Pelet, part 10

1239 Words
“Maaf Bu, saya ndak bisa,” tolak Basari lirih. Bu Haji terdiam. Ini kali pertama dia menyuruh Basari untuk ke kecamatan mengangkut barang tapi dia menolaknya. “Kenapa?” tanya Bu Haji tajam. Basari jelas ketakutan ketika mendengar nada majikannya tapi apa yang bisa dia lakukan? Daripada nanti dia disambut dengan pisau dapur oleh istrinya di rumah, lebih baik dia memberanikan diri untuk menolak perintah majikannya. “Anu Bu… Ada masalah keluarga sedikit,” jawab Basari lirih. Bu Haji terlihat berpikir lalu bertanya dengan nada marah, “Jadi bener kata orang-orang, kalau kamu punya selingkuhan di kota kecamatan sana?” “Eh?” muka Basari jelas pucat pasi. Dia tak menduga kalau majikannya tahu tentang hubungan gelapnya dengan si Wiwik, janda bohay yang memang sering dia apeli di kota. “Dasar laki-laki!!!” sungut Bu Haji setelah melihat reaksi Basari. Basari hanya menundukkan kepalanya makin dalam tanpa berani membantah. “Kalau kamu nggak bisa, di selepan padi kan ada si Udin. Dia aja yang kamu suruh gantikan kalau mau angkut barang ke kecamatan,” lanjut Bu Haji dan langsung meninggalkan laki-laki itu tanpa menunggu jawaban. ===== “Aku nggak bisa nyetir mobil, Kang,” tolak Udin ketika mendengar cerita Basari sore itu di selepan padi. “Tapi aku juga nggak bisa Din… Kan kamu tahu sendiri kapan hari pas istriku ngamuk-ngamuk,” jawab Basari. “Dah gini aja Din, aku ajari kamu nyetir, nanti kalau ada perintah dari Bu Haji ke kota kecamatan, kamu yang pergi, gimana?” tanya Basari. “Iya deh, Kang,” jawab Udin ragu setelah berpikir lama. Udin jelas setengah hati ketika mendengar permintaan Basari. Sebelum ini, kesempatan terbebas Udin untuk menikmati Ida adalah ketika Basari disuruh keluarga Bu Haji untuk urusan ke kota dengan mobil pick upnya. Tapi mungkin setelah ini, Udin tak bisa sebebas kemarin-kemarin lagi. ===== Udin fokus ke jalanan di depannya. Di sebelahnya duduk seorang wanita berumur empat puluh tahunan yang mengenakan gaun longgar hingga ke kakinya. Tetapi meskipun umurnya dua kali lipat umur Udin, Udin harus mengakui kalau wanita di sebelahnya ini tetap cantik menurut standar Udin. “Kamu kok diem aja, Din?” tanya wanita di sebelah Udin memecahkan keheningan di dalam mobil mereka. “He he he…” Udin cuma tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Apa yang harus dia obrolkan dengan wanita di sebelahnya ini? Kasta mereka jelas jauh berbeda, Udin hanyalah buruh selep merangkap penggali kubur, sedangkan wanita di sebelahnya ini adalah wanita nomor satu di kelurahan Banyuanteng. Tak ada satu pun bahan obrolan yang terpikirkan di kepala Udin. Bu Lurah, yang bernama asli Sulis, adalah saudara ipar Haji Imron, karena Lurah Banyuanteng adalah adik kandung Haji Imron. Siang tadi, saat Bu Haji menyuruh Udin untuk mengambil barang ke kota kecamatan, tak pernah terpikirkan kalau dia akan semobil dengan Bu Lurah seperti sekarang. “Malah ketawa…” tegur Bu Lurah sambil tersenyum. Udin menarik napas panjang saat melihat senyuman Bu Lurah di sampingnya. Manis, dewasa, keibuan dan adem sekali. Sangat berbeda dengan kesan yang dia dapatkan dari Mbak Ida yang ketus dan jutek, atau dari Bu Haji yang arogan dan jumawa. “Kamu tadi udah makan sebelum jemput aku ke kecamatan, Din?” tanya Bu Lurah setelah mereka kembali terdiam selama beberapa saat. “Nganu Bu… Udah makan kok tadi…” jawab Udin cepat. “Yang bener?” tanya Bu Lurah. “Nggih Bu. Bener…” jawab Udin. “Tapi aku belum Din, nanti mampir ke warung soto di perempatan Ngadipiro ya?” pinta Bu Lurah. “Nggih Bu,” jawab Udin. Banyuanteng memang desa yang sedikit terpencil. Letaknya lumayan jauh dari kota kecamatan. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang memang tak semulus jalan di perkotaan, Udin biasanya membutuhkan waktu satu setengah jam mengendarai mobil pick up selepan padi di jalan. Biasanya, Udin mengendari mobil serampangan dan asal-asalan saat mengangkut barang dari Banyuanteng ke kecamatan atau sebaliknya. Tapi kali ini, karena ada mahluk cantik di sebelahnya, Udin lebih pelan dan berhati-hati, jangan sampai kepala mahluk cantik ini terantuk atap pick up karena lubang di jalan. “Kamu turun juga Din, makan sekalian…” kata Bu Lurah sambil membuka pintu mobil. “Nggak usah Bu, udah makan kok tadi,” tolak Udin halus. “Kamu turun dan makan sekalian,” kata Bu Lurah lagi masih dengan nada lembut tapi dieja perkata, memberi tekanan agar Udin tak menolaknya. Udin tersenyum kecut dan mengikuti perintah Bu Lurah. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah masuk dan berdiri di dalam warung. Warung Soto itu tak terlalu ramai, selain Udin dan Bu Lurah, hanya ada seorang pembeli lainnya. Bu Lurah memesan makanannya lalu berjalan menuju ke meja yang ada di pojok ruangan. Dia meminta Udin untuk memesan apa pun makanan yang dia inginkan. “Mbak, numpang ke toilet boleh?” tanya Udin ke arah si Mbak pemilik warung. “Ada di belakang Mas,” jawab si Mbak. Udin pun mengucapkan terimakasih lalu setengah berlari ke arah kamar belakang. Sebenarnya sih sudah sejak tadi dia menahan pipis, biasanya dia akan berhenti di jalan lalu kencing di balik pohon sekenanya, tapi karena ada Bu Lurah, nggak mungkin kan Udin melakukan itu? Udin menghembuskan napas lega setelah hajatnya tertunaikan. Sambil membersihkan burungnya, dia bersiul-siul senang. Saat si Udin mau membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba terbersit bayangan si Mbak pemilik warung soto yang tadi sempat berbicara dengannya. “Lumayan juga sih…” gumam si Udin, “tak secantik Ida, tapi toketnya sama pantatnya lebih gede.” Udin lalu terdiam. Tiba-tiba muncul niat iseng di kepalanya, “Apa aku coba aja ilmu peletku ya? Siapa tahu si Mbak pernah jadi korban kegatelan si Imron,” gumam Udin. “Tak ada ruginya mencoba. Kalau iya, syukur. Kalau nggak, ya berarti belum rejeki.” “Niat ingsun amatek aji…” Udin lalu merapal mantra ajian peletnya dan melakukan ritual usapan ke wajah dan k*********a. Tak lama kemudian, dia berjalan ke arah warung depan dengan wajah penuh pengharapan. Sesampainya di dalam warung lagi, Udin langsung menuju ke arah si Mbak yang sedang menyiapkan makanan di balik kotak kacanya, “Itu punyaku Mbak?” tanya Udin sambil memperhatikan wajah si Mbak dengan teliti. “Iya, Mas. Nasi pecel lauk telur dadar kan?” tanya si Mbak balik ke arah Udin. “Iya,” jawab Udin dengan lemas dan pelan. Jelas saja, harapannya ternyata tinggal harapan, dia tak melihat tanda hitam di mata si Mbak seksi pemilik warung. Khayalan liarnya di kamar mandi tadi kandas sudah. Melihat raut muka kecewa Udin, Si Mbak mengrenyitkan dahinya, “Napa Mas? Ada yang salah dengan pesanannya?” tanyanya. “Nggak Mbak… Nggak…” jawab Udin cepat sambil menerima piring nasi berisi pecel dengan lauk telur dadar dari tangan si Mbak. Setelah itu Udin mengedarkan pandangannya ke sekeliling warung mencari tempat kosong. Udin menemukan sebuah meja kosong di salah satu sudut warung lalu berjalan ke sana. “Din!!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dan membuat Udin menghentikan langkahnya. Dia lalu menolehkan kepalanya ke arah suara itu berasal dan tertegun di tempatnya. Mungkin gara-gara kecewa karena si Mbak yang diincarnya ternyata tak bisa menjadi sasaran ilmu peletnya, Udin untuk sesaat lupa kalau dia tak sendirian di warung ini. Saat mendengar seseorang memanggilnya dan dia menolehkan kepalanya, Udin baru teringat jika dia makan ke warung ini bersama Bu Lurah, adik ipar mendiang Haji Imron. Tapi… Bukan itu yang membuat Udin terpana di tempatnya berdiri. Udin terpana karena dia melihat tanda itu di wajah Bu Lurah, tanda bahwa wanita tersebut pernah berhubungan badan dengan Haji Imron.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD