Bab 5. Kisah Enam Tahun Lalu

1022 Words
Happy Reading Alva memukul setir mobilnya, merasa frustasi karena jalanan di depannya macet parah. Padahal dia harus cepat-cepat sampai di bandara, kalau tidak dia akan kehilangan Aluna lagi. Tentu saja Alva tidak mau kehilangan jejak Aluna, wanita yang telah melahirkan anaknya dan juga wanita yang telah membawa sebagian hatinya pergi. Entah apa jenis kelamin anaknya, Alva tidak pernah tahu. Keluarga Aluna benar-benar apik sekali menyembunyikannya. Anak? Mengingat hal tersebut, Alva selalu sedih, matanya langsung memanas dan terkadang air matanya tidak bisa ditahan dan meluncur begitu saja. Rasa bersalah menggerogoti hati, jiwa, dan raganya. Rasa-rasanya Alva tidak bisa mendapatkan ketenangan dalam hidup. "Luna, maafin gue! Gue nyesel!" Alva tahu kalau Aluna tidak akan menggugurkan kandungannya, seperti dulu yang dia ucapkan pada Aluna. Kata-kata yang meluncur dari bibirnya saat itu benar-benar jahat. Kata-kata itu selalu terngiang di kepalanya, setiap waktu, seakan mengejarnya agar dia selalu menyesal. "Gugurin kandungan lu, gue nggak akan bertanggung jawab! Gue udah mau nikah sama Mutia, semua persiapan udah hampir seratus persen dan gue nggak mau pernikahan itu batal. Jadi sebaiknya lu gugurin kandungan itu!" "b******k lu, ya! Tega lu nyuruh gue bunuh darah daging lu sendiri!" "Itu bukan benih dari gue! Gue nggak menginginkan benih itu! Lu harus buang karena hanya Mutia yang akan mengandung benih gue!" "Astaghfirullah!" Alva menghapus air matanya. Lagi dan lagi selalu saja masih terngiang. Alva berjanji kalau dia akan mendapatkan cinta Aluna kembali. Sudah 6 tahun Alva hanya hidup dalam penyesalan dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini lagi ketika Laluna sudah kembali ke Jakarta. Melihat jalan di depan belum juga bergerak, membuat Alva menahan emosi. "Aarrggk, sial! Kenapa cobaanku berat banget sih," gerutu Alva kesal setengah mati. Hanya jalan ini yang dekat dengan bandara, kalau harus memutar melewati jalan lain nanti bisa memakan waktu yang cukup lama. Ponsel Alva berdering, sebenarnya dia sangat malas untuk mengangkat panggilan itu kalau saja tidak melihat nama yang menghubunginya. "Halo, Jer. Gimana?" "Lu posisi di mana sekarang?" "Gue udah di jalan menuju bandara, tapi di depan macet parah dan gue nggak bisa gerak sama sekali." "Sebaiknya lu putar balik deh, Aluna sama Om Bima udah keluar dari bandara. Jadi percuma juga kalau lu ke sini. Mending lu pergi ke rumah Om Bima atau ke rumah sakit di mana Tante Indira dirawat. Pasti itu tujuan Aluna sekarang dan gue yakin Aluna pulang karena keadaan tante Indira yang semakin parah." Alva mengangguk mengerti, dia sudah mendengar jika keadaan Indira–ibunya Aluna drop dan harus dirawat di rumah sakit. Alva memang belum sempat menjenguknya, mengingat bagaimana sikap Indira yang sangat dingin padanya setelah tahu keadaan Aluna yang hamil karenanya. Ah, jika ada yang penasaran sejak kapan orang tua Aluna tahu jika anaknya hamil. Jawabannya, setelah pernikahan Alva, saat itu pikiran Alva kacau karena kepikiran Aluna terus. Apalagi setelah menikah, dia tahu suatu hal yang membuatnya membenci Mutia yang saat itu sudah sah menjadi istrinya. Saat itu Alva mencari keberadaan Aluna di rumah Om Bima. Karena orang tua Aluna tidak mau mengatakan keberadaan anaknya itu, akhirnya Alva mengatakan jika Aluna tengah hamil anaknya. Jangan ditanya bagaimana tanggapan Om Bima dan sang istri. Alva langsung menjadi samsak hidup ayahnya Aluna. Jika saja Aluna tidak telepon dan Indira yang menjerit, sudah bakal menjadi almarhum si Alva. Bahkan karena kejadian itu selama seminggu lebih Alva tidak bisa menyentuh Mutia karena bayang-bayang Aluna yang tengah hamil anaknya, rasa menyesal itu membuatnya tidak bersemangat hingga saat pernikahan mereka memasuki bulan pertama, Alva tidak sengaja mendengar Mutia bicara pada Trias–ibunya Mutia dan mengatakan hal yang begitu melukai harga dirinya. Sungguh ucapan Mutia membuat Alva semakin menyesal telah membuat Aluna kecewa dan sakit hati. Saat itu, rumah tangganya dengan Mutia hancur berantakan berkeping-keping, Alva bertahan sampai setahun pernikahannya dengan segala godaan dan rayuan dari Mutia. Bahkan orang tua Alva sampai memarahinya karena aduan dari Mutia jika Alva berubah dan tidak mau memberikan nafkah batin karena kebekuan hati Alva. Puncaknya ketika setahun pernikahan mereka, Mutia tahu jika Alva selalu mencari keberadaan Aluna dan mengatakan jika Alva begitu mencintai wanita itu, saat itulah topeng Mutia terbuka. Terucap lah kata talak dari bibir Alva pada istri yang tidak dia cintai itu. Alva sadar, jika sebenarnya selama ini dia mencintai Aluna tetapi dia selalu menekan egonya agar tidak ada yang akan terluka diantara mereka nantinya. Akan tetapi, ternyata Alva salah besar, kebahagiaannya adalah Aluna dan kerinduan terbesarnya tercipta untuk wanita yang mengandung benihnya itu. *** "Kakek, kita akan kemana?" tanya Valen. Sejak tadi wajahnya selalu ada di jendela, menikmati pemandangan luar kota Jakarta. "Kita ke rumah kakek, nanti kalian istirahat di sana. Setelah itu Mami akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk nenek," jawab Aluna. "Nenek sedang sakit ya, Mi?" "Iya, nanti Valen di rumah aja ya, ada Mbak yang jaga Valen. Mami sama kakek akan ke rumah sakit menjenguk nenek. Nggak apa-apa, kan?" tanya Aluna pada sang putra. "Memangnya Valen gak boleh ikut ke rumah sakit, ya? Valen ingin menjenguk nenek, Mi. Valen mau ikut ke rumah sakit," rengek anak usia lima tahun itu. Jiplakan wajah Alva yang dulu pernah membuat Aluna menahan sakitnya. Akan tetapi, Aluna bersyukur dengan hadirnya Valen yang berhasil membuatnya move on dan bangkit dari keterpurukannya akibat seorang Alva Ivanno Xanders. Kakek Bima yang duduk di depan, di samping Jean yang fokus menyetir menoleh ke belakang, menatap cucunya dengan senyum hangat. "Iya, boleh. Nanti mampir ke rumah sakit dulu, pasti nenek juga udah kangen sama Valen. Tapi nggak boleh lama-lama, ya? Setelah itu Vallen pulang dan istirahat di rumah kakek." "Hore, Valen boleh ikut menjenguk nenek, Mi!" *** Aluna masuk ke dalam ruangan VIP di mana sang ibu ada tengah di rawat di sana. Aluna berjalan pelan dan melihat wajah pucat sang ibu. "Ma," ucap Aluna menyentuh tangan sang Mama, membuat sang empunya membuka mata. "Luna," lirih Mama Indira. Matanya langsung berkaca-kaca karena merasakan hangatnya tangan sang putri. "Kamu beneran di sini?" Aluna tidak kuasa menahan tangisnya, dia langsung memeluk sang mama dengan tangisan yang pecah. "Maafin Luna, Ma. Maaf, karena Luna Mama jadi seperti ini, hiks. Maaf." Aluna terisak sampai sesak. Mama Indira melepaskan pelukannya dan menangkap wajah sang putri. "Luna nggak salah, liat Luna berhasil menjadi baik udah bikin Mama bahagia." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD