Happy Reading
Hari-hari yang dilalui Aluna di Inggris tentu saja tidak mudah, dia hanya sendiri di sana. Tiga bulan sudah Aluna tinggal di London, tidak jadi di Manchester. Berbekal pengalamannya kerja di perusahaan milik pamannya dulu, Aluna bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di kota itu. Akan tetapi, ternyata semuanya tidak seperti yang dibayangkan. Dua bulan bekerja, kondisi Aluna yang sedang hamil trimester pertama membuatnya sering lelah dan drop. Dia mengalami gejala morning sick Ness meski tidak terlalu parah. Padahal Aluna selalu bersemangat untuk menata hidupnya dengan sang calon buah hati, tetapi kondisinya yang seperti itu, sering lelah dan tidak nafsu makan, bahkan mual-mual saat bangun tidur membuat Aluna berpikir jika seharusnya dia tidak pernah melakukan perbuatan yang membuatnya mengandung sang buah hati.
"Maafkan Mami, ya nak. Insya Allah Mami kuat. Kita bisa yukk," gumam Aluna mengelus perutnya yang sudah terlihat sedikit membuncit itu. Baru sedikit, usia kandungannya juga baru tiga bulan, tetapi sudah tidak terlihat datar.
Selama tiga bulan ini Aluna masih sering berkomunikasi dengan ibunya. Akan tetapi, Aluna tidak pernah mau tahu tentang kabar di sana. Baik kabar tentang pernikahan Alva dan Mutia, atau kabar apapun itu. Indira–sang ibu sebenarnya tahu betul bagaimana perasaan Aluna pada Alva dan setelah dipikir-pikir lagi, Indira dan Bima mengaitkan pernikahan Alva dengan kepergian Aluna.
Indira yakin jika kepergian Aluna karena Alva dan Mutia. Maka dari itu, Indira tidak pernah memberitahu di mana Aluna berada pada semua orang termasuk Alva dan Mutia. Meskipun sejak kepergian Aluna, Alva sering sekali pergi ke rumahnya hanya untuk mencari tahu kemana Aluna pergi, Indira dan Bima tetap bungkam tidak memberikan petunjuk apapun pada pria tersebut.
***
Enam tahun kemudian.
"Mami, kaos Valen yang gambar bola di mana?!"
"Warna apa? Bolanya bola apa? Valen 'kan punya kaos bola 5 dan semuanya beda warna, sayang."
"Itu loh, Mi. Bola basket yang warna biru."
"Oh, yang itu ada di lemari, coba cari dulu."
"Udan Valen cari, tapi nggak ada!"
Wanita itu berdiri dari duduknya dan keluar dari ruangan yang menjadi tempat kerja kedua di rumahnya. Menghampiri seorang anak laki-laki yang kini tengah cemberut.
"Valen, udah dicari di bagian bawah belum?" Anak laki-laki itu menggeleng. Wanita itu tersenyum dan mengelus rambut sang putra dengan sayang.
"Kaos gambar bola itu semuanya Mami taruh di bagian bawah, sayang. Jadi, pasti ada di sana. Ayo, Mami kasih tahu tempatnya." Anak laki-laki bernama Valen itu pun mengangguk.
"Ayok, Mi. Tadi Valen udah cari tapi tetep nggak ketemu, kalau yang nyari Mami pasti ketemu." Ada-ada saja tingkah Valen ini. Sebenarnya dia hanya ingin merepotkan ibunya karena sejatinya Valen bahkan belum membuka lemarinya.
Keduanya berjalan beriringan menuju kamar yang pintunya bertuliskan Valen Mahardika Sebastian.
"Coba Mami lihat, kemarin Nany Anna mengatakan kalau dia udah taruh baju-baju gambar bola di sana."
Saat akan mencari di mana letak baju bola milik Valen, tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Nama sang ayah nampak di layar. Sudah lama sekali mereka tidak berkirim kabar karena mungkin kesibukan masing-masing yang membuat mereka lupa untuk saling menghubungi.
"Halo, Pa. Apa kabar?"
"Halo, Nak. Kabar papa baik, sehat. Tapi tidak dengan mamamu—"
"Mama kenapa, pa?"
"Luna, Mamamu kambuh lagi dan kali ini harus masuk ke rumah sakit, opname. Dia selalu menanyakan kabarmu."
Jantung Aluna seperti diremat tangan tak kasat mata saat mendengar ucapan sang ayah. Apa tadi yang dia dengar? Ibunya sakit dan di rawat. Ya, wanita itu adalah Aluna Sebastian.
Tangan Aluna bergetar, kesehatan ibunya memang akhir-akhir ini menurun. Meski begitu Aluna memang tidak mau jika disuruh pulang ke Indonesia selama 6 tahun menetap di London. Sehingga di tahun-tahun pertama Aluna–saat dia hamil dan melahirkan, Indira dan Bima yang bolak-balik ke London.
"Bisa kan, nak? Kamu pulang, ya? Papa yakin kalau kamu sudah siap. Kasian Mamamu, selama ini dia sudah menahan rindu ingin bertemu denganmu dan Valen, jika kondisinya memungkinkan pasti sudah terbang ke London dari kemarin-kemarin."
Aluna mendesah berat, dadanya terasa sakit sekali mendengar kabar ibunya yang saat ini tengah drop dan dirawat.
"Aluna, tolong turunan egomu sedikit saja, demi papa dan mama," lanjutnya.
Bima dan Indira selama ini selalu bisa mengerti keadaan ibunya, tetapi kalau sudah seperti ini, ibunya sakit dan sang ayah memohon untuk pulang, apakah Aluna masih bersikeras menolak.
Aluna berjalan keluar kamar Valen, dia memilih duduk di sofa ruang tamu. Kakinya tadi terasa lemas seperti jelly saat mendengar jika kondisi ibunya yang drop. Apakah dia sudah siap jika harus kembali ke tanah air? Apakah dia sudah siap jika harus bertemu kembali dengan masa lalunya.
"Nak, dia udah lama bercerai, bahkan tahun-tahun setelahnya dia terlihat begitu menyesali semuanya, perbuatannya. Jadi, jangan jadikan sakit hati kamu hanya karena pria itu. Kalau kamu bisa berdamai dengan keadaan, seharusnya kamu sudah tidak apa-apa meski bertemu dengannya. Papa yakin, kamu pasti bisa. Lakukanlah demi Mama, sudah saatnya kamu kembali, Luna."
Sejak tadi Aluna diam saja, dia memang sudah menyiapkan hatinya jika diharuskan kembali ke tanah kelahirannya. Kalau ditanya apakah dia sudah berdamai dengan keadaan, jelas jawabannya sudah. Kalau belum, Aluna tidak akan akan berada di titik ini. Sebenarnya dia merasa sudah betah di sini dan dia sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus. Jadi, sayang kalau ditinggalkan.
Akan tetapi, setelah mendapatkan kabar seperti ini, apakah Aluna masih tidak rela meninggalkan pekerjaan?
"Baik, Pa. Luna akan pulang dan akan menetap di sana, kasih waktu Luna buat urus surat resign, ya?"
"Makasih ya, sayang. Papa dan Mama akan menunggumu."
Aluna menggenggam erat ponselnya setelah panggilan itu berakhir. Dia tahu jika Alva dan Mutia bercerai beberapa tahun lalu. Ibunya yang bercerita, tetapi setelah itu Aluna mengatakan jika dia tidak mau tahu tentang kabar mereka. Itu pun ibunya keceplosan dan segera minta maaf. Aluna juga sudah tidak peduli lagi dengan ayah dari anaknya.
"Mami, udah belum? Valen belum ketemu kaos bolanya!"
"Ah, iya sayang. Ayok kita cari!"
***
Aluna dan Valen sudah menginjakkan kakinya di bandara internasional Soekarno-Hatta. Akhirnya Aluna pulang ke tanah air bersama Valen dan sang putra terlihat begitu antusias karena sejak dulu dia ingin ke Indonesia.
"Mami, itu kakek!" tunjuk Valen pada Bima yang melambaikan tangannya.
"Iya, ayok kita ke sana."
Aluna dan Valen berjalan cepat ke arah Bima yang datang bersama asisten pribadinya. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata melihat mereka dari jarak yang tidak jauh. Matanya memicing seperti elang dan sedetik kemudian mata itu terbelalak sempurna.
"Halo, Al. Gue liat Luna di bandara!"
Bersambung.