.
.
Allicia pov
Dua bayi kembar, yang seharusnya saling melindungi ketika mereka tumbuh. Tapi tidak di ceritaku ini, aku dan kembaranku dipisahkan. Inilah kisahku....
Namaku Allicia Abigail Klein, terlahir dari pasangan paling romantis menurutku. Daddyku bernama Jashon Klein yang jatuh cinta dengan seorang Janda beranak dua dari pernikahannya sebelumnya, dan wanita itu bernama Kanaya Abigail Richard dan dialah wanita yang melahirkanku, dia mommyku tercinta.
Aku mempunyai empat saudara lagi selain kembaranku, kakak tertuaku bernama Daffa Cakka Dipta, kakak keduaku bernama Issabella Putri, kakak ketigaku bernama Austin Gerald Klein, kakak keempatku bernama Angela Jennar.
Entah kenapa dia tidak memakai nama keluarga dibelakang namanya seperti kak Austin, kak Aurora dan aku, kalau kak Daffa dan kak Bella itu karena mereka bukan anak kandung daddy, mereka berdua anak mommy dengan mantan suaminya. Aku memanggilnya Papa Aby, aku juga menyayanginya, walau aku lebih menyayangi daddyku.
Papa Aby sering mengunjungi kami jika dia ada bussines trip ke sini, dan dia pasti mengajak kami semua.
Masa kecilku penuh kebahagiaan, aku selalu dimanja oleh kedua kakak lelakiku, berkat mereka aku bisa bermain basket dengan baik sejak kecil, bela diri, dan merekalah yang mengajariku.
Kalau kak Bella dialah yang mengajariku berenang. Semua kakak-kakakku itu lebih dekat denganku dibanding dengan kembaranku. Bukan karena mereka tidak mau, tapi karena kak Aurora lebih didominasi oleh kak Angel, bahkan aku tidak diperbolehkannya dekat-dekat dengan kak Rora.
Setiap kali aku bermain berdua dengan kak Rora, dia selalu melarangku. Entah kenapa dia membenciku. Tapi jika di depan semuanya dia selalu bertingkah sangat menyayangi kami berdua, seolah dia adalah Malaikat kami. Apalagi jika di depan Daddy dan Mommy.
Sejak kecil entah kenapa selalu merasa kurang nyaman dengannya, padahal dia juga kakakku juga. Aku memiliki intuisi yang kuat jika menyangkut kepribadian seseorang, aku langsung bisa mengetahui jika orang itu bermaksud tidak baik. Perasaanku pasti tidak nyaman berada di sekitar orang itu, dan semakin aku besar perasaan itu semakin kuat. Aku bahkan bisa melihat warna aura dari setiap orang.
Saat aku berumur tiga tahun, ada teman daddy, lebih tepatnya teman bisnis. Aku merasa sikapnya mencurigakan, perasaanku sangat tidak nyaman. Aku merasa dia berniat tidak baik pada daddyku, dan saat mereka lengah, aku menumpahkan minuman. Dengan pura-pura terjatuh, daddy tidak bisa berbuat apapun.
Daddy sempat memarahiku karena aku bermain di ruangannya, dan mengganggu kerja sama bisnisnya. Aku tidak mungkin mengatakan kalau aku memiliki kelebihan tersebut, bisa saja aku salah kan?
Dan siapa yang akan mempercayai ucapan anak kecil yang masih banyak berfantasi. Aku masih berumur tiga tahun waktu itu, daddy pasti ketakutan dan berpikir aku berhayal, biar aku dinilai nakal, tak apa, asal daddy tidak dirugikan oleh orang itu.
Dan seperti itulah yang kurasakan tentang kak Angel, aku merasa dia mempunyai niat jahat padaku atau pada keluargaku.
**
Allicia pov
Saat ini musim dingin, usiaku sudah lima tahun bulan lalu. Salju mulai turun pagi tadi. Kak Daffa, kak Bella dan kak Austin, mereka mengajakku bermain Salju diluar. Kami mengajak kak Angel dan kak Rora bermain diluar, tapi kak Angel tidak mau. Dia juga tidak memperbolehkan kak Rora ikut kami, mereka bermain boneka di ruang keluarga dekat dengan perapian.
Kak Angel memang sering sakit, entahlah sakit apa dia. Tapi yang kutau daddy sering mengajaknya berobat, dan kak Angel tidak mau pergi jika tidak dengan kak Rora. Dia sepertinya tidak ingin aku dan kak Rora bersama, entahlah....
Kak Angel sangat menyayangi kak Rora. Tapi dia terlalu posesive dan over protective atas kak Rora, seakan kak Rora itu miliknya seorang.
Jadi kak Rora tidak bisa bermain dengan saudaranya yang lain. Dan sepertinya ketiga saudaraku yang lain sudah mulai malas mengajak kak Rora bermain, walau aku tahu mereka juga merindukan kak Rora, bermain bersama. Tapi kak Angel membuat kami seperti ada jarak dengan kak Rora, anehnya mom dan dad tidak melihat itu sebagai masalah.
Ah...sudahlah, lupakan tentang kak Angel dan semua keanehannya. Sekarang aku dan kak Austin membuat boneka bersama, begitupun kak Daffa dan kak Bella. Mereka membuat boneka mereka sendiri.
“Udah jadi bonekanya Cia, gimana menurut kamu, bagus nggak?” tanya kak Austin sambil memelukku dari belakang tubuh kami berayun kekanan dan ke kiri. Aku memang paling dekat dengannya, dia selalu menemaniku, menghiburku, dan menjagaku. Aku terkikik geli dengan tingkahnya yang membuatku berayun. Dia juga tertawa.
“Bagus kak, tapi seperti ada yang kurang apa ya?” tanyaku sambil mencoba mencari apa kekurangan boneka salju bikinan kami. Satu jari telunjukku mengetuk ngetuk bibirku, tanda aku sedang berpikir. Kudengar kak Austin tertawa, aku melihatnya tak paham apa yang ditertawakannya.
“Wajahmu seperti memikirkan urusan negara saja,” godanya sambil menyentil ujung hidungku lembut. Tidak sakit sama sekali.
“Awww...,” pekikku pura-pura sakit. Kuusap-usap hidungku dengan ekspresi kesakitan.
“Apa aku menyentilnya terlalu kuat?” tanyanya khawatir. See... dia tidak tahu aku menggodanya.
“He... he... aku bercanda, tidak sakit sama sekali,” kataku akhirnya. Aku tidak tega saja melihat wajah khawatirnya.
“Gadis nakal, kakak benar-baner khawatir. Kakak akan menjaga kamu. Tidak boleh ada yang menyakiti kamu, apalagi kalau karena kakak kamu kesakitan,” gerutunya. Aku langsung memeluknya haru.
“Kak sepertinya aku tau apa yang kurang, scarf...!!” pekikku senang. Aku melihat kak Bella dan kami semua memakai scarf.
“Scarf ya... di kamar kakak ada kayaknya, ayok kita ambil,” ajak kak Austin semangat. Dia menggenggam tanganku, tangan hangatnya melingkupi jari mungilku. Kami bergandengan tangan memasuki ruang keluarga.
Di sana ada kak Angel dan Kak Rora, masih dengan mainan mereka. Tapi aku tak menghiraukan mereka.
“Cia sini!” panggil kak Angel. Tangannya melambai ke arahku. Aku tak percaya ini, dia menyapaku.
Ada apa ini, kutoleh kak Austin dia mengangguk saat aku meminta pendapatnya lewat tatapanku. Dia kemudian berlalu dari hadapanku menuju kamar pribadinya. Kulihat punggung kecil itu, punggung yang sering kunaiki jika aku kecapean, aku mendesah lelah.
Entahlah bagaimana perasaanku saat ini. Di satu sisi aku senang karena kak Angel mau menyapaku, tapi entahlah perasaanku tidak nyaman. Perasaan itu kembali datang, seperti ada hal buruk yang akan terjadi.
Perutku mual tiba-tiba, tapi melihat mereka menatapku penuh harap. Apalagi wajah kak Rora yang berseri-seri saat menatapku aku jadi melangkahkan kakiku yang kini terasa berat untuk kulangkahkan.
Aku menyeret langkahku pelan, mendekat kearah mereka. Semakin dekat jantungku berdetak semakin tak beraturan. Perasaan tidak nyaman semakin kuat kurasakan, seharusnya aku tidak mendekat, tapi percuma, berbalik arah juga tidak mungkin.
Saat aku benar-benar di depan mereka, kulihat kak Angel dengan sengaja merusak mainan kak Rora, membuat kembaranku itu menangis dengan kencang, aku bisa mengerti perasaannya karena itu boneka pemberian daddy saat kami berdua ulang tahun sebulan yang lalu, aku mendapatkan bola basket sedang kak Rora mendapat boneka, dan kini bonekanya dirusak, apa apaan kak Angel ini.
Aku mencoba mencegah kak Angel. Kurebut boneka itu dari tangannya, dan bukannya marah dia malah terenyum sinis. Entah apa arti senyumnya itu, tapi aura yang dikeluarkannya hitam, hitam pekat. Apa dia orang jahat, kenapa dia beraura seperti itu?
Dia berlari kearah dapur dan berteriak memanggil mommy,
“Mommy... mommy... mommy... mainan Rora yang baru dibelikan Daddy dirusak Cia,” teriaknya panik.
Kini aku tahu arti senyumnya, begitupun dengan auranya. Itu artinya dia sedang memiliki maksud jahat.
“Cia, apa-apaan ini?” bukan mommy yang datang memarahiku, tapi daddy. Daddy datang dengan aura merah gelap pertanda daddyku sedang marah. Sepertinya daddy yang baru keluar dari ruang kerjanya mendengar kak Rora dan teriakan kak Angel, langsung berlari kesini. Kulihat mommy baru keluar dari dapur masih dengan celemeknya.
“Cia marah karena kami tak membiarkannya bermain boneka. Dia iri karena daddy tidak membelikannya boneka, makanya dia rusak boneka Rora dad. Cia nakal banget dad, Cia jahat,” adu kak Angel, bisa kulihat ekspresi daddy sudah menggelap karena amarah. Usapan tangan mommy tak mengurangi kemarahan daddy.
“Itu tidak benar dad, tadi kak Angel yang ngerusak mainan kak Rora. Cia cuma coba ngambil dari kak Angel, supaya kak Angel nggak makin ngerusaknya,” belaku. Aku tidak terima jika dia menuduhku melakukan sesuatu yang tidak kulakukan.
“Lalu kenapa bonekanya ada di tangan Cia?” selidik daddy.
Rupanya daddy tidak mempercayaiku. Rasanya sakit di dadaku begitu terasa.
“Daddy nggak suka anak daddy berbohong dan tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan menuduh orang lain yang melakukannya. Daddy tidak pernah mengajarimu begitu Cia, cepat minta maaf pada kak Rora dan kak Angel, cepat!” bentak daddy.
Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Rasanya sakit saat orang yang kita sayangi dan hormati meragukan kejujuran kita.
Apalagi daddy menyuruhku meminta maaf atas kesalahan yang tidak dilakukannya.
“Nggak mau. Cia nggak salah, Cia nggak salah. Kak Angel yang bohong, bukan Cia. Cia benci kalian! Benci!”
Kulempar boneka yang ada ditanganku ke arah kak Angel. Manusia pembohong itu menahan tawanya. Aku bisa melihatnya, tatapan matanya tampak puas. Aku keluar dari rumah dengan kekesalan yang menumpuk.
"ALICIA! CIA!"
Tak kuhiraukan teriakan daddy, mommy dan ketiga saudaraku. Aku berlari tak tentu arah ditengah salju yang turun. Dinginnya salju tak membuat amarahku mereda.
Aku membenci kak Angel, kak Rora dan juga daddy.
~BERSAMBUNG~