Hari itu cerah, meski awan-awan putih besar menggantung di atas langit biru yang terang.
Mereka bertiga, berlima bersama seorang pramugari dan pilotnya, terbang ke Jepang dengan jet pribadi, menuju tempat yang Abraham pikir takkan ia datangi lagi dalam waktu dekat. Hanya saja ... tempat yang penuh kenangan itu, Akihabara, tidak hanya memberinya kenangan yang baik saja. Di sana, Stoner dan Ailee di masa lalu pernah tertawa dan menangis di kota gemerlap cahaya itu. Kedatangan mereka akan membangkitkan memori-memori indah masa muda mereka. Pikir Abraham, ia tak ingin menambah memori buruk selain ia pernah meninggalkan Ailee di sana sekali. Dan untuk yang terakhir. Ia berjanji pada wanita itu tidak akan meninggalkannya lagi untuk selamanya. Dan Abraham adalah pria dengan kata-katanya.
“Apakah kau sudah menghubungi Shin, Ab?”
Menghela napas panjang, Abraham menjawab, “Sedang kuusahakan.”
Shin adalah seorang jenius anatomi dan morfologi tubuh. Kloning, cangkok bagian tubuh, modifikasi gen, dan semacamnya adalah hobi kesukaan pria gila itu. Shin adalah akar dari segala kegilaan yang membuat Ailee dan Abraham bertemu. Ailee bersumpah, ia bahkan pernah berpikir bahwa hidupnya akan berakhir di tangan Shin. Trauma kecil itu mungkin kiranya yang membuat Ailee tidak bisa memercayai Shin untuk menangangi permasalahan anaknya. Terlebih, sama seperti Abraham, sebelum ia menikah pria itu sama sekali kehilangan akal sehat dengan memiliki hobi mengumpulkan organ dalam musuh-musuhnya untuk sampel penelitian-penelitian kecilnya. Sang istri, Hinano Nakagawa, adalah kunci yang menutup rapat semua kegilaan Si Dokter.
“Aku tak percaya kau membiarkanku menangani demam anakmu, Ab.” Abraham menutup mata, mengeratkan giginya, menahan amarah agar si b******n yang baru bisa dihubungi ini bersedia dengan suka hati membantunya.
“Akan kubuat kau menjadi gelandangan dan kuhancurkan isi otakmu jika kau berani main-main dengan anakku.”
Nyatanya, pria itu gagal menahan amarahnya. Beruntung, Mars tengah terlelap, hingga Ailee tidak perlu memukuli kepala Abraham karena mengucapkan kalimat-kalimat kotor di hadapan anak kesayangannya.
Dari balik sambungannya, Shin tergelak. “Bercanda, Tuan Whale. Sejak dulu kau tak punya selera humor sama sekali. Sudah kusiapkan lapangan parkir di tempat yang dulu. Tapi maaf, Hinano tidak bisa menjemput kalian saat ini. Kalian akan dijemput bawahanku di sana.”
“Aku mengerti, kirimkan saja koordinatnya.”
“Beres," ucap pria itu dengan penuh percaya diri, "sekarang boleh aku membanggakan diri? Kau memilihku di antara banyak dokter di Kanada?”
Diam, hening beberapa saat. Kemudian Abraham angkat bicara, “Aku ... ingin memintamu melakukan sesuatu dan hanya kau yang bisa. Jadi, ya ... kau tahu.”
Shin menahan napasnya sesaat, dan ia sangat tahu apa yang diinginkan rekan lamanya itu. Apa lagi yang hanya bisa dilakukan oleh seorang dokter ilegal jika bukan sebuah pengobatan ilegal pula. Dan bagian bagusnya, ini adalah anak Abraham sendiri yang itu berarti ini tidak main-main. Shin tahu Abraham tidak akan segan untuk menembak mati dirinya jika ia bermain-main dengan tubuh anak semata wayang itu. Membayangkannya saja bukan hal yang susah. Sudah tak terhitung lagi seberapa sering Stoner mengancam pria itu dengan menodongkan pistol di depan jidatnya.
“Aku mengerti.”
Hanya itulah jawaban yang Shin berikan sebelum akhirnya mereka mengakhiri sambungan telepon. Abraham membiarkan pikirannya melayang ke lautan awan di luar kabinnya dan berjalan masuk ke kabin Ailee dan Mars.
“Hei. Lihat, Mars. Siapa yang datang,” ucap Ailee yang tengah menahan tubuh kecil Mars yang menatap kagum ke arah luar jendela.
“Oh, kau sudah bangun, Mars?” Abraham mendekati Mars untuk mengacak rambut anak laki-lakinya itu.
“Ayah ... Ayah! Awan ... banyak!” ucap Mars dengan ceria sambil memukul-mukul jendela itu dengan telapak tangannya.
Abraham tersenyum lega, pundaknya yang kaku tadi kini merosot, tatapannya begitu damai melihat si anak yang kini aktif, alih-alih mengerang kesakitan. Ailee tersenyum saat wajah lelah sang suami kini berganti dengan ekspresi yang hangat.
“Hei, Mars. Apa kau lihat lampu besar di sana?”
Mata hijau cerah Mars berbinar-binar itu mengikuti ke mana jemari Ayahnya menunjuk keluar jendela.
“Lampu?” ulang si anak ketika ia menemukan apa yang ditunjuk oleh ayahnya. “Besar!”
“Ya, Sobat. Itu namanya matahari.”
“Matahari ... cahaya?” Mars mengembangkan senyumnya dan meraih si Ayah dengan kedua tangannya. Abraham mengulurkan kedua tangannya menyambut Mars dan mengangkat tubuh bocah itu untuk ia dudukkan di pangkuannya, duduk berhadapan dengan Ailee yang terlihat nyaman dengan pemandangan yang disuguhkan Abraham dan Mars.
“Ayah?” Mars melihat ke arah mata Abraham yang hijau gelap. Pria itu mengangkat alisnya dan tersenyum memandangi wajah tampan anaknya. “Matahari itu ... monster ... cahaya ...?”
Ailee dan Abraham tertawa serempak mendengar istilah aneh yang dilontarkan si anak.
“Bukan ... monster?” Mars mengerutkan alis dalam-dalam, merasa aneh karena ditertawakan, “lalu ... makhluk apa ... yang ... tinggal di ... awan ...?” ucap si anak terbata.
Senyum sedih terukir di wajah Abraham. Begitu pun Ailee. Mereka merasa tak tega anak kesayangan mereka begitu sulit mengeluarkan sebuah kalimat dengan jelas seperti anak lain seusianya di saat jutaan pertanyaan muncul dalam kepala kecilnya.
“Matahari bukan makhluk. Benda itu adalah bintang raksasa yang menerangi seluruh planet. Dia memberikan kehidupan pada kita. Nanti akan Ayah berikan buku tentang penjelasannya.”
Mars mengangguk, lalu merenung. Kemudian tersenyum lebar seakan menyadari sesuatu yang hebat. “Mars ... juga planet ....”
Ailee dan Abraham membelalakkan mata lalu saling bertukar pandang sebelum menjatuhkan pandangan keheranan mereka pada si anak.
“Merah ... keempat,” ucap si anak lagi.
“Kau sangat cerdas, Putraku,” puji Ailee sambil mencium kening Mars yang menunduk lalu mengamati mereka dengan pandangan senang.
“Yang tinggal ... di awan ... burung ...?” tanya Mars lagi dengan keras kepala pada si Ayah setelah ia melihat sekawan burung terbang tak jauh dari pesawat mereka.
“Tuhan katanya tinggal di atas sini,” jawab Abraham sambil menyunggingkan senyum sinis, “mungkin lebih tinggi, beberapa lapis langit lagi.”
“Tuhan ... itu ... apa?”
“Dia yang menciptakan semua yang ada di bumi,” jawab Ailee menggantikan Abraham.
Mars menggeleng, “Mars ... menemukan ... alat ... pengendali air ... bukan ... Tuhan.”
“Kau benar, Mars. Tapi dari mana air berasal?”
“Kamar ... mandi? Laut ...?”
“Dari mana laut berasal?” tanya Abraham lagi sembari menahan tawanya.
“Es?” jawab Mars terlihat tak yakin.
“Jangan mengajarinya hal-hal yang konspiratif, Ab,” bisik Ailee.
“Dia masih kecil, tapi dia akan belajar suatu hari nanti.” Abraham tersenyum pada Ailee lalu menatap Mars yang masih mengamatinya. Sepertinya, percakapan mereka menarik perhatian Mars. Ia menunggu lanjutan dari penjelasan sang Ayah.
“Tuhan yang menciptakan semua awal dan manusia membuat turunannya. Tuhan yang menciptakan biji cokelat, dari pohon cokelat. Sedangkan kakek membuat cokelat itu menjadi kue. Paham?”
Mars berbinar-binar dan mengangguk, “Tuhan sangat ... cerdas! Jadi ... Tuhan ... tinggal di ... awan? Bersama ... siapa? Mars ... bersama kakek.”
“Dia ada di mana pun, Mars. Dia tak bisa dilihat dengan mata ini, namun bisa dirasakan dari sini.” Abraham menekan d**a Mars dengan kelima ujung jarinya. Mars menunduk dan mengamati jari ayahnya lalu mendongak dengan tak paham.
“Katanya, Tuhan tinggal di atas langit, jauh di atas sana. Tapi Dia bisa berada di mana pun yang Ia mau. Dia tidak tinggal sendiri. Banyak malaikat menemani-Nya, melayani-Nya, menuruti semua perintah-Nya.”
Bocah tampan itu terlihat tak memahami perkataan sang Ayah, “Malaikat ... maid ... Tuhan?” tanyanya dengan memiringkan kepala.
Terkekeh, Abraham mengangguk dan mengangkat kecil bahunya, “Mungkin seperti itu, tapi mereka jauh lebih hebat daripada manusia. Kau tahu, mereka sangat sibuk, tapi manusia sangat jarang menghargai pekerjaan mereka. Manusia akan mengucap syukur dan puji-pujian pada Tuhan, namun mereka kadang lupa jika malaikat yang menjadi perantara-Nya,” ucap Abraham dengan pandangan penuh makna menatap ke langit, lalu kembali ke mata kehijauan yang berseri-seri milik sang anak, “kalau kau jadi anak baik, suatu saat nanti, kau akan tinggal dengan Tuhan dan para malaikat di langit. Mereka akan menuruti semua keinginanmu.”
“Mars ... tidak ingin ... bersama Tuhan atau ... para malaikat. Mars ... ingin tidur ... dengan ... Ayah dan ... Ibu saja.”
Permintaan itu membuat batin Abraham terenyuh, ia menahan emosinya sekuat tenaga agar tak meneteskan air mata. Karena jika ia menangis haru, Mars akan mempertanyakannya. Jika itu terjadi, ia tak akan tahu harus menjawab apa.
“Kau pantas mendapatkannya, Sobat. Kemarilah. Ayah dan Ibu di sini. Kami akan membangunkanmu saat ada ada naga langit lewat.” Abraham mempererat pelukannya pada Mars dan menekan kepala si anak pada dadanya.
“Yeah, cool ... Dad,” ucap Mars sembari menguap dan menyesakkan kepalanya dalam pelukan sang Ayah lebih dalam, sementara tangan kecilnya meremas kemeja Abraham seperti tak ingin pergi dari dekapan Sang Ayah.
Bocah itu menutup mata, dengan pipi merona dan bibir tersungging begitu nyaman saat merasakan kehangatan sang ayah melingkupi dirinya dan sentuhan lembut sang ibu di rambut hitam miliknya, terasa begitu menyenangkan. Ia memimpikan sebuah negeri yang dipenuhi awan dengan nuansa kuningnya sinar matahari dan terangnya langit biru. Jauh dari di mana Mars berdiri, ia melihat sebuah sosok yang berjalan menjauh, membelah awan. Sosok itu tinggi, dan Mars sangat mengenal punggung itu. Begitu pria itu menoleh, mata Mars bisa menatap mata hijau sang laki-laki yang terlihat sangat pekat. Dan sang Ayah terus berjalan menjauh. Membelah awan.
***
Mars terbangun saat tubuhnya terguncang kecil. Ia mengucek mata dengan kepalan kecil tangannya dan menguap. Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk menyadari mereka sedang berada di dalam mobil. Mars menutup mata lagi sambil menempelkan kepalanya pada sesuatu yang hangat dan harum yang menyenangkan yang sedari tadi menopangnya saat tidur.
“Ibu,” rengeknya manja.
“Mars? Kau sudah bangun, Tampan?” Suara sang Ibu menyambutnya dengan lembut.
Mars mengangkat kepalanya yang terasa pusing, memberikan senyum pada wanita itu agar ia ikut tersenyum. Senyum yang paling ia cintai. Wanita yang paling cantik di seluruh planet.
“Ibu?”
“Iya, Mars?”
“Naga ... langit ... tidak lewat ...?”
Si wanita cantik tersenyum geli lalu menggeleng, “Kita belum beruntung, Sayang,” ucapnya. “Namun lihat, di mana kita?” Wanita itu membenarkan posisi duduk Mars menghadap kaca mobil. Mata si anak membelalak menatap kesibukan kota Akihabara dengan segala keunikannya di sepanjang jalan.
“Ai, kita sampai-oh! Hai, Jagoan ayah! Kau sudah bangun?” Abraham melihat ke bagian belakang mobil di mana Ailee menidurkan Mars dengan tenang.
Mars terlihat sangat senang dan menunjuk-nunjuk segala macam benda yang ia lihat dari balik kaca; miniatur robot gundam raksasa, atau papan-papan bergambar manusia super atau sebagainya. Hingga akhirnya mobil berhenti di depan sebuah hotel yang cukup mewah. Seorang wanita keluar dari pintu masuk hotel, sudah menunggu kedatangan mereka.
“Selamat datang di Jepang!” sambutnya hangat.
“Hinano! Astaga, penuaan memang tak berlaku di Asia. Lihat dirimu! Kau sangat cantik dan sama sekali tidak berubah!” Ailee memeluk wanita itu, begitu pun wanita bernama Hinano itu memeluk erat Ailee, melepas rindu mereka. Abraham menatap kedua wanita itu dan tersenyum. Berbeda dengan reaksi Mars kecil dalam gendongannya.
Seorang Dewi Matahari dengan kulit kuning, hidung pendek dan mata bulat seperti boneka, pikir Mars.
“Aku merasa tersanjung dipuji oleh seorang diva secantik dirimu, Ailee. Oh, hai, Abraham dan Abraham junior,” sapa wanita itu dengan menyubit pipi gembul Mars di gendongan Abraham.
Dewi matahari dengan logat bicara yang aneh, pikir Mars lagi setelah mendengar logat bahasa Jepang Hinano yang masih kental saat ia berbicara dengan bahasa Inggris.
Wanita itu mempersilakan mereka masuk, menuju ke tempat istirahat yang sudah disiapkan khusus untuk mereka. Itu adalah sebuah kamar di lantai atas dengan pemandangan yang menakjubkan. Mars terlihat sangat menikmati markas luar angkasa barunya dan melompat-lompat senang, lalu menjatuhkan dirinya di ranjang.
“Hinano,” panggil Abraham, membuat Hinano yang sedang bicara dengan Ailee menoleh, “Bisa aku langsung bertemu dengan suamimu?”
“Ab, sebaiknya kau istirahat dulu,” ucap Ailee dengan khawatir.
“Ailee benar, Abraham. Kau terihat lelah,” kata Hinano menyetujui ucapan Ailee.
“Tak apa, aku baik-baik saja. Ai, tolong kau jaga Mars dulu. Ada yang harus kubicarakan dengan Shin,” jawab Abraham.
Ailee tak bisa menahan suaminya, ia tahu itu. Pandangan Abraham saat ini sangat serius, itu karena semua ini menyangkut kesehatan Mars dan Abraham akan melakukan hal-hal yang berlebihan asal itu menjamin kesehatan anaknya. Ailee mengangguk dan pergi ke tempat Mars mengeksplor imajinasinya untuk menemani anak itu.
Hinano mengantarkan Abraham ke tempat di mana suaminya berada sekarang. Mereka turun ke lantai bawah tanah, lantai paling bawah yang ada di tombol lift. Lantai itu adalah sebuah lahan parkir. Hinano terus berjalan ke salah satu sisi dan memasuki pintu khusus pegawai yang ada di pojok lahan yang cukup luas itu. Begitu mereka memasuki pintu, pemandangan berubah drastis.
Sinar cahaya yang sangat terang memenuhi tiap penjuru ruangan. Sebuah laboratorium dengan peralatan dan mesin-mesin atau pun robot berteknologi canggih ada di mana pun sepanjang mata melihat. Beberapa orang berlalu-lalang, peneliti, yang terlihat lebih seperti orang-orang punk berdandan gotik atau kriminal dalam balutan jas putih. Mereka mengenal Abraham, memandangnya sebentar, atau memberi hormat pada majikan mereka, Hinano, sebelum kembali ke pekerjaannya masing-masing.
“Hai, sobat lama,” sapa seorang yang sudah tak asing bagi Abraham. Sang Dokter Gila, Shin.
“Aku tinggalkan kalian berdua,” ucap Hinano sambil sedikit menundukkan badannya lalu berbalik pergi.
“Kau dingin sekali pada suamimu ini,” protes Shin pada Hinano yang tak menggubrisnya dan pergi begitu saja.
“Ha. Kalian bertengkar?” tanya Abraham.
Ia tak benar-benar ingin tahu apa Shin dan Hinano benar-benar bertengkar, namun ia hanya penasaran apa yang telah diperbuat rekannya kali ini hingga Hinano yang sabar bisa sejutek itu. Pertengkaran bagi Shin dan Hinano memang sudah menjadi hal yang sangat lumrah. Malahan, jika Hinano bersikap manis pada Shin, Abraham akan tahu bahwa akan ada bencana besar dan ia harus segera bersiap melarikan diri.
“Masalah kecil. Seperti biasa,” jawab Shin santai dengan mengangat bahunya. Pria itu membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor pribadinya. Rambutnya yang semakin panjang dan tersampir dipundak bergerak-gerak seiring tiap langahnya. Abraham tidak berkomentar apa pun lagi, dan mengikuti pria itu dengan berjalan bersebelahan.
“Apa Ailee ikut?”
“Apa yang sedang kaurencakan?”
“Hei, tidak perlu memandangku seperti aku akan mengambil istri dan anakmu atau sebagainya. Tidakkah kau melihat aku sudah kesusahan merawat satu?”
“Tidak bisakah kau bersikap normal untuk sehari saja, Shin? Dengan begitu, Hinano mungkin akan berhenti menganggapmu gila dan mengizinkanmu pulang ke rumah.”
“Aku hanya melakukan sedikit eksperimen-”
Abraham mengangguk seakan memahami situasi yang sudah terjadi di antara Shin dan Hinano. “-Dari tubuh p*****r?”
“Sialan kau, Ab. Aku hanya membawa Yuri kemari untuk melihat-lihat, setelah itu dia sangat marah padaku saat Yuri menanyakan apa kegunaan p***s padanya. Tidakkah kau merasa batasan-batasan bagi anak kecil itu sungguh membosankan dan susah untuk dipahami? Itu adalah bahasa biologi, apa yang salah dari mengatakan p***s atau v****a?”
“Well, kurasa kau punya cukup banyak bagian tubuh manusia terutama yang seperti itu, kurasa. Tapi siapa Yuri?”
Shin seketika menghentikan langkahnya dan membalikkan badan untuk menatap Abraham lekat-lekat.
“Kita tidak akan membicarakan kemaluan sekarang dan ... bercandaan macam apa itu?”
“Aku … tidak sedang bercanda?” ucap Abraham tak mengerti. "Lagi pula kau yang memulainya. Pembicaraan mengenai kemaluan."
Shin berjalan mendekati Abraham dengan memicingkan mata tajamnya, “Aku tidak sesemangat itu dalam mengumpulkan benda yang sudah melekat pada selangkanganku, dan tunggu dulu, kau sungguh bertanya siapa Yuri?”
“Kau mendengarku dengan jelas,” ucap Abraham mulai bingung.
“Dia anak perempuanku. Apa aku belum mengatakannya?” Shin kembali berjalan dan berbelok untuk memasuki ruangannya.
Abraham menaikkan sebelah alisnya, lalu memasuki ruang Shin setelah sang pemilik ruang masuk terlebih dahulu, “Aku yakin kau hanya bilang, anakmu laki-laki. Kojiro. Kau memiliki anak lain? Oh, tentu. Kenapa tidak?”
“Yuri adalah anak keduaku. Dia berusia empat tahun,” jawab Shin sambil menjatuhkan pantatnya ke kursi kerja kesayangannya yang berderit.
“Pantas Hinano marah,” cibir Abraham yang duduk di kursi berhadapan dengannya.
“Jadi, apa yang terjadi pada Ailee versi pria kecilmu itu, Tuan b******k?” Shin melipat kaki di atas mejanya sambil membolak-balik kertas yang tadi ada di atas mejanya.
Wajah Abraham berubah tegang. Ia duduk di kursi seberang meja kerja Shin, berhadapan dengannya, “Mars ... ada kerusakan di cerebrumnya,” Abraham mengambil flashdisk dari dalam kantong jasnya dan menyerahkan benda itu pada Shin.
Shin membuka satu-satunya folder dalam flaskdisk itu di komputer, mengamati, lalu membelalakkan mata setelah mengamati foto-foto dan data-data dalamnya.
“Takagi!"
Seorang pria menjawab. Suaranya tak jauh. Ruangan pria bernama Takagi ini tepat berada di sebelah ruangan Shin, terpisah oleh dinding kaca. Pria itu memakai jas peneliti yang sama dengan yang dipakai Shin, terlihat tidak bersemangat dengan panggilan atasannya itu.
"Cetak fail yang baru saja aku kirim ke mejamu," ucap Shin cepat kemudian segera menoleh pada Abraham bahkan sebelum Takagi menjawabnya, "bawa aku menemui Mars. Sekarang juga,” ucap Shin yang kemudian untuk kesekian kalinya mengalihkan pandangan ke dokumen yang berhasil membuat ketenangannya hilang entah ke mana itu.[]