“Jangan kurang ajar Din!!!” desis Bu Lurah sambil melotot ke arah Udin tapi Udin tak peduli. Udin dengan nekat kembali menjulurkan kakinya tepat ke arah sela-sela kedua kaki Bu Lurah di depannya. Bu Lurah kembali menepis kaki Udin dengan tangan kirinya dan melihat ke arah sekelilingnya dengan panik dan cemas, takut kalau ada yang memperhatikan mereka berdua di dalam warung soto ini.
Udin menundukkan kepalanya dan menikmati makanan di depannya seolah tanpa dosa. Sama sekali tak peduli dengan muka merah padam dan napas memburu dari wanita cantik di depannya.
Bu Lurah jelas tak bisa lagi menikmati soto pesanannya. Ada kaki nakal yang sedari tadi berusaha menyelisip masuk di sela-sela kedua pahanya, kaki Udin yang dijulurkan dari bawah meja. Meskipun masih ada gaun panjang yang menutupi kedua kakinya, Bu Lurah tentu merasa jengah dengan kelakuan Udin meskipun di saat yang sama, Bu Lurah sendiri merasakan tubuhnya mulai panas dingin karena rangsangan birahi yang tiba-tiba muncul dan mempengaruhinya.
Setelah beberapa kali Bu Lurah menepis kaki nakal Udin dan Udin tetap nekat, Bu Lurah akhirnya pasrah. Dia membiarkan kaki Udin menyelisip di antara kedua pahanya. Mungkin karena malu atau alasan lain, Bu Lurah menundukkan kepalanya dan tak berani melihat ke arah Udin yang juga sama-sama menundukkan kepalanya.
Merasa mendapat angin dan percaya sepenuhnya dengan keampuhan ilmu peletnya, Udin makin nekat dan berani. Kaki kanan yang tadi ada di sela-sela paha Bu Lurah dan hanya diam, kini mulai bergerak dan makin maju ke depan, menyentuh ke arah benda paling pribadi milik wanita cantik paruh baya di depannya itu.
“Ehh?” Bu Lurah terperanjat kaget tapi dengan cepat menutup mulutnya sendiri. Dia lalu mengepitkan kedua pahanya dan menjepit kaki Udin supaya tak bisa bergerak lagi. Kali ini Udin mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Bu Lurah yang masih menundukkan kepalanya.
“Buka,” bisik Udin pelan sekali tapi tentu saja Bu Lurah tahu maksudnya. Bu Lurah menggelengkan kepalanya tanpa berani mengangkat wajahnya.
Udin yang sedari tadi sudah panas dingin makin nekat, “Buka!!” perintahnya lagi dengan suara makin keras dan membuat pengunjung lain menoleh ke arah mereka berdua.
Wajah Bu Lurah merah padam. Dia tak berani menolehkan kepalanya, tapi perlahan-lahan Udin merasakan jepitan paha Bu Lurah di kakinya mulai berkurang.
Udin tersenyum senang. Sekejap mata kemudian, Udin mulai menggunakan jari kakinya untuk meraba dan menggesek mahkota Bu Lurah yang terbungkus gaun panjangnya di seberang meja.
Bu Lurah mengigit bibirnya sendiri dan memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya bergetar dan jemari tangannya meremas sendok dan garpu dengan kuat karena rangsangan birahi yang menguasai tubuhnya. Nafasnya memburu dan suara desahan tertahan sesekali keluar dari bibirnya yang mengatup rapat.
Udin tersenyum penuh kemenangan sambil menatap wajah Bu Lurah di depannya.
=====
Dari kota kecamatan ke desa Banyuanteng terdapat hamparan kebun karet yang lumayan luas milik Perhutani. Kebun karet yang berumur belasan tahun itu terjajar rapi dengan dedaunan rimbun menghijau menutupi permukaan tanah yang ditumbuhi rumput liar.
Di sela-sela jajaran pohon karet, terdapat banyak jalan tanah dengan lebar 3 meter yang biasanya digunakan oleh truk pengangkut hasil sadap karet dari masing-masing pohon ke tempat pengepul. Tapi hari ini, ada pemandangan yang lain. Sebuah mobil pick up dengan bak belakang yang isinya tak seberapa, terlihat terparkir di salah satu ujung jalan tanah tersebut. Jalan tersebut buntu dan berbatasan langsung dengan kebun milik warga yang ditumbuhi berbagai tanaman buah. Jelas saja, tempat tersebut sepi karena tak bakalan ada yang berlalu lalang di jalan buntu tersebut. Ditambah lagi saat ini sudah sore hari menjelang maghrib, para pekerja kebun jelas sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Mhhhhh…” Bu Lurah, yang memiliki nama asli Sulis, mendesah pelan dengan tubuh dipenuhi keringat. Dia duduk di atas pangkuan Udin yang juga terlihat kelelahan. Mereka berdua ada di kursi penumpang di sebelah kiri.
“Berapa kali?” tanya Udin ke arah Sulis. Sulis membuang mukanya dan tak menjawab.
Tangan Udin yang sebelumnya meremas-remas p****t Sulis, bergerak ke atas dan memutar wajah Sulis yang berpaling ke samping, “Berapa kali?” ulang Udin.
“Tiga…” jawab Sulis jengah setelah menghempaskan napas panjang dengan muka merah padam.
Udin tertawa puas ketika mendengar jawaban Sulis, “Nggak nyangka, Bu Lurah yang alim dan terhormat, ternyata liar juga, sampe tiga kali pipis,” godanya.
“Apa sih Mas?” protes Sulis sambil berusaha melepaskan diri dari pangkuan Udin. Udin dengan cepat menahan tubuh Sulis dengan memegangi pinggang wanita itu, tak urung, benda milik Udin yang sedari tadi masih menancap di tubuh Sulis kembali masuk ke dalam sana.
“Mhhh,” Sulis meringis.
“Mau kemana?” tanya Udin.
“Udah sore Mas, nanti ditanyain sama Bapak,” jawab Sulis.
“Emang kenapa? Dia mau ngerasaain ini juga?” tanya Udin sambil menggerakkan pinggangnya ke atas, membuat Sulis kembali mengerang tertahan.
“Huft…” Sulis hanya bisa mendengus pelan sambil kembali merebahkan tubuhnya ke pelukan Udin.
=====
Kejadian hari ini memang benar-benar di luar nalar dan dugaan Udin. Dia tak pernah bermimpi sedikitpun untuk bisa mendapatkan wanita seperti Bu Lurah sebagai korban ilmu peletnya. Dia hanya iseng dan mencoba peruntungannya saja tadi, siapa tahu, Si Mbak pemilik warung soto bertubuh seksi itu bisa dia dapatkan, tapi ternyata, Udin justru mendapatkan wanita yang jauh lebih istimewa dari bayangannya.
Setelah Udin mendapatkan Sulis sepenuhnya, wanita itu akhirnya menceritakan semuanya. Menceritakan tentang aib memalukan yang sangat ingin dia kubur dalam-dalam seumur hidupnya. Aib tentang hubungan Sulis dengan Haji Imron, kakak iparnya.
Sesuai dugaan Udin, Imron yang sebenarnya memiliki gelar Haji, ternyata memang laki-laki busuk yang berotak biadabb. Sekalipun Imron sudah memiliki istri lebih dari satu, dia masih saja gemar berpetualang untuk menikmati tubuh wanita-wanita lain. Ditambah lagi, Imron ternyata lebih suka mengincar istri laki-laki lain dibandingkan gadis-gadis bersatus perawan. Sulis termasuk salah satunya.
Untuk melanggengkan usaha dan pengaruhnya di Banyuanteng, Imron tentu saja harus menempatkan orang-orang kepercayaannya sebagai perangkat desa, termasuk tentu saja sang kepala desa yang menyandang gelar Lurah Banyuanteng.
Sekalipun bergelar Lurah, tapi kepala desa Banyuanteng bukanlah PNS yang ditunjuk dari pemda melainkan kepala desa yang dipilih melalui pilkades. Dengan uang yang dimiliki Imron, tentu saja untuk memenangkan pilkades di Banyuanteng bukanlah perkara susah. Hanya ada segelintir orang yang bisa bersaing dengan kemampuan keuangan Imron.
Sebagai orang nomor satu di Banyuanteng yang berhak mengambil keputusan penuh di sebuah desa, tentu saja, Imron tak bisa sembarangan memilih orang untuk dia bantu menjadi Lurah. Apa jadinya jika dia sudah bersusah payah dan keluar uang banyak untuk memodali seorang calon lurah saat pilkades tapi ketika dia sudah menjabat justru nanti akan menghambat jalan Imron? Karena itu, Imron butuh orang terpercaya yang bisa dia jadikan sebagai boneka. Dan pilihan Imron jatuh ke tangan adik kandungnya, Amran.