Happy Reading
Aluna tidak bisa lagi tinggal di kota ini, dia harus pergi jauh membawa luka hatinya. Setelah sekian lama dia mempertahankan perasaan cintanya pada pria yang sama selama bertahun-tahun, akhirnya Aluna dengan rasa sakit yang dalam dan penuh kerelaan, dia melepaskan perasaan cinta itu. Aluna sudah lelah, dia sudah tidak mau berlari lagi, dia akan berhenti dan menjauh. Mungkin dengan menjauh dari sang pembawa luka, perlahan Aluna akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Alva Ivanno Xanders, sudah cukup bagi Aluna mencintai pria itu. Sudah dipastikan dengan jelas jika Alva tidak akan pernah mau mencintainya. Buktinya, bahkan dia sampai akan menikahi Mutia, wanita yang dua tahun lalu Aluna perkenalkan dengan Alvam Sahabat baiknya yang tahu dengan jelas kisah cintanya pada Alva yang hanya bertepuk sebelah tangan. Mutia tahu jika dirinya sedang berjuang mendapatkan cinta Alva. Namun, ternyata sahabatnya itu malah membangun cintanya sendiri dengan pria itu.
Alva bahkan tidak peduli jika dirinya hamil, dengan jelas dan sadar pria itu mengatakan pada Aluna untuk menggugurkannya, mengatakan jika dia tidak menginginkan benih itu. Cukup sudah rasa sakit yang selama ini dia derita. Sampai rasanya dia sudah mati rasa.
Jika akhirnya seperti ini, Aluna tidak akan memberikan keperawanannya pada Alva. Dia juga tidak akan nekat memberikan obat perangsang kepada pria itu hanya karena obsesinya semata.
"Nak, kenapa mendadak sekali?" tanya Indira, ibunya Aluna.
"Luna ada pekerjaan di sana, Ma. Maaf nggak memberitahu sebelumnya. Sebenarnya Luna juga nggak tahu kalau lamaran pekerjaan itu akhirnya di Acc, jadi semuanya terkesan mendadak, padahal tidak sama sekali," jawab Luna tanpa menatap sang ibu, dia sebenarnya tengah berbohong, tidak ada panggilan kerja di sana.
Aluna bahkan tidak mengirimkan lamaran pekerjaan apapun karena dia sudah merasa betah dengan pekerjaannya di Jakarta. Dia bekerja di salah satu perusahaan milik pamannya sebagai staf biasa. Meskipun ayahnya sendiri memiliki perusahaan kecil dalam bidang furniture, tetapi Luna lebih suka bekerja dari nol dengan menjadi staff biasa di perusahaan properti milik adik ibunya.
Dia ingin karirnya berkembang sendiri dengan kekuatannya, bukan karena orang dalam yang bisa langsung memberikannya jabatan.
"Tapi, Papa belum, tahu? Tunggu Papa pulang dari Jepang dulu, ya? Baru kamu berangkat ke Manchester," ujar Indira.
Entah kenapa dia merasa tidak tega jika putrinya harus pergi jauh dan ini benar-benar dadakan, sebelumnya bahkan Aluna tidak mengatakan apa-apa atau memberikan kode jika dia ingin bekerja di luar negeri.
"Papa kapan kembali ke Jakarta?"
"Besok lusa udah kembali, pokoknya kamu nggak boleh pergi sebelum papa pulang." Aluna pun mengangguk dan menurut, tentu saja dia tidak bisa langsung pergi begitu saja. Dia juga harus segera mengurus visa dan tiket perjalanan. Untung saja paspornya masih berlaku selama 6 bulan ke depan, jadi Aluna hanya akan mengurus visanya saja.
"Oke, Ma."
"Apa nggak nunggu pernikahan Alva dulu?" Aluna menegang mendengar sang ibu menyebutkan nama yang sekarang sangat dia benci itu.
"Nggak Ma, nanti keburu interview dan takutnya malah nggak lolos, ini kesempatan satu-satunya," jawab Aluna. Tentu saja dia tidak akan menghadiri pesta pernikahan dua orang yang telah begitu menyakitinya itu.
Sebenarnya di sini Aluna tahu jika dialah sebenarnya yang egois. Aluna menginginkan Alva, mencintai pria itu dengan sangat dalam, tetapi Alva sudah mengatakan jika dia tidak bisa membalas cinta Aluna dan hanya menganggapnya sebagai saudara perempuan tidak lebih.
Sekarang Aluna sadar kalau cinta memang tidak bisa dipaksakan. Lebih baik dia membenci Alva dan menata hatinya kembali daripada jelas-jelas tidak mendapatkan balasan cinta.
"Ya sudah, Mama ke dapur dulu." Aluna mengangguk. Tersenyum saat sang ibu mengelus rambutnya lembut.
"Luna, sayang banget sama Mama, maafin Luna kalau belum bisa jadi anak yang baik," lirih Aluna saat ibunya sudah keluar dari kamarnya dan tidak terlihat lagi. "Maaf kalau Aluna bohong, Luna belum siap buat cerita yang sebenarnya."
Aluna menghela napas panjang, dia berusaha menata hatinya dan bersiap dengan pelariannya. Saat ini dia harus mempersiapkan segalanya. Menata hati dan pikiran tentunya.
Wanita itu memilih untuk membuka ponselnya yang sejak kemarin dia matikan. Entah karena rasa kecewanya luar biasa, Aluna bahkan langsung memblokir nomor Alva. Pria itu sekarang sudah menjadi musuh yang paling dia benci. Berharap jika setelah dia pergi tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
***
Aluna melihat pesan yang dikirimkan oleh Mutia, wanita itu menanyakan kabarnya karena tiga hari tidak ada kabar sama sekali bahkan nomornya pun tidak aktif. Aluna berusaha menahan perih di hatinya, Mutia itu sahabatnya dan Alva juga sahabatnya yang sangat dicintai. Tetapi, kenapa dia merasa Mutia ini menusuknya dari belakang. Ah, tentu saja Mutia dan Alva, dua-duanya menusuknya dari belakang karena diam-diam menjalin hubungan tanpa memberitahunya.
Jika bukan karena salah satu teman yang mengatakan melihat keduanya jalan bareng beberapa kali, tentu saja Aluna tidak akan tahu jika keduanya memiliki hubungan.
"Gue nggak tahu apa salah gue sama lu, Mut. Lu tau kan kalau gue cinta sama Alva, tapi kenapa lu tega merebutnya!" gumam Aluna menatap foto profil Mutia. Dimana foto itu adalah gambar Alva dan Mutia yang tersenyum bahagia menghadap kamera.
"Selamat ya untuk kalian berdua, gue udah ikhlas banget, semoga kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan." Aluna tidak akan mendoakan kebahagiaan mereka berdua.
Hanya berdoa semoga mendapatkan apa yang mereka inginkan, entah itu apa. Setelahnya Aluna memblokir nomor Mutia sebelum dia membalas pesan sahabatnya itu. Ah, sekarang sudah bukan menjadi sahabat lagi, lebih pantas disebut sebagai mantan sahabat.
***
Beberapa hari kemudian.
Akhirnya, hari itu Aluna berpamitan dengan kedua orang tuanya untuk pergi ke Inggris. Aluna bahkan mengarang cerita jika dia sudah diterima salah satu perusahaan besar di sana. Meskipun baru wawancara saja.
Sang ayah sebenarnya sudah curiga dengan kepergian sang putri yang menurutnya mendadak, tetapi Bima memilih diam. Jika sudah saatnya nanti, pasti Aluna akan cerita.
Aluna meninggalkan tanah kelahirannya untuk menyembuhkan luka hatinya. Dia tidak menyesal telah melakukan malam pertamanya dengan Alva, meskipun sekarang dia sangat membenci pria itu, tetapi Luna tidak membenci calon anaknya.
"Kita bisa berdua, ya nak. Mami akan jaga kamu dan kita berdua bahagia bersama," gumam Aluna mengelus perutnya.
Saat ini dia sudah berada di pesawat, Aluna sudah ikhlas dan dia akan berusaha menata hati dan hidupnya di negeri Ratu Elisabeth itu. Meninggalkan segala kenangan pahit dan manis di negaranya sendiri.
***
Di kediaman Alva.
Pria itu gelisah, mondar-mandir tidak jelas. Sudah 4 hari Aluna tidak ada kabar. Bahkan nomornya sampai sekarang tidak aktif. Entah kenapa tiba-tiba Alva merasa sangat bersalah, bohong jika dia tidak kepikiran dengan Aluna. Apalagi saat wanita itu mengatakan jika dia tengah mengandung anaknya.
"Sial! Kenapa semua jadi seperti ini!" Alva menjambak rambutnya frustasi.
Sungguh dia tidak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini dalam hidupnya. Alva merasa sangat bersalah pada Aluna, tetapi dia takut jika harus membatalkan pernikahannya dengan Mutia dan pasti akan mengacaukan segalanya jika dia ingin bertanggung jawab. Saat itu yang ada dalam pikirannya adalah meminta Aluna untuk menggugurkan kandungannya dan entah kenapa sekarang dia merasa menyesal dengan kata-kata yang telah dia ucapkan.
"Aku harus gimana, Lun!"
Suara nada dering ponsel membuat Alva berjangkit kaget, wajahnya sudah sumringah dan dia berharap jika Aluna yang menghubunginya. Aluna tidak akan betah lama-lama tidak mengabari. Pasti wanita itu sudah merindukannya seperti yang sering dia katakan.
"Al, gue kangen. Lu mau 'kan makan malam sama gue?"
"Alva, tolong bantu gue, ya? Sebenarnya gue cuma pengen ketemu aja, seharian nggak ketemu sama lu tuh berasa satu bulan aja."
"Al, gue cinta banget sama lu, bahkan mungkin cinta Mutia nggak sebesar cinta gue!"
Aluna dengan kecerewetannya membuat Alva rindu. Eh, sebenarnya siapa yang rindu sekarang?
Alva akan mengangkat panggilan itu, tetapi terhenti saat tahu siapa yang meneleponnya.
"Mutia," gumam Alva.
Entah kenapa rasanya kecewa karena bukan Aluna yang menghubungi. Mungkin baru kali ini Alva tidak suka jika Mutia yang telepon.
Jika biasanya Alva tersenyum saat melihat nama Mutia di layar, sekarang dia sangat ingin jika nama itu adalah Aluna.
Bersambung.