BAB 6: ASEKSUAL

1719 Words
“Apa lo bilang?” “Duh, gimana ya jelasinnya,” ujar Gary lagi. “Nanti aja deh, Gi. Pulang kerja eyke jemput oke? Nanti eyke jelasin.” “Hah?” “Udah mepet, nanti eyke telat masuk kantor. Bye, Gi.” Megi tak menjawab, masih merasa aneh dengan ajakan Gary. “Ih tuh orang berubah semaunya banget! Bipolar apa gimana sih?” gumamnya seraya menatap punggung Gary yang kian menjauh. ‘Ketemu Mami Papi? Emang gue siapanya Gary? Dih! Apa gue mau dijadiin pacar pura-pura? Yailah, badan doang gede, muka doang cakep, cewek aja kagak punya!’ Megi menghempaskan bokongnya di kursi kerja, lalu berseluncur menumbruk kursi Prisa. “Udah nyarap lo?” tanya Prisa. “Udah. Pake semur jengkol. Hah!” Prisa mendorong kursi Megi menjauh, menggelengkan kepalanya. “Kapan lo punya cowok kalau kelakuan lo kayak gitu, Gi?” “Nah!” sahut Megi, kembali berseluncur mengadu kedua kursi mereka. “Ih! Pusing, Gi! Lo kata ini bombom car?” omel Prisa akhirnya. “Eh Sa, kalau ada cowok, ya bisa dibilang temen lo deh, minta lo ikut dia ketemu Mami Papinya. Itu kira-kira tandanya apa?” “Kebanyakan baca n****+, lo!” “Heol!” “Paling temen lo mau dijodohin, perlu bawa cewek lain sebagai tameng biar tuh perjodohan batal! Persis kayak yang lo lakuin ke Pak Bagas.” “Ih najis tralala trilili emang si Bagas, bisa-bisanya itu mulut lemes bener! Pake diumumin kemana-mana lagi!” “Lo berurusan dengan pria yang salah, darling.” “Ya mana gue tau congornye lambe begitu!” “Om lo udah tau?” “Udah.” “Terus?” “Ya santai aja sih dia, yang penting gue nemuin. Soalnya, katanya desye yang minta dikenalin ke gue. Bokapnya temennya Om.” “Hmm. Dan yang ngajak lo untuk dijadiin pacar pura-pura adalah?” “Kan belum tentu jadi pacar pura-pura, Sa.” “Kali aja jadi pacar beneran, gitu maksud lo? Siapa?” “Gorila.” “Hah?” “Ada deh. Gue kasih tau ke lo juga lo ga kenal.” “Ah bilang aja lo naksir, Gi. Muna banget nih monyet!” “Nah itu lo tau. So, sori he’s mine!” “Najong!” Hari itu rasanya berlalu dengan lambat, padahal pekerjaannya tak kunjung berkurang. Ditambah lagi gangguan pikiran akibat pertanyaan Gary pagi tadi. Entah apa yang menyebabkan teman barunya itu berani-beraninya bertanya demikian. Pagi tadi pihak Rosa mengembalikan draft manuskrip yang sudah Megi kirimkan tempo hari. Rosa bilang di emailnya dengan sangat gamblang jika ia tidak mau apa yang ada di manuskrip itu diterbitkan. Bukan seperti itu kupasan yang ingin Rosa dapatkan. Juga, ada beberapa hal yang ingin ia tambahkan. Kali ini Rosa cukup berbaik hati dengan menuliskan hal-hal yang ia anggap terlewatkan. Usai mendapatkan email itu, tentu saja Megi buru-buru menelpon sekretaris sumbernya, mengiba-iba agar diberikan lagi kesempatan lain untuk bertemu dengan Rosa. Setidaknya ia bisa bertanya pembahasan seperti apa yang diinginkan Rosa. Percuma, sungguh sulit mendapatkan waktu perempuan itu. Kepeningan Megi tertangkap mata oleh Bagas. Entah karena ingin membantu, atau karena ingin curi-curi kesempatan, Bagas menawarkan kepiawaiannya dalam mengupas keterangan-keterangan yang disampaikan oleh News Maker. “Ini kan bukan untuk kolom editorial, Gi. Kita tuh emang mewawancarai dia. Jadi ga perlu nih kamu masukin pendapat-pendapat kamu.” “Oh gitu?” “Iya, kamu harus bisa bedain kapan kamu nulis untuk kolom opini dari Mews Maker, dan kapan kamu ngupas lugas dan tegas di kolom editorial.” “Berarti tulisan saya bagus untuk kolom editorial, Pak?” “Ya ngga juga sih.” Megi memicingkan matanya, menatap tajam pada Bagas yang malah tergelak. “Masih butuh jam terbang yang lebih banyak, Gi,” ujar Bagas, lembut. “Terus ini diapain, Pak?” “Barusan saya kirim email ke kamu. Contoh artikel. Coba kamu lihat. Amati, tiru, modifikasi.” “Oke.” Dan kini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga petang, dua jam lagi menuju kebebasan. “Gimana, Gi?” tanya Bagas yang baru saja kembali dari pantry untuk membuat kopinya sendiri. “Baru selesai, Pak.” “Tunggu, saya baca dulu.” Bagas mengambil alih tetikus di tangan kanan Megi, sementara tangan kirinya menahan sandaran kursi Megi. Ia lalu menunduk, menatap rangkaian kata yang terpampang di layar komputer. Ia pasti sengaja agar bisa sedekat itu dengan Megi. Sementara Megi menyandarkan dirinya ke pembatas partisi dengan meja Prisa, merasa risih dan tak nyaman. “Pak,” cicit Megi. “Sebentar, tanggung.” ‘Sumpah ngeselin banget sih ini orang! Kalau bukan bos gue udah gue tendang!’ “Ga usah ngebayangin nendang saya, Gi. Biasa aja, nanti kamu naksir saya baru tau rasa.” “Astaga, Bapak... mulut ya tolong,” lirih Megi. Bagas malah terkekeh. “Makan malam bareng yuk, Gi?” “Saya ada janji, Pak.” “Sama Alvin?” Megi berdecak, kesal. “Kan saya ga bilang harus malam ini.” “Udah, Pak?” tanya Megi kemudian, mengalihkan tema yang Bagas usung. “Udah.” “Saya kirim nih ke Ibu Rosa?” “Cc saya.” “Oke, Pak.” “Kamu hutang makan malam bareng saya.” “Kok gitu?” “Kan saya udah bantu kamu.” “Lho kan Bapak atasan saya.” “Pokoknya saya udah bantu kamu.” “Oke, thank you Pak Bagas.” “Saya ga terima thank you gitu aja, ga ada makan siang gratis, Gi. Nanti kita atur waktunya, oke?” Megi mendengus lagi, tak mengiyakan namun juga tak menolak. Ia masih butuh pekerjaan. Bukan hal yang mudah mendapatkan pekerjaan di sebuah Kantor Berita sebesar ini, terlebih dirinya belum cukup berpengalaman. Di sisa waktu, Megi membuka sebuah email yang berisi bagian-bagiannya untuk menjawab pertanyaan yang masuk di kolom tanya jawab bisnis. Jawaban yang ia buat pun masih harus melalui Bagas. Jika Bagas tak meloloskan script-nya, Megi harus merevisi kembali. ‘Sial banget gue! Hidup gue jadi muter-muter aja di sekitar dia. Pantesan aja Om adem ayem, gue terikat gini sama si Bagas. Amsyong bener!’ Megi tengah melakukan peregangan kala ia mendengar ponselnya bergetar. Yang mengesalkan, setiap kali ponsel Megi mengeluarkan suara, Bagas pasti ikut-ikutan menoleh. “Kepo!” ujar Megi tanpa suara, sebatas gerak bibir. Bagas lagi-lagi membalas dengan cengiran. Megi membuka kunci layar ponselnya, mengetuk notifikasi pesan yang baru saja masuk. Gorila: Balik, Gi? Megi menoleh ke sisi kanan bawah layar komputernya, 17:11 wib, ya memang sudah waktunya pulang. Megi: Lo dimana? Gorila: Depan kantor lo. Megi: Yah, gue belum kelar. Megi: 10 min untuk setor script. Megi: Oke? Gorila: Oke. Lagian gue di sini udah dari jam 4. Megi: Kok lo ga bilang? Gorila: It’s ok. Kebetulan males balik ke kantor abis detailing. Megi: Oke. Tunggu ya? Hanya emoji jempol yang Megi terima. Megi bergegas, menyelesaikan pekerjaannya, lalu mengirim hasil ke email Bagas. Tanpa menunggu jawaban si Bos, Megi mematikan komputernya, membersihkan meja kerjanya, lalu beranjak dari kursi. “Mau kemana, Gi?” tanya Bagas begitu Megi melewati kubikelnya. “Pulang, Pak.” “Lah ini kan belum beres.” “Besok lagi, Pak. Masa depan saya juga perlu diberisin! Sekian dan terima kasih! Assalammu’alaikum!” Bagas bungkam, menggelengkan kepalanya kala menatap ‘gadis tak bisa diam’ yang ia taksir itu kian menjauh. “Wa’alaikumsalam, my future wife,” gumamnya percaya diri. *** “Lo ga apa-apa?” tanya Gary seraya mengaduk-aduk saus cocolan pendamping kerang rebus yang mereka pesan. Megi hanya menghempaskan napas sebagai jawaban. “Bisa kecampur ingus ini sih!” gumam Gary lagi. “Ngga sih.” “Lagian lo tuh cewek lho, Gi.... Beradab dikit kenapa sih!” “Iya gue tau!” “Kok malah ngambek?” “Pasti lo mau bilang juga, kalau gue masih kayak monyet begini ga bakal ada cowok yang mau sama gue.” “Ada yang bilang gitu?” “Banyak.” “Padahal kemaren dengan pedenya lo bilang ke bos lo kalau lebih baik hidup sendiri. Jangan kebanyakan ngibul lo, Gi. Berubah jadi bekantan lo baru rasa! Hidungnya panjang.” “Iiih Gary!” Gary terkekeh. Ia mengulurkan tangannya, mengacak-cacak puncak kepala Megi. “Lo abis ngupasin kerang, bego! Bau dong rambut gue!” “Oh iya, bener juga!” “Iiih! Dasar gorila!” “Udahlah, satu spesies jangan saling menghujat!” Megi memilih diam, mengamati pria tampan di hadapannya yang tengah mencongkeli daging kerang ke atas piring. Agar lebih mudah dimakan katanya. Sesekali senyuman yang melelehkan Gary berikan pada Megi. Sementara dalam benak Gary, ia sibuk beradu praduga, mungkinkah Megi mau membantunya? “Jadi, lo mau ngapain ngajak gue ketemu orang tua lo?” tanya Megi saat menghabiskan potongan kerang terakhir. Di saat yang sama, seporsi kepiting telur saos padang tiba di meja mereka. Gary belum menjawab. Ia mengambil bagian cangkang tengah, mengisi dengan nasi, lalu mengaduk rata. Setelahnya, cangkang itu ia pindahkan ke piring Megi. “Sambil makan, Gi,” ujar Gary. ‘Ya ampun, pacaran aja yuk, Ger?’ “Lo ga berencana mau ngebunuh gue kan makanya lo ngenyangin gue dulu?” tanya Megi penuh selidik. “Ketauan ya?” Megi justru terkekeh. “Jadi pacar pura-pura gue, Gi,” lirih Gary yang masih sangat jelas terdengar oleh Megi. “Sumpah lo? Lo lagi nulis n****+?” “Bukan, Gi.” “Terus?” “Nyokap gue sakit.” “Sakit apa?” “Jantung.” “Karena?” “Pusing mikirin gue.” “Terus? Apa dengan bawa gue itu menyelesaikan masalah? Nyokap lo bisa sembuh gitu?” “Entah sih.” “Kenapa lo ga bawa Isla?” “Mana percaya Mami Papi!” “Kalau sama gue percaya?” “Dicoba dulu sih.” “Gary,” lirih Megi kemudian. “Ya?” “Lo ga apa-apa?” “Hmm.” “Yakin?” “Iya, Gi.” “Kalau lo ga apa-apa, kenapa lo begini?” “Gue paham maksud pertanyaan lo. Kenapa gue gemulai. Itu kan? Gue pun berusaha nyelesaiin masalah gue kok, Gi.” “Trauma?” “Hmm. Isla cerita ya?” “Kayaknya itu ga bisa dibilang cerita deh, Ger.” “Pasti dia cuma bilang sebatas s****l harassment?” “Dan ternyata ga sebatas itu?” “Yang Isla tau sebatas itu.” “Dan lo mau gue bantu lo dengan informasi minim seperti itu, Ger?” “Megi....” “Ya?” “Gue... aseksual.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD