BAB 2. FIRST MEET

1477 Words
. . Allicia pov Aku berjalan tak tentu arah. Rasa sedih dan kecewa begitu kurasakan. Sedih karena daddy memarahiku tanpa perduli aku tak bersalah bahkan daddy tidak mencari tahu dulu kebenarannya. Kecewa pada kak Angel yang tega memfitnahku dan kak Rora yang diam saja saat daddy memarahiku, seakan aku memang pelakunya. Padahal dia juga melihat bagaimana aku membelanya. Apa salahku Tuhan. Aku selalu diajarkan oleh mereka untuk berbicara jujur, tapi disaat aku jujur mereka tidak mempercayaiku. Apa karena aku masih kecil jadi pendapatku tidak berarti?? Kenapa kak Angel bisa sejahat itu padaku ?? Sepanjang jalan air mataku mengalir tak bisa kucegah. Kakiku membawaku pada sebuah taman yang membeku penuh di lapisi salju. Aku berjalan ke arah kursi taman ada tumpukan salju menutupi sebagian kursi. Tubuhku menggigil, seluruh sarafku seakan mati rasa. Rasa dingin ini membuat tubuhku terasa membeku. Tubuh mungilku tidak sanggup melawan dinginnya udara. Kakiku tak sanggup lagi bergerak. Pandanganku sudah mengabur, kesadaranku perlahan menghilang. Tapi sebelum kegelapan memelukku mataku menangkap sosok seusia kak Austin datang menghampiriku. Inderaku mati rasa. Dia menggumamkan sesuatu, yang kutahu dia memiliki mata biru sebiru mataku. Dia memelukku, mencoba memberiku kehangatan. “Terrrima kasssihh,” lirihku dengan gigi gemeletuk karena dingin, sampai akhirnya kegelapan benar-benar memelukku dalam pelukannya. Aku pingsan dalam pelukan anak seusia Kak Austin yang memiliki mata biru sebiru mataku. ** “Gimana uncle? Gadisku tak apa kan?” tanya seorang anak berusia tujuh tahun lebih bernetra biru. Dari tadi anak itu tidak pernah beranjak dari samping gadis kecil yang ditemukannya kedinginan di taman, dia sungguh mengkhawatirkan gadis cilik ini. “Jadi gadis kecil ini, gadismu?” goda dokter Hans. Dia dokter pribadi keluarga Dexter, orang tua dari pria cilik itu. “Ya, dia milikku,” tegas bocah cilik itu, membuat orang yang baru masuk terkekeh geli. “Dia sangat mirip daddy-nya,” sahut mommy bocah cilik itu. Dijawab anggukan dan senyuman dari dokter Hans, karena selain dokter pribadi keluarga ini, dia juga sangat mengenal bagaimana seorang Jonathan Dexter jika sudah menyukai sesuatu pasti dengan tegas langsung mengklaim sebagai miliknya. “Bagaimana kondisi gadis kecil ini?” tanya Selena, Mommy bocah cilik itu kemudian. “Gadis kecil ini terkena hypotermia Sel, dia butuh diberi kehangatan,” jawab dokter Hans kepada Selena. “Ah... aku bisa membuatnya hangat,” seru bocah kecil itu, seraya membuka kemejanya dan ikut masuk ke dalam selimut dimana gadisnya berada. Bocah tampan itu bersumpah akan membuat gadisnya sehat kembali. Dia tidak perduli jika sakit gadisnya berpindah ke tubuhnya, dia rela. Kedua orang dewasa itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka melihat kelakuan dari bocah tampan itu. Mereka memaklumi tindakan heroic dari bocah kecil itu, dan tidak melarangnya. “Jangan menyakitinya, Marc,” kata Selena, mommy Marc. Merekapun berlalu meninggalkan kedua bocah itu. “Pasti mom,” sahutnya pelan, tak mau mengusik istirahat gadisnya. Dia memeluk tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, dan ikut memejamkan matanya. *** Sementara di kediaman keluarga Jashon, tampak kelam, tak ada yang berbicara. Sang istri tampak menangis memanggil putri kecilnya yang pergi menghilang. “Kenapa daddy tidak mencari kebenarannya. Aku sangat mengenal Cia dia tidak pernah berbohong. Lagipula tadi Cia bermain salju denganku, tapi Angel memanggilnya untuk bermain. Aku yakin dad, Angel bohong. Cia tidak mungkin merusak mainan Aurora. Rora, jawab kakak, apa benar Cia yang merusak mainan kamu? Jawab Rora!! Ini salahmu jika sampai terjadi hal buruk padanya aku tidak akan pernah memaafkan kalian berdua,” teriak Austin penuh kemarahan, apalagi Aurora yang tidak menjawab pertanyaannya membuatnya semakin murka. Memang kedekatannya dengan Cia melebihi saudaranya yang lain. Sejak kejadian yang menimpa Cia waktu dia bayi, membuatnya extra hati-hati menjaga Cia (Buat yang ingin tahu apa yang menimpa Allicia waktu bayi bisa baca BAD AGREEMENT). Harusnya dia tidak mempercayai Angel lagi sejak dia melihat anak kurang ajar itu hampir membunuh Cia dengan bantal. Harusnya dia tahu betapa liciknya gadis kurang ajar itu. Dia sebenarnya masih mau mencari keberadaan adiknya di luar sana, tapi daddynya melarang dan menyuruhnya kembali kerumah karena cuaca yang semakin memburuk. Daddy sudah menyuruh orang suruhannya untuk mencari keberadaan adiknya itu. “Kamu ada dimana Cia?” bisiknya. Dilihatnya salju masih turun dengan lebat jatuh dari langit, pandangannya nanar keluar jendela. Rasa khawatir akan keselamatan adiknya begitu menyiksanya. Bagaimana adiknya akan bertahan di luar, bagaimana jika adiknya bertemu dengan orang jahat. Pikiran-pikiran seperti itulah yang memenuhi kepalanya. “Mom, Cia baik-baik saja kan mom?” tanya Bella yang terus menangis dalam pelukan Kanaya. “Dia pasti baik-baik saja,” tepukan Daffa kakak tertuanya menenangkannya. “Semoga saja,” gumam Austin. Rasa penyesalan tentu saja dirasakan oleh Jashon. Sebagai ayah yang sudah tidak mempercayai kata-kata putri tercintanya. Bahkan dia sudah membentak putri ciliknya. Bagaimana dia bisa tega melakukannya. Penyesalan melingkupi hatinya. Seharusnya aku mendengarnya, seharusnya aku mempercayainya. Sesalnya. Argghhh...Jashon menjambak rambutnya frustasi. Dia sangat marah pada dirinya sendiri. Kalau terjadi hal buruk pada gadis kecilnya, maka dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Apalagi belum ada kabar dari orang suruhannya. Sebenarnya mereka bisa bekerja tidak sih?? Pikirannya terus berkecamuk dengan beragam kemungkinan apa yang akan menimpa putri kecilnya. Dia merutuki kebodohannya yang bisa kehilangan jejak putrinya. Cia hanya anak kecil, harusnya dia bisa mengejarnya. Diantara semua keluarga yang bersedih ada satu sosok yang sangat senang dengan kepergian Cia. Dia bahkan berharap Cia tidak ditemukan. Akhirnya sedikit demi sedikit dia bisa membuat mommynya tersenyum di sana, karena dia bisa membalas sakit hati mommynya. Tunggu saja mom, aku akan membuat keluarga ini membayar atas perbuatannya padamu. Batinnya penuh rencana jahat. *** Gadis itu sudah tidak sedingin semalam. Salju sudah berhenti turun, tapi hawa dingin masih terasa. Diperhatikannya wajah cantiknya. Dirabanya dahi gadis itu suhunya belum bisa dikatakan normal, bahkan badannya panas sekarang. Dia tadi sampai terbangun karena badan gadis itu yang sepanas bara. Matanya tertutup, memperlihatkan bulu matanya yang lentik. Hidungnya yang mancung, bibir merah mudanya yang menggemaskan. Dirabanya bibir mungil itu sangat lembut dan hangat. Cup Rasanya juga lembut dan kenyal, dia ingin lagi... Cup Cup Ya ampun bibir ini sangat enak dicium, dia tidak bisa berhenti. Mata gadis itu mulai terbuka, dia mengerjap-ngerjapkan bola matanya, dia terbangun karena ada yang mengganggu tidurnya. Sungguh menggemaskan, batin Marc, tak tahan... Cup Cup Diciumnya kedua mata gadis itu. “Le mine, kau tahu artinya? Artinya kau milikku,” bisiknya di telinga gadis kecil itu yang hanya bisa menatap mata biru di depannya dengan takjub. Pipinya memerah karena malu, dia memang sering dicium di pipinya dan juga keningnya, tapi hanya oleh keluarganya. Bocah kecil di sampingnya itu, dia bahkan baru mengenalnya dan apalagi bocah kecil di depannya itu sangat tampan. “Ini Eternal Love. Jangan pernah kau lepaskan atau kau hilangkan! Karena ini hatiku,” katanya sambil memakaikan kalung berbandul hati dengan warna semerah darah. “Hai Marc, keluarga gadis kecil ini sudah datang, dia sudah dijemput,” kata-kata Selena membuat keduanya sadar bahwa mereka akan segera berpisah. “Tapi mom ...,” Marc mendesah lirih, dia belum mau berpisah dari gadis kecilnya “Dimana putri saya, saya datang untuk menjemputnya,” ujar suatu suara yang sangat dikenal oleh Cia. Suara yang pernah sangat dirindukannya jika beliau pergi keluar kota atau bahkan keluar negri dan mereka tidak berjumpa. Cia bahkan betah berlama-lama menelpon daddy karena merindukan suaranya yang penuh kasih sayang. Tapi sejak kejadian semalam suara itu berubah menjadi suara yang paling ditakutinya. Badannya bergetar menatap daddynya yang memasuki ruangan kamar Marc tempatnya bermalam semalam. Tanpa disadarinya dia menggapai tangan Marc meminta dukungannya, dia sangat takut saat ini. Dia mencengkeram tangan penolongnya tanpa suara. Ada perasaan takut saat melihat daddynya. “Mom, lihat dia tidak mau pulang,” teriak Marc sambil memeluk gadis kecilnya. Tak membiarkan gadis kecilnya dibawa pergi. “Marc jangan begitu, ini daddynya nak,” kata Selena merasa tidak enak dengan tuan Jashon, setidaknya dia mengetahui siapa pria berjas mewah di depannya ini, dan anaknya mungkin menyinggung pria kaya ini. Tanpa menghiraukan larangan anak kecil itu Jashon mengangkat tubuh kecil putrinya yang meronta dalam pelukannya. Gadis kecil itu tidak bersuara tapi usahanya untuk terlepas dari rangkulannya membuatnya teriris. Anaknya dulu sangat menyukai berada dalam dekapannya, tapi sekarang gadis kecilnya menolaknya. Dia menolak diajak pergi, tangan gadis itu menggapai ke arah Marc seakan meminta pertolongan. Tatapannya begitu mengiris Marc, kenapa gadis kecil itu tidak mau ikut ayahnya? Apa ayahnya akan menyakitinya? “Jangan! Jangan dibawa! Mom tolong lepas, dia tidak mau ikut daddynya. Daddynya pasti jahat mom, kita harus tolong dia,” Marc itu menepis pelukan mommynya, berlari memburu gadis kecilnya yang sudah memasuki mobil. “Tunggu aku, aku akan membawamu pergi... tunggu aku dewasa, aku akan menjemputmu, Aku berjanji,” janjinya. Gadis kecil itu mengangguk sambil menggenggam erat bandul pemberian bocah kecil bermata biru yang sudah jadi penyelamatnya. Kalau tidak ada dia, Cia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Senyum tersungging di bibir mungilnya, dibalas oleh senyuman lebar Marc. Marc melambaikan tangannya sampai mobil yang membawa Cia menghilang. Dia masih bisa melihat bayangan Cia yang melambai dari kursi ~~BERSAMBUNG~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD