Pelet, part 4

1362 Words
Hampir setahun lalu Bapak meninggal dunia. Beberapa bulan sebelumnya, Udin yang sempat menolak untuk menggantikan Bapak sebagai penggali kubur, mengubah niatnya. Semua itu karena sebuah rahasia keji yang dikatakan oleh Bapak saat Udin mengutarakan alasannya kenapa dia tak mau menjadi penggali kubur. “Kalau Bapak bisa membantumu menaklukkan para wanita yang mungkin hanya bisa kamu dapatkan dalam mimpimu, kamu mau meneruskan pekerjaan Bapak sebagai penggali kubur?” Awalnya Udin tak percaya dengan tantangan Bapak, tapi setelah Bapak menjelaskan tentang ritual dan mantra yang dia ajarkan, Udin berubah pikiran. “Wanita yang bisa terkena ilmu ini hanyalah mereka yang pernah berhubungan badan dengan si mayat yang kamu jadikan sasaran, Din.” “Jadi jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan gadis perawan dengan ilmu ini. Mereka yang mati-matian menjaga kesuciannya atau mereka yang masih terlalu kecil dan polos untuk memahami hubungan dewasa, tak akan pernah bisa terpengaruhi oleh ilmu ini.” Setelah mengetahui batasan-batasan dari ilmu pelet yang diajarkan oleh Bapak, Udin mulai memikirkan sasarannya. Tentunya dengan semua resiko yang mungkin dia hadapi ketika tertangkap warga sedang melakukan aksi ritual jahatnya, Udin tak akan sembarangan memilih targetnya. Buat apa membongkar makam seorang petani kere lalu hanya bisa mendapatkan istrinya yang mungkin tak bisa membuat Udin terbangkitkan gairahnya? Kalau dia ingin memakai ilmu ini, dia harus mencari sasaran yang lebih tinggi. Beberapa nama muncul di kepala Udin. Para perangkat desa, Pak Lurah, Haji Imron, hingga guru SD inpres yang menurut Udin memiliki istri berparas cantik menjadi target sasarannya. Udin pun dengan sabar menunggu. Dia juga kini menjadi penggali kubur seperti Bapak di desa Banyuanteng. Setahun setelah kematian Bapak, di suatu sore yang mendung, Udin kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba Pak Modin menggedor pintu rumahnya dengan wajah panik. Saat itulah Udin mengetahui jika Haji Imron, orang terkaya di Banyuanteng, telah meninggal dunia. Itulah awal mula Udin mempraktekkan ilmu keji yang diajarkan oleh Bapaknya sebelum meninggal dunia. ===== Udin menyiram tubuhnya berkali-kali. Sekalipun dia tahu kalau tak ada lagi tanah kuburan yang menempel di badannya, tapi dia tetap merasa ingin membersihkan diri. Apalagi ketika membayangkan ada bulu-bulu dari mayat Haji Imron yang kini mungkin bersemayam di dalam perutnya, Udin serasa ingin muntah sebisanya. “Setelah ini, apa yang harus kulakukan?” gumam Udin kepada dirinya sendiri di sendang yang berada tak jauh dari rumah sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk butut yang sudah sobek di sana sini. Sekalipun Bapak menceritakan dengan detail ritual yang harus dia lakukan, tapi Bapak tak pernah menceritakan bagaimana caranya mengetahui apakah ritual yang dia lakukan tadi sukses atau tidak. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan mempraktekan langsung ajian pelet pemberian Bapak ke calon korban. Tapi darimana Udin tahu siapa saja wanita yang telah menjadi korban kebejatan si Haji Imron? “Persetan! Sudah untung aku nggak ketangkap orang tadi malam,” gumam Udin sambil berjalan meninggalkan sendang setelah selesai mandi barusan. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh di telinga Udin dari kejauhan. Suasana remang dini hari yang belum sepenuhnya terkena siraman mentari pagi membuat jalan menuju ke area sendang yang dipenuhi oleh pepohonan memaksa Udin untuk berkonsentrasi ekstra. Tentu saja dia sudah melepas senter kepala yang dia pakai saat menggali makam tadi. Dia tak ingin membuat warga curiga. “Lho, Din? Tumben jam segini sudah mandi di sendang?” Sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinga Udin dan mengagetkannya. Udin terperanjat sambil melihat ke arah suara itu berasal lalu tersenyum kecut saat melihat si pemilik suara. Tiga orang wanita sedang berdiri sambil masing-masing membawa keranjang berisi pakaian kotor yang akan mereka cuci di sendang. Udin mengenal ketiganya. Mereka adalah para tetangga Udin yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Lalu kenapa Udin tersenyum kecut? Karena salah satu di antara mereka bertiga adalah mantan gadis yang dulu pernah didekati Udin dan menolaknya. Dia bernama Hasnah. Kini, Hasnah sudah menjadi istri orang. “Halah, apalagi kalau bukan mandi keramas,” cibir Hasnah sambil kembali berjalan tanpa menunggu jawaban Udin. “Mandi keramas? Kan dia belum nikah,” timpal wanita lainnya sambil berlalu menyusul Hasnah dengan suara yang dikeraskan, terlihat sekali mereka memang sengaja ingin menyindir dan mengejek Udin. “Kalau nggak mimpi basah ya paling mainan tangan, apa lagi kerjaan bujang lapuk seperti dia?” sahut Hasnah yang disambut tawa cekikikan oleh kedua orang temannya. Udin hanya diam. Senyuman kecut di wajahnya sudah lama hilang tergantikan oleh ekspresi marah dan kesal. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah penggali kubur miskin yang hidup sebatang kara. Jelas kalah jauh dari Ruwito yang berpenghasilan tetap dan katanya bekerja sebagai karyawan pabrik di kota. Udin tak mempedulikan lagi ocehan ketiga wanita yang ditemuinya tanpa sengaja barusan. Dia memutar badannya lalu menyelinap di antara pepohonan yang ada di pinggir jalan. Daripada bertemu dengan orang lagi, Udin memilih untuk menerobos kebun-kebun yang ada di pinggir jalan untuk pulang menuju rumahnya. ===== Udin duduk bersila dengan mengenakan sarung butut miliknya. Dia duduk di emperan rumah Haji Imron malam ini untuk mengikuti tahlilan selama tujuh malam yang diadakan oleh keluarga Haji Imron. Haji Imron sendiri meninggal kemarin pagi dan dikuburkan kemarin sore. Tadi malam, Udin membongkar kuburnya dan melakukan ritual yang diajarkan Bapak, jadi, malam ini adalah malam kedua tahlilan yang dilakukan di rumah Haji Imron. Selain Udin, puluhan orang berjubel di dalam rumah dan teras rumah Haji Imron untuk mengikuti acara tahlilan. Karena Udin bukanlah siapa-siapa, tentu saja dia tak berani untuk ikut masuk ke dalam rumah bersama keluarga dekat dan orang-orang berpengaruh di dalam sana. Udin memilih untuk mengikuti tahlilan di emperan rumah saja, bersama banyak petani-petani miskin yang mungkin merasa berhutang budi kepada Haji Imron dan ingin membalas kebaikannya dengan ikut mendoakan almarhum malam ini. Tapi, isi hati tak bisa diketahui dan dalamnya niat tak pernah tersurat. Kebanyakan anggota keluarga Haji Imron dan orang-orang kaya itu menganggap bahwa Udin dan para petani miskin lain hanya datang untuk menikmati hidangan makan mewah yang disediakan oleh keluarga Haji Imron saja. Mereka menganggap Udin dan warga lainnya yang berada di emperan rumah tak lebih dari sekedar pengemis yang niatnya tak tulus untuk mendoakan tapi sekedar ingin merasakan jamuan. Bahkan, mungkin anggapan seperti itu juga sudah tertanam di kepala para pembantu keluarga Haji Imron yang membagikan minuman dan hidangan ke arah mereka. Udin sama sekali tak melihat senyuman dan justru disuguhi muka masam mereka. Setelah melihat perlakuan yang dia dapatkan, Udin memutuskan dalam hati untuk tak kembali datang esok malam. Kehadirannya tak diinginkan di rumah ini. Mungkin banyak tetangga Udin yang sekarang duduk di emperan bersamanya memiliki pikiran yang sama. Setelah satu jam acara tahlilan berlangsung, akhirnya ritual itu pun selesai. Udin bergegas berdiri dan ingin segera pulang. Tapi di luar dugaannya, seseorang memanggilnya dengan suara sedikit keras dan membuat semua orang yang baru saja selesai mengikuti tahlilan melihat ke arah sosok itu. “Lho, Din? Kamu kok di luar?” Udin menoleh dan tersenyum sopan saat melihat ke arah suara itu berasal. “Anu, Bu Haji, tadi saya agak terlambat datang,” jawab Udin memberikan alasan. Bu Haji mengrenyitkan dahinya, “Besok lagi, kamu masuk ke dalam sini. Nanti biar bisa bantu-bantu juga. Dan ingat! Jangan telat!” cerocosnya setelah itu. Udin diam terbengong di tempatnya. Dia tak tahu harus menjawab apa. Tadi, dia sudah memutuskan untuk tak datang lagi esok malam karena perlakuan sinis dari para pembantu di keluarga Haji Imron, tapi sekarang, Bu Haji sendiri yang menyuruhnya untuk datang. Bagaimana cara dia untuk menolaknya? Di saat Udin masih kebingungan untuk menolak permintaan Bu Haji, wanita itu sudah berjalan keluar dari teras rumah menuju ke arah Udin yang berdiri dengan posisi sedikit membungkuk ke arah Bu Haji. Semua orang yang ada di sekitar Udin seketika mundur untuk memberikan jarak dan sedikit membungkukkan badan juga ke arah Bu Haji. Sebegitu parahnya sikap para petani di Banyuanteng kepada sosok wanita yang menjadi istri orang terkaya di desa mereka. “Kamu udah setahun berhenti kerja di selepan. Ibu tahu kalau kamu cuma ingin manut dengan permintaan almarhum Bapakmu. Tapi, kalau kamu mau kerja lagi di selepan, Ibu nggak keberatan. Toh kamu bisa sewaktu-waktu minta ijin jika memang dibutuhkan Pak Modin,” kata Bu Haji, kali ini dengan suara yang lebih lembut dibandingkan tadi. “Nggih Bu,” jawab Udin pelan. “Ya sudah. Kamu pikir-pikir dulu. Jangan lupa besok malam!” kata Bu Haji sambil berlalu meninggalkan Udin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD