Chapter 02

2540 Words
    Sebastian berjalan menuju pintu belakang, Abraham mengikutinya dengan tidak sabar dan beberapa kali menoleh ke belakang untuk mengintip dari jendela, memastikan Ailee dan Mars masih ada di ruang tengah. Abraham tidak bisa untuk tidak berpikir bahwa Sebastian selalu mencurigakan dan berniat menyingkirkannya seperti musuh dalam selimut. Meski bagi Sebastian kekhawatiran Abraham itu terlihat seperti candaan tidak lucu. Sebastian dengan santai membawa Abraham ke gudang di belakang rumah, tempat Mars banyak menghabiskan waktu jika ia merasa sedang tidak ingin membaca di perpustakaan kecil di kamarnya. Sedangkan Abraham mulai menegang, sudah membayangkan adegan kekerasan yang akan dilakukan oleh orang-orang suruhan Sebastian untuk menghajarnya, sementara Ailee dan Mars tidak melihatnya.     “Seperti yang kau tahu, Stoner. Mars sering membuat prakarya di sini,” ujar Sebastian sembari membuka kunci pintu gudang itu.     Kalimat itu menguapkan segala pikiran negatif dalam kepala pria itu. Sebuah senyuman begitu saja terbit di wajahnya.     “Dia membuat sesuatu lagi?” tanya Abraham dengan tak sabar, “Dia sudah menunjukkannya padamu?”     Sebastian hanya menyengir sambil membuka pintunya. Ia membawa Abraham masuk dan sama sekali tidak menyangka apa yang akan ia lihat. Sebastian membuka kedua tangannya di samping alat pengendali air buatan Mars. Abraham tersenyum lebar, bahkan tertawa melihat penemuan luar biasa dari anaknya yang spesial itu.      "Ta-da! Benda ini masih belum ada di hari Sabtu. Mars membuatnya seharian, sejak ia terbangun pagi-pagi sekali. Anak yang pekerja keras."     Abraham menggeleng dan tertawa, kemudian berjalan mendekat.     “Apa itu?” tanya Abraham sembari memicingkan mata pada alat itu untuk menelitinya, “Ini terbuat dari tangan mainan-mainannya.”     Sebastian mengangguk, “Benar. Mars membuatnya dengan menggunakan lengan-lengan dari mainan kesayangannya. Ia membutuhkan tongkat dengan bahan plastik dan sepertinya tidak bisa menemukan benda yang ia inginkan itu di mana pun. Ia menyebut ini pengendali air, atau semacamnya,” papar Sebastian sembari menyalakan keran air dan mengangkat kembali tongkat pipa yang disebut Tongkat Sihir Utama oleh si pembuatnya.     “Dia merusak mainannya sendiri untuk membuat ini?” Abraham menggeleng kecil, “Berapa anak kecil yang bersedia melakukannya untuk kepentingan penelitian bagi umat manusia?” canda Abraham sambil menoleh pada Sebastian untuk melihat tanggapan pria itu.     Sebastian terkekeh dan mempraktikkan gerakan-gerakan yang tadi didemonstrasikan Mars padanya beberapa waktu lalu.     “Ya, dan dia melakukan ini semua untukku, katanya agar aku tak kelelahan. Apa kau percaya itu?”     Abraham mengernyit pada Sebastian. Pria itu melipat tangan di d**a dan berkata dengan tatapan tajam pada pria paruh baya itu. “Kuharap kau tak bermaksud membuat proyek AI lagi pada anakku, sobat.”     “Aku sudah berjanji pada Ailee untuk tidak melakukannya pada siapa pun lagi, Abraham.”     Sebastian sekali dulu, pernah menjadikan Ailee sebagai sampel utama penelitian percobaan penerapan sistem AI atau Artificial Intelligent berpadu dengan DNA manusia. Sebuah chip dengan kecerdasan tinggi, AI001, ditanamkan dalam tubuh Ailee untuk menyalin semua yang ada di dalam diri gadis itu demi motivasi utama Sebastian menjadikan Ailee sebagai role model dari manusia yang sempurna.     Abraham menghentikan ide gila itu, dan beruntung Sebastian bekerja sama dengan baik. Namun, akibat dari proyek itu, Ailee hampir lumpuh akibat zat radioaktif yang disebarkan AI ke dalam saraf tubuhnya karena chip berbahaya itu dilucuti begitu saja dari tubuhnya tanpa prosedur keamanan yang tepat. Ailee bisa selamat setelah mengkonsumsi secara kontinu obat yang diracik oleh sahabat Abraham, Shin, seorang dokter jenius yang disebut-sebut sebagai Tangan Kiri Tuhan. Sayangnya, zat radioaktif itu tak bisa sepenuhnya hilang dari tubuh Ailee.     Mars, sang anak, menjadi korbannya.     “Lihat ini,” ucap Sebastian begitu melihat air dari lubang selang telah jatuh menjadi bebarapa air terjun kecil.     Pria itu memajukan tongkat berjari ke arah air terjun kecil itu. Namun air itu tak berbelok arah seperti yang sebelumnya berhasil dilakukan oleh Mars. Bahkan sekarang tongkat itu basah terkena siraman air yang gagal berbelok.     “Tidak bekerja, eh?” gumam Sebastian sembari menaikkan sebelah alisnya dan melakukan percobaa kedua yang sama-sama tidak berhasil.     Setelah cukup mengamati, Abraham tersenyum, “Bukan tidak bekerja.”      Pria itu memicingkan matanya melihat tongkat yang dipegang Sebastian, lalu mengambil tongkat itu dari tangan si mertua dan memasukkannya lagi ke bungkusan handuk yang ada di bagian atas alat itu. Abraham menggosok-gosokkan pipa dan handuk itu, lalu melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Sebastian tadi. Kali ini air mengubah arah jalannya dan sedikit berbelok mengikuti jemari di tongkat itu, membasahi tanaman-tanaman kecil di pot-pot di bawahnya.     “Hukum dasar, listrik statis. Polarisasi tongkat pipa ini karena gosokan ke kain handuk itu membuat aliran listrik muatan negatif menarik air mengikuti 'jari-jari' plastik itu. Jika sebelum ini tongkat-tongkat kecil itu berhasil membelokkan air dengan begitu dramatis, itu berarti Mars telah menggosokkan tongkat itu ke atas handuk dalam waktu yang lebih lama.”     Sebastian tertawa, menertawakan dirinya sendiri, mengangkat bahu dan mengembuskan napas panjang, “Seharusnya aku tahu.” “Kau tahu, Sebastian. Mungkin hanya terlalu terpukau dengan kemampuan spesial yang ditunjukkan anak berusia enam tahun,” ucap Abraham bangga sambil mengerlingkan mata pada Sebastian. “Ya. Apa kau bisa membayangkan bagaimana ia nanti saat dewasa? Marsmemiliki wajah yang tampan, otak cemerlang, harta, tentu. Bahkan ia sejatinya adalah setengah pangeran, bukan? Rudolf selalu memanggilnya Pangeran Kecil. Ia akan menjadi tokoh utama di banyak n****+ romantis.” Sebastian berangan-angan sembari mematikan keran dan kembali ke sebelah Abraham yang masih diam di depan alat pengendali air.     “Pria-pria fantasi para wanita seperti itu memiliki kecakapan berbicara yang bagus, Sebastian.” Abraham mengingatkan. Kalimat itu menggantung, bibir Abraham bahkan belum sepenuhnya tertutup. Namun, tidak ada kata lain yang bisa keluar.     Sedangkan Mars ....     Rasa pahit seakan menyeruak di dalam mulut Abraham setelah menutup rapat mulutnya. Ia menghela napas berat, memaksakan sebuah senyum sendu, berusaha untuk bisa menyembunyikan wajah sedihnya ketika mengingat Mars akan tumbuh berbeda dengan anak-anak lainnya.     Seperti bagaimana penderitaannya dulu semasa ia kecil.     Mars memang anak yang cerdas, namun kemampuan berbahasanya teramat rendah. Ia sulit mengatakan apa yang ia katakan dengan lantang. Dan begitu terbata-bata. Seperti diri Abraham dulu, bahkan lebih parah. Sebastian sudah berjanji takkan melanjutkan penelitian terlarang itu lagi pada siapa pun. Meski tak dipungkiri, ada kalanya kecerdasan dan sifat Mars yang sangat baik membuatnya berangan-angan, betapa baiknya jika sikap yang dimiliki Mars juga dimiliki oleh orang-orang di seluruh dunia dengan hanya menanamkan chip AI001 pada tubuh manusia. Namun ia sadar, Mars menjadi berbeda karena ulahnya di masa lampau. Dan ia tak ingin kesalahan terus berlanjut. Jadi, sekarang ia hanya mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Mars dengan sebaik yang ia mampu agar Mars tidak merasa ia memiliki kecacatan apa pun itu.     “Abraham!” Ailee berteriak dari teras dengan menggendong Mars yang terlihat sudah bangun.     Abraham dan Sebastian yang sontak menoleh ke arah datangnya panggilan itu, segera menyadari bahwa ada yang salah dari kondisi Mars dalam gendongan ibunya. Mars memegangi kepalanya erat dan sayup-sayup terdengar tangisan dari bibir mungilnya yang merah.     Bahkan ia tak bisa menangis dengan lantang seperti anak-anak lain seusianya. Rasa sakit menyelimuti tiap langkah Abraham yang bergegas ke arah Ailee yang sedang menunggu dengan resah.     “Mars?” Abraham mengusap kening Mars. Jantungnya hampir berhenti berdetak saat merasakan suhu tinggi di badan sang buah hati. “Apa yang terjadi dengannya, Ai?” Abraham menatap Ailee yang terlihat kebingungan dan wajah cantik wanita itu menjadi pucat. Bibir Ailee bergetar dan wanita itu membiarkan Abraham mengambil Mars dari gendongannya.     “A-aku tidak tahu,” ucap Ailee sambil mengusap-usap pipi tembam Mars yang semakin memerah, “Tiba-tiba dia bangun dan meracau kedinginan.”     Mata hijau terang Mars yang mirip seperti mata ibunya, meredup, berkaca-kaca. “Ayah,” rengek si bocah dengan suara lirih. Beberapa air mata lolos membasahi pipinya yang gembul dan merekah. Bibir mungilnya yang penuh seperti milik Ailee itu kedua sudutnya merosot turun, membuat kerutan-kerutan menggemaskan di dagunya. “Ayah ... sakit,” ucapnya lagi.     “Bagian mana yang sakit, Jagoan Kecil? Katakan pada Ayah, Nak,” pinta Abraham sembari kembali berjalan masuk. Ailee sudah menelepon dokter untuk mempersiapkan segala kebutuhan Mars. Sedangkan Sebastian menelepon seseorang untuk mempersiapkan pengamanan mereka.     Tentu saja keamanan bukanlah hal yang berlebihan. Mars adalah anak tunggal penerus sebuah perusahaan raksasa dengan jumlah aset yang luar biasa dan kapitalisasi pasar dengan nilai bermilyar dolar banyaknya. Kedua orang tua dan sang kakek tahu benar, Mars bisa menjadi sasaran empuk bagi para penjahat yang mencari uang instan dalam jumlah banyak dan besar. Mengingat bagaimana ketatnya sistem keamanan di mana saja keluarga ini berada, tidak begitu saja membuat mereka mengendorkan kewaspadaan keamanan, terlebih ketika sedang membicarakan anak tunggal keluarga ini. Ketika penjahat tak bisa memasuki jalur belakang, mereka cenderung akan berusaha memasuki jalur lain yang retak untuk mencuri apa yang mereka inginkan. Dan Mars adalah sebuah lubang besar dengan kepolosan dan ketidakberdayaan yang melekat dalam dirinya.     “Sakit ... uh ....” Hanya itu yang keluar dari mulut Mars dalam gendongan ayahnya.     Abraham tak henti-hentinya menciumi kepala anak laki-lakinya itu hingga mereka sampai di mobil. Ailee kembali membawa Mars dalam pelukannya sementara Abraham menyalakan mesin di bangku kemudi.     “Aku sudah menghubungi Robert. Dia sudah mengirim bodyguard yang akan mengikutimu dari seluruh blok,” ucap Sebastian pada Abraham dari balik kaca mobil.     “Pastikan mereka tidak terlalu mencolok seperti sebelumnya,” gumam Abraham.     Sebastian menghela napas kesal, “Apa perlu aku membuat seminar untuk mereka dengan kau sebagai pembicaranya, Tuan Penguntit?”     “Hei, coba ucapkan sekali lagi, Sebastian,” tantang Abraham dengan muka masam.     “Kalian bisa bertengkar sepuas kalian nanti. Kalian tidak akan senang dengan apa yang akan kulakukan pada kalian berdua jika Mars sampai terlambat penanganannya.” Ailee menyela perdebatan itu dengan mengeluarkan tatapan Aku Akan Membunuh Kalian, Nanti.     “A-aku berangkat. Thanks, Sebastian.”     “Te-tentu, Abraham. Hati-hati.”     Pintu kaca mobil ditutup, pintu terkunci dan mobil itu akhirnya masuk ke jalanan. Abraham mengerutkan alis, berpikir keras. Sedangkan dari pangkuan Ailee, Mars melihat ke arah kakeknya yang menunggu di balik kaca mobil mereka yang mulai berjalan menjauhi markas utamanya.     “Kakek …?” ucap Mars serak.     “Kakek akan kelelahan jika dia harus mengikuti kita, Sayang,” ucap Ailee dengan lembut menciumi jemari Mars. “Kita akan melakukan perjalanan ke planet yang jauh.”     “Planet ... jauh ....” Mars tersenyum kecil, terlihat masih berusaha memerangi rasa sakit yang sedang ia alami.     Secara ajaib, senyum itu menular pada Ailee.     “Ya, Sayang. Apa kau senang? Sekarang katakan pada Ibu, mana yang sakit, Tampan?” tanya Ailee lagi dengan khawatir.     Mars melihat sang ibu dengan kebingungan, lalu pandangannya turun melihat kedua tangannya sendiri.     “Kepalanya yang sakit, Ai,” ucap Abraham sembari sesekali melirik ke kaca belakang dan kaca spion yang memperlihatkan mobil pengamanan yang mengikuti mereka, “Mereka terlaku mencolok, sial,” gumamnya lagi kali ini setengah berbisik pada dirinya sendiri.     “Kepalanya? Kenapa dengan kepala Mars, Ab? Bagaimana kau bisa yakin?”     “Otak besarnya mengalami ... sedikit kelainan. Kau sudah melihat hasil CT-Scan-nya beberapa waktu lalu,” suara Abraham terdengar lirih, dengan tersirat kepedihan yang dalam di tiap kata yang ia ucapkan.     Ailee mendekap tubuh mungil Mars yang masih diam, menatap kesedihan di mata kedua orang tuanya dengan mata polos yang bersinar-sinar. Sedangkan otot wajah Abraham kian lama makin mengeras, rahangnya berkedut-kedut. Ia menggenggam setir mobilnya dengan erat dan terlihat begitu resah.     “Ayah?”     “Ya, Mars?”     “Apa … aku sudah … cukup … kuat?”     Abraham menatap Sang Anak dengan pandangan bertanya-tanya.     “Ayah bilang … akan membawaku … berpetualang … bersama kalian … saat aku sudah besar … dan cukup kuat?”     Terenyuh, Abraham berusaha menata dirinya sendiri untuk mempersiapkan jawaban yang baik. Dadanya terasa sakit dan sesak, namun pria itu berhasil memberikan senyuman dan menjawab, “Ya, Anakku. Sekarang tidurlah. Ayah akan membangunkanmu saat kita sudah sampai, oke?”     Mars tersenyum lebar dengan pipi merona, “Ya!”     Tak membutuhkan waktu lama bagi si anak untuk jatuh terlelap di d**a sang ibu. Ailee tetap bungkam, sesekali melirik wajah Abraham yang suram seperti ada mendung di atas kepalanya.     “Abraham-”     “Aku akan menghubungi Shin, Ailee. Kita harus memeriksakan keadaan Mars di Jepang,” ucap Abraham membalikkan haluan mobilnya.                                                                                         ***     Sebelum ini, Abraham yakin, penderitaan yang diakibatkan oleh ikatan batin antar manusia adalah hal yang tidak terelakkan. Ia juga merasa, ia sudah bisa menghadapinya dengan baik setelah bertemu dengan Ailee dan mendapatkan kehidupan barunya. Namun, rasa sakit dadanya saat Mars bertanya, ‘Ayah ... ini .. di mana?’ di tempat yang seharusnya adalah tempatnya pulang, adalah hal yang baru baginya. Dan ia tidak merasa siap untuk menghadapi rasa sakit itu lebih lama.     “Ini markas utama kita, Nak. Planet di mana Ayah dan Ibu tinggal,” jawab Abraham dengan nada meyakinkan.     Mars tak boleh tinggal di sini sendirian. Abraham dan Ailee tak ingin Mars merasa bahwa mereka memiliki segalanya -meski nyatanya memanglah demikian- dan menyerahkan Mars pada orang asing sebagai penjaga juga tidak akan disetujui oleh Abraham yang mengerti betul bagaimana orang-orang kriminal di luar sana bertindak.     Ailee masih mendekap tubuh kecil Mars dipelukannya dan bocah itu terus merangkulkan lengannya ke leher sang Ibu dan mengamati perabotan canggih di sekitar mereka dengan wajah berbinar. Wanita itu menunduk dan pandangan matanya terlihat muram.     “Abraham,” panggil Ailee setelah sekian lama menutup erat mulutnya.     Sang suami yang sedari tadi sibuk di hadapan layar laptopnya untuk mempersiapkan keberangatan mereka ke Negeri Matahari Terbit, berbalik dan berderap mendekati istri dan anaknya.     “Ada apa, Ai?”     “Apakah jetnya masih lama?”     “Sepuluh menit lagi,” jawab Abraham sembari menutup layar laptop dan memasukkannya dalam jas jinjing yang akan dia bawa. “Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Abraham pada istrinya sembari mengusap pipi wanita itu. Ia tahu, Ailee tengah bersikap aneh sejak ia membalikkan haluan mobilnya.     Ailee menatap mata Abraham tanpa bisa mengatakan apa pun. Abraham bisa melihat kecemasan di mata cantik yang ia puja itu.     “Semua akan baik-baik saja, Ai.”     “Apa yang membuatmu membawa Mars pada Shin, Ab?”     Abraham akhirnya tahu apa yang ada dipikiran Ailee. Apa yang sedang dikhawatirkannya. Shin bukan orang yang jahat. Dan setidaknya, Ailee tahu betul bahwa Shin adalah sahabat yang berharga bagi sang suami meski mereka pernah menyandang sebagai para kriminal yang paling dicari di dunia. Shin juga adalah dokter yang luar biasa. Bahkan berkat dialah, Ailee baik-baik saja setelah paparan radioaktif akibat AI001. Namun, tak ada yang bisa menutupi kenyataan bahwa Shin hanya menangani kasus-kasus ilegal yang tidak ditangani oleh dokter biasa. Pikiran itu membuat Ailee sangat mengkhawatirkan kondisi sang anak. Oh, tentu saja. Apa yang ditangani oleh dokter yang membuka praktik ilegal jika bukan penanganan ilegal juga. Dan kabar baiknya adalah pasien yang akan mereka bawa adalah anak laki-laki semata wayang mereka, Mars Wenzel. Andai Ailee tahu, keputusan ini juga berat bagi Abraham. Tapi jika diberi kesempatan untuk mempertimbangkan pilihannya sekali lagi, Abraham tidak akan mengubah keputusannya.     Tidak ada kata lain yang keluar dari bibir Abraham selain, “Ayo kita berangkat.”     “Ab,” tangan Ailee menahan sebelah lengan Abraham, “setelah dari Jepang ... aku akan mengundurkan diri dari dunia entertain.”     Abraham membulatkan mata, tertegun mendengarnya. Dirinya yang sedang  memikirkan banyak hal, terburu-buru, kini seperti bisa merasakan napasnya sendiri meski tercekat.      “Kau berada dalam kontrak kerja dengan pihak rekaman, Ai. Apakah kau sudah memikirkannya dengan matang? Kariermu tidak kaubangun hanya dalam waktu 1-2 hari.”     “Mars membutuhkan kita, Ab. Dia membutuhkanku, ibunya. Aku akan bicara dengan pengacara nanti, dan segera menyelesaikan kewajibanku dikontrak itu selain bertahan selama setahun lagi. Aku-”     “Aku mengerti, Sayang.” Abraham menangkup wajah Ailee dengan sebelah tangannya, “akan kusiapkan pengacara untukmu untuk mengurusnya nanti. Sekarang, ayo kita bergegas.” Ia mengecup kepala Ailee, lalu kembali mengambil Mars darinya.     “Ayah ... kita ... ke mana?” tanya si anak begitu melihat kaki panjang sang ayah beranjak bersama ibunya meninggalkan ruangan penuh kaca yang baginya terlihat seperti markas ruang angkasa itu.     “Kita akan naik pesawat. Menuju Negeri Matahari Terbit, Mars,” jawab Abraham singkat sambil menepuk-nepuk punggung kecil Mars digendongannya.     “Negari ... Matahari?”     Bocah itu dengan pandangan menggemaskannya menatap sang Ayah dan mengerutkan alisnya tak paham. Abraham menahan tawanya, Mars selalu memberikan ekspresi yang sama seperti itu ketika ia mendengar istilah yang tidak ia ketahui. Seperti sedang menerka apa ia tengah dibohongi oleh orang-orang dewasa lagi. “Ya, Sayang. Manusia di sana sangat berbeda dengan kita yang ada di sini. Kau akan senang berada di sana,” ucap Ailee sembari menggenggam tangan kecil Mars yang menggantung di belakang punggung ayahnya. Bocah laki-laki itu tersenyum dan terlihat semangat.     “Baiklah … jika Ibu berkata … begitu!” Mars menggenggam erat jemari Ailee yang bertaut di antara jemari mungilnya sembari tersenyum lebar.     “Meski sepertinya aku tidak,” ucap Abraham getir dan dibalas kekehan Ailee. Ailee tahu, Abraham dan Shin mungkin adalah sahabat. Namun, Abraham sering bilang bahwa ia sudah merasa muak melihat wajah Shin atau Zac setelah bertahun-tahun melihat raut wajah dua orang itu.[]  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD