Makan malam itu akhirnya berakhir mengenaskan bagi Oki. Ia terpaksa pulang dengan merintih-rintih karena panasnya sang tuan muda di bawah sana. Untunglah Oki pulang mengendarai motor, setidaknya hembusan angin sedikit meringankan penderitaannya. Ingatkan ia untuk berhati-hati bila ada di sekitar Megi. Gadis itu memang tak pernah mengenal kata hati-hati.
Berbeda dengan Oki, ketiga sahabat itu justru melipir ke kosan Isla. Megi enggan melepaskan Gary, di detik-detik terakhir sebelum ia dan Isla menumpang sebuah taksi, Megi menarik dompet di saku belakang Gary.
“LO AMBIL DI KOSAN ISLA! SEKARANG!” pekik Megi seraya mendongak dan melambaikan penyimpan uang itu dari jendela taksi.
‘Buset, dompet gue kenapa bisa di dia?’
“WOY GI! MEGI!”
Terlambat, taksi sudah melaju, meninggalkan Gary yang masih mengusap kepala sangkin nyerinya jambakan Megi tadi.
“Sekarang gue ngerti kenapa tuh anak dipanggil Monyet! Kelakuannya beneran persis monyet!” monolog Gary seraya berbalik menuju tempat motornya terparkir. “Ya Allah, apes banget gue hari ini!”
Tiba di kosan Isla, Gary mendapati wajah Megi yang masih kesal. Gary mendekat, menangkupkan telapak tangan kanannya di wajah Megi, meraup gemas.
“Iiih! Tangan lo emang bersih?” omel Megi.
“Eyke abis boker tadi, belum cuci tangan!”
“Gary!”
“Udah kenapa sih! Mana dompet gue?”
“Itu bisa ga kemayu?”
“Ga usah resek deh.” Raut wajah Gary mulai terlihat kesal. Megi tau, sudah saatnya ia berhenti dari kelakukan usilnya.
“Nih.”
Gary meraih dompet yang diulurkan Megi, menyimpannya di dalam tas, lalu naik ke kasur Isla, menelungkup.
“Ya ampun, Ger... ini tempat tidur sampe ga muat,” lirih Isla yang baru saja masuk ke kamarnya seraya membawa tiga cangkir teh hangat.
“Hmm. Lima belas menit, Nek.”
“Ngapain?”
“Merem. Pusing.”
“Lo kenapa sih bohongin gue?” Kali ini Megi yang bertanya pada Gary.
“Bohongin apa?” balas Gary.
“Kata lo nama lo Alvin.”
“Gary Alvin Ananto. Itu nama eyke. Di mana bohongnya?”
“Oh.”
“Sejak kapan lo tau gue?” lanjut Megi lagi.
“Sejak yeiy ngeledakin bom di warung bakso!”
“Gary....” rengek Megi, sementara Isla malah tergelak, teringat cerita kedua sahabatnya yang konyol itu.
“Isla pernah mamerin foto lo berdua,” ujar Gary lagi.
“Lo bilang Isla kalau kita ketemu di warung baso?”
“Ngga!”
“Gue malah baru tau kalau kalian udah saling kenal ya tadi pas di tenda, Gi.” Isla yang menjelaskan.
“Su’udzon aja yeiy sama eyke!”
“Ya abisnya kalau tau lo Gary kan gue ga perlu sungkan.”
“Yeiy ga tau eyke aja kayaknya ga ada sungkan-sungkannya! Nih kepala eyke sampe sakit gara-gara yeiy jambak.”
“Sorry.”
“Duh, mending ga usah kenal deh Gi daripada kelakuan monyet lo dipraktekin ke gue.”
“Sorry....”
“Lo balik atau nginep, Gi?” tanya Isla. Sementara Megi bergeser dengan posisi duduknya kini berdampingan dengan kepala Gary. Tangan Megi terulur memberi pijitan-pijitan di tengkuk Gary.
“Nginep,” jawabnya singkat.
“Kalau gitu lo besok bareng Gary aja.”
“Boleh, Ger?” tanya Megi.
“Hmm.”
“Emang lo ga bareng Gary, La?”
“Besok gue ada detailing pagi. Berlawanan sama arah kantor.”
“Leher gue, Gi. Kepala sekalian,” pinta Gary.
“Tapi jangan marah lagi,” balas Megi.
“Siapa yang marah sih?”
“Dia tuh orang paling susah marah, Gi,” ujar Isla.
“Iya, Ger?”
“Hmm.”
“Kenapa?”
“Dosa eyke udah banyak, bisa jauh bau surga dari eyke kalau masih emosian.”
Megi terdiam, tak melanjutkan lagi apapun yang ingin ia ucapkan. Membiarkan Gary terlelap selama sekitar 30 menit hingga akhirnya pria kemayu nan tampan itu pamit untuk kembali ke peraduannya.
***
“La?”
“Hmm?”
“Gary kenapa, La?”
Isla kembali membuka matanya. Ia merubah posisi agar berbaring miring menghadap Megi.
“Maksud lo?”
“Dia ga kemayu kan sebenernya?”
“Kok lo bisa bilang gitu?”
“Lo lupa gue pernah ngambil beberapa matkul psikologi?”
“Menurut lo kenapa, Gi?”
“Ih lo tuh ya, kan gue yang nanya, malah nanya balik.”
“Gue juga ga tau pastinya, Gi.”
Kali ini Megi yang merubah posisinya, tak lagi terlentang, namun ikut berbaring menyamping, berhadapan dengan Isla.
“Yang lo tau apa?”
“Pelecehan seksual. Waktu dia masih SD seingat gue. Tapi detailnya gue ga tau.”
“Oh.”
“Gary ga pernah mau bahas itu.”
“Hmm. Jadi sebenernya dia normal, tapi sikapnya aja kemayu gitu La?”
“Ga cuma itu sih, Gi. Dan bukan hak gue untuk ngasih tau lo.”
“Bisa ga ya La gue dekat sama dia, La?”
“Kayaknya bisa, Gary tuh orangnya supel kok. Udah gitu ga bisa marahnya itu yang bikin orang nyaman aja sama dia.”
“Maksud lo nyaman ngebully dia?”
“Hmm. Kita liatnya gitu. Tapi Gary nganggapnya ga gitu, Gi. Memang dia yang memilih bersikap kemayu, ngebiarin orang lain menganggap dia punya perilaku menyimpang. Jadi bullying yang dia terima, dia anggap not a big deal.”
Megi mendengus. Sesak.
‘Ga mungkin kan Gary baik-baik aja?’
“Kok lo perhatian banget sih sama Gary?” tanya Isla kemudian.
“Dia tuh baik banget, La.”
“Iya sih. Gue setuju kalau soal itu.”
“Coba aja lo bayangin, kalau cowok lain dengar gue kentut segede gitu pasti kan ilfil. Kenal gue juga ga mau kali. Ini dia malah maksain ikutan kentut biar orang ga tau itu kelakuan gue. Dia tuh romantis dengan cara dia sendiri, La.”
“Jangan bilang lo naksir sama dia, Gi?” kekeh Isla.
“Kayaknya kalau dibilang naksir masih kejauhan. Yang jelas, gue kagum.”
Entah kapan mereka tertidur, entah siapa yang terlelap lebih dulu, yang jelas pembicaraan itu berakhir begitu saja. Megi melanjutkan harinya dengan kembali bertemu Gary di alam mimpi. Gary yang hanya terdiam. Gary yang tak bicara. Ia hanya duduk di samping Megi seraya memandang kosong. Namun entah mengapa, mimpi itu terasa cukup menyedihkan bagi Megi.
Pukul 06:30 wib gawai Megi berdering nyaring. Nama Gary muncul di sana. Ya, akhirnya mereka pun bertukar nomor ponsel semalam. Megi tak menjawab, namun gegas berjalan keluar dari kosan Isla.
“Ger!”
“Hey!”
“Yuk.”
“Lo udah sarapan?” tanya Gary.
“Belum sih. Lo udah?”
“Belum. Ada nasi uduk di pengkolan dekat kantor lo.”
“Mak Baim?”
“Yoi.”
“Banyak banget porsinya, Ger.”
“Sepiring berdua aja.”
“Serius?”
“Lo jijikan ya?”
“Kalau gue jijikan ga mungkin gue makan es dawet sambil nahan kentut.”
Gary terkekeh geli.
“Udah, Gi?” tanya Gary lagi, memastikan Megi sudah duduk dengan nyaman di jok belakang.
“Udah.”
“Oke. Let’s go.”
Butuh waktu 35 menit untuk tiba di kedai nasi uduk yang dimaksud Gary. Dan ternyata Gary tak bercanda, ia benar-benar meminta hanya satu porsi untuk dimakan berdua dengan Megi.
Begitu sarapan mereka tandas, Gary masih mengantar Megi hingga di lobi kantor berita tempatnya bekerja. Megi turun dari motor, berdiri di sisi Gary, mengucapkan terima kasih.
“Gi?”
“Apa?”
“Gue mau minta tolong boleh ga?”
“Tentang?”
“Bulan depan, ikut gue ke Jogja.”
“Sama Isla?”
“Bukan. Berdua aja.”
“Ngapain?”
“Mmm....”
“Ngapain, Ger?”
“Ketemu Mami Papi.”
‘?’