakukan? . "Aku tidak mengenal Maya Santoso," jawabku dengan suara bergetar. "Iya, saya juga mengatakan hal yang sama pada dua orang lelaki yang tampak sangar itu. Baiklah kalau begitu. Selamat malam, Madam, dan selamat beristirahat," katanya ramah. Debaran di hatiku baru berkurang. Aku menghembuskan napas lega. Satu babak lagi telah aku lewati. Semoga babak berikutnya akan semulus hari ini. Itu doa yang kupanjatkan sebelum aku menutup mataku, karena kantuk sudah menghampiriku. Namun, ketegangan itu masih menggantung di udara, membuatku sadar bahwa bahaya bisa datang kapan saja, bahkan di tempat yang paling tak terduga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD