Bab 4. Aku Menyesal, Luna!

1033 Words
Happy Reading "Alva, ini kopi buat kamu," ujar Mutia menyerahkan kopi hitam kesukaan Alva–mantan suaminya. Meskipun pernikahan mereka sudah kandas lima tahun lalu, tetapi Mutia masih bekerja sebagai sekretaris Alva di perusahaan Xanders Grup. "Makasih, taruh aja di situ," jawab Alva tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Mutia meletakkan kopi itu di sebelah laptop dan dia pun tidak sungkan untuk duduk di kursi meskipun Alva tidak menyuruhnya. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang ingin kamu laporkan?" Kali ini Alva menatap Mutia yang duduk dengan wajah sendu di depannya. "Ehm, jadwalmu hari ini lenggang, tidak ada rapat ataupun meeting," jawab Mutia menggigit bibir bawahnya. "Lalu? Kenapa kamu nggak kembali ke mejamu?" Pertanyaan Alva semakin membuat Mutia menggigit bibir bawahnya. Ada rasa takut dan gugup, sebenarnya dia sangat ingin mengatakan sesuatu pada mantan suaminya, tetapi melihat tatapan Alva yang tajam, entah kenapa membuat Mutia mengurungkan niatnya. "Al—" "Panggil aku "Pak" seperti yang lain, Mutia. Meskipun kita hanya berdua, tapi kita masih di kantor dan kita harus profesional. Jangan hanya karena kamu mantan istriku lalu dengan seenaknya kamu berbuat tidak sopan padaku. Ingat Mutia, kalau bukan karena keinginan Pak Salam, aku sudah tidak akan mempertahankan kamu jadi sekretaris ku." Perkataan Alva benar-benar membuat Mutia menunduk. Matanya bahkan sudah basah. Akan tetapi, Mutia langsung menghapusnya, dia berdiri dan membuang hormat. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mutia langsung keluar dari ruangan mantan suaminya. Mutia menutup mulutnya setelah menurut pintu ruangan sang CEO. Dia tidak boleh menangis sekarang, meskipun hatinya sakit saat mendengar ucapan Alva yang menurutnya sangat tajam menghujam, tetapi memang apa yang diucapkan oleh mantan suaminya itu benar adanya. Jika bukan karena ayahnya yang memohon dan meminta pada Alva agar tidak memecatnya, sudah sejak 5 tahun lalu dia pasti sudah tidak bekerja di perusahaan besar ini lagi. Mutia duduk di meja kerjanya dengan perasaan dongkol, marah, kecewa, dan sedih. Sudah lima tahun berlalu, tetapi Alva masih belum bisa membuka hati untuknya lagi. Padahal Mutia sudah berulang kali meminta maaf dan berusaha menjadi istri yang baik. Namun, lima tahu lalu Alva tetap menceraikannya. "Apa kamu benar-benar udah gak mau kasih kesempatan untukku, Al? Apa yang sebenarnya kamu cari? Aluna? Dia bahkan udah pergi, gak tau di mana sekarang. Tapi kenapa kamu masih menunggunya?" lirih Mutia memandang foto Alva yang dia letakan di laci meja kerjanya. Sungguh dia tidak pernah menyangka jika perbuatannya enam tahun lalu, tepatnya seminggu setelah mereka menikah, akan membuat Alva membencinya. Padahal jelas-jelas dulu Alva sangat mencintainya. Hanya karena hal itu Alva langsung membencinya, bahkan selama setahun pernikahan mereka, Alva tidak pernah mau menyentuhnya. Mutia frustasi, dia melakukan banyak hal agar Alva mau menyentuhnya dan bersikap seperti dulu. Namun, apa yang terjadi? Alva malah melayangkan gugatan cerai tepat setahun pernikahan mereka. *** Di dalam ruangan, Alva mengusap wajahnya kasar. Pria itu mengambil figura kecil di depannya dan mengelus wajah cantik di dalam figura itu. "Lu di mana Lun, gue mau minta maaf. Gue nyesel Lun. Hidup gue benar-benar berantakan setelah lu pergi membawa anak kita. Semua yang elu ucapkan waktu itu jadi kenyataan, gimana caranya gua bisa ketemu sama lu? Kembalilah, Aluna!" gumam Alva dengan mata yang berembun. Setiap dia melihat foto Aluna dan mengajak gambar itu bicara, Alva seakan mencurahkan semua perasaannya. Dia selalu ingat kata-kata Aluna terakhir kali saat mereka bertemu. Saat itu Aluna mengungkapkan jika dia hamil dan Alva memintanya untuk menggugurkan kandungan itu. "Lu pasti bakal nyesel dan hidup lu nggak akan tenang!" Teriak Aluna saat itu. Dan ucapannya berhasil membuat hidup Alva benar-benar berantakan. "Gue nyesel! Kenapa waktu itu gue nggak menerimanya," gumam Alva masih menatap foto Aluna yang tengah merangkulnya. Foto itu diambil saat setelah wisuda dan mereka merayakan hari itu dengan makan-makan di sebuah tempat yang kata Aluna tempat romantis. Ya, waktu itu sebelum Mutia datang. Mengingat Mutia, ternyata perasaannya pada wanita itu memang bukan sebuah perasaan cinta yang sebenarnya. Hanya sebatas kagum, sayang, dan kasihan. Jika bukan karena "hal itu" mungkin Alva masih terus merasa bersalah pada Mutia karena begitu liciknya sang mantan istri. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya sehingga masih memberikannya kesempatan kedua untuk mendapatkan Aluna kembali dan Alva menyadari jika selama ini sebenarnya dia sudah sangat mencintai Aluna, bukan Mutia. "Lun, kalau kita bertemu aku ingin sekali bersujud di depanmu, aku harap kamu masih mau memaafkanku." Waktu enam tahun terasa begitu lama, selama itu pula Alva terus berusaha mencari tahu keberadaan Aluna. Akan tetapi, semuanya sia-sia, seakan ada seseorang yang membuatnya tidak bisa menemukan Aluna dengan mudah. Sebuah dering ponsel membuyarkan lamunan Alva, dia melihat nama Jero di layar. "Halo, ada apa?" "Halo, Al. Gue liat Luna di bandara!" "Luna? Aluna Sebastian?" "Iya, Luna siapa lagi emangnya yang lu cari-cari selama ini? Emang ada Luna-luna lain?" "Ya enggak, gue cuma mastiin aja. Eh, di mana tadi lu liatnya?" "Tapi nggak gratis, ya?" "Ck, iya-iya. Emangnya lu mau apa?" Hening sebentar, membuat Alva berdecih kesal. "Gue mau minta salah satu minuman koleksi lu, ya?" "Iya-iya, sekarang posisi lu di mana? Gue mau on the way, jangan sampai gue kehilangan Luna lagi!" "Udah diluar kayaknya, calon mertua lu yang jemput sama asprinya, Jean. Gue nggak berani nyapa kalau ada si Jean. Mending lu cepetan kemari, sepertinya meren udah mau pergi." Alva langsung mematikan panggilannya tanpa menjawab Jero. Pria itu segera mengambil dompet dan kunci mobilnya kemudian bergegas keluar dari ruangan itu. "Pak, Alva. Anda mau kemana?" tanya Mutia saat melihat Alva keluar dari ruangannya dengan terburu-buru. "Aku akan pergi, mungkin tidak akan kembali sampai waktunya pulang." "Ah, tapi ...." ucapan Mutia hanya menggantung karena Alva sama sekali tidak berhenti ataupun menoleh kepadanya. Pria itu benar-benar bersikap sangat dingin dan tidak tersentuh. Mutia juga tahu jika Alva selama ini masih mencari keberadaan Aluna yang pergi enam tahun lalu. Mutia sangat iri dan cemburu dengan Aluna. Apalagi Alva sekarang dengan terang-terangan selalu menyebut jika dirinya mencintai Aluna. "Ku harap kamu nggak akan pernah kembali lagi, Lun. Udah bagus lu pergi seperti ini, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya, gue tahu kalau Alva tetep nggak bisa melupakan lu." Mutia kembali duduk dan melamun di meja kerjanya. *** Alva langsung pergi ke Bandara Soekarno Hatta tanpa supir, dia menyetir sendiri dan harus segera sampai ke sana sebelum Aluna pergi menghilang lagi. "Aluna, apakah kamu membawa anak kita juga?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD