Chapter 01

2582 Words
    Markas ini tak terlalu besar, namun di dalamnya berisi alat-alat penunjang penelitian yang lengkap dan aku yakin, cukup langka. Aku mendapatkannya dengan susah payah setelah mengerahkan segala kemampuan yang kumiliki untuk mengumpulkan semuanya sedikit demi sedikit. Di sebelah markasku terdapat sepetak halaman yang cukup luas, di mana biasanya aku melakukan percobaan-percobaan yang harus kulakukan di tempat terbuka. Di sana terdapat banyak hasil alam ajaib yang kuyakin tidak di semua belahan dunia memilikinya. Mulai dari buah sekeras meteorit sampai daun kesuburan yang tumbuh menjalar dari langit.     “Kakek!”     “Ya?”     Pria itu, mantan pemimpin markas yang kukelola saat ini, Jendral Perang yang sangat kuhormati. Ia mengangkat benda yang terlihat seperti dua gelembung transparan keras yang menutupi kedua matanya yang ia sebut kacamata. Kakek, aku memanggilnya, selalu menggunakan benda kecil itu di depan matanya, kapan pun, di mana pun. Aku mendatanginya dengan d**a membusung, sementara ia menyipitkan matanya, menatapku curiga.     “Lihat, Tuan Kecil. Kau mengotori celanamu lagi. Semoga kali ini nodanya bisa hilang,” katanya sambil tersenyum.     Ah, senyum sang Jendral sungguh luar biasa.     Kakek mengangkat kedua kakinya yang sangat panjang, jauh lebih panjang timbang kakiku, meninggalkan kursi aneh yang terus bergerak ke kiri-kanan tanpa henti dan berkesan menakutkan itu, lalu melangkah ke arahku.     Apa nanti saat aku dewasa, aku juga akan terlihat seperti pohon yang menjulang setiap aku berjalan? Seperti kakek? Dengan daun-daun tipis putih di kepalaku dan batang kayu berwarna pucat dan keriput seperti yang menempel di wajahnya?     “Jadi, apa yang kautemukan hari ini sobat?” tanya Kakek sembari menekuk kedua kakinya hingga menyetarai tinggiku.     Waktunya untuk pertunjukan! Aku segera menarik tangan kakek, lalu membawanya ke laboratorium rahasiaku di sisi luar lain markas kecil kami. Ke tempat di mana aku baru saja menyelesaikan penelitian besarku. Begitu aku membawa kakek masuk, perhatian kakek segera tertuju pada benda yang berada di tengah-tengah ruangan. Wajah kakek terlihat kagum dengan temuanku. Atau dia marah? Entahlah, yang jelas ia membelalakkan matanya, menatap benda di depannya, lalu menatapku, kemudian menatap temuanku lagi.     “Apa ini, Mars?” tanya kakek sembari melangkah mendekati temuanku.     “Sebuah ... alat ... pengendali ... air ...!” jawabku dengan semangat.     Kakek manggut-manggut seraya mendekati benda di tengah ruangan itu dan mengamati tiap detail penemuanku ini. Temuanku berbentuk seperti pohon dengan ranting-ranting kecil yang terbuat dari plastik. Tepat di bawahnya, ada anak-anak kakek yang berada dalam pot kecil. Mereka sangat lucu karena bentuknya yang kecil-kecil. Kata kakek, mereka belum cukup dewasa untuk mencari makanannya sendiri. Kata kakek lagi, kami seumuran. Bedanya dariku, mereka berwarna-warni dan hanya minum air, tidak sepertiku yang memakan segala hasil buruanku dengan sang Jendral. Karena itu, setiap hari kakek selalu rajin memberi mereka air, kecuali hari di mana dewa air mengamuk dan menjatuhkan air dari awan-awan hitam di langit.     “Aku akan ... menunjukkannya! Kakek … duduk!” ucapku sambil meminjamkan kursi kebanggaanku untuk Kakek.      Aku sempat sedikit khawatir kursi itu akan tidak muat untuk kakek duduk, karena sepertinya kaki kakek terlalu panjang untuk ditekuk saat duduk di kursiku. Tapi sepertinya kakek tidak mempermasalahkan itu dan mempersilakanku mempresentasikan hasil penelitianku hari ini.     Aku menyalakan keran air yang sudah terhubung dengan Alat Pengendali Air-ku, kemudian kembali ke sisi kakek untuk menunjukkan sisi terhebat dari temuanku ini, Tongkat Sihir Utama. Tongkat sihir ini kubuat dari benda-benda yang disebut kakek 'hadiah untukmu'. Semuanya yang panjang dan terbuat dari plastik, kurangkai seperti sebuah tangan lengkap dengan jemarinya. Begitu air mengalir di dalam selang, kemudian naik ke atas badan utama alat itu, air keluar dari beberapa lubang yang sudah kubuat sebelumnya, lalu turun membasahi tanah di bawahnya menghasilkan beberapa air terjun kecil. Pipa penahan yang menahan selang air di atas juga menahan tongkat sihir utama dalam bungkusan handuk yang kusebut Sarung Sihir. Kukeluarkan tongkat itu dari sarungnya dan mengadukannya pada aliran air terjun. Sontak saja air itu berpencar, berbeda arah, menyesuaikan jari-jari si tongkat sihir menyiram anak-anak kecil di dalam pot-pot milik kakek, membuat daun dan kuncupnya basah dan terlihat segar.     “Whoa! Lihat itu! Kau hebat sekali, Tuan Kecil!”     Kakek mengembangkan senyumnya mengitari temuanku itu dengan pandangan kagum. Aku sungguh merasa senang setiap kakek menunjukkan ekpresi kagum itu. Setelah puas melihat keajaiban yang kubuat dengan segenap kekuatanku, Kakek menghampiriku sambil tertawa. Ia mengangkat tubuhku hingga tongkat itu jatuh dari tanganku dan air terjun kembali jatuh ke tanah. Kakek menciumi pipiku dan menggelitiki perutku. Sepertinya kakek ingin membuatku kaku karena tertawa.     “Ayah dan ibumu akan senang melihatmu tumbuh menjadi anak yang secerdas ini, Mars.”     “Apa ... itu … benar??”     “Tentu saja! Terlebih ibumu! Ia akan membelikanmu banyak mainan baru karena kau menggunakan banyak sekali lengan mainanmu untuk membuat alat pengendali airmu itu.”     “Dengan begini ... kakek ... hanya perlu menyalakan ... keran saja. Tidak perlu ... capek-capek ... menyirami ... mereka ... satu-satu ....”     Setelah aku mengatakannya, kakek diam sejenak dan menatap  mataku sembari tersenyum lebar dan menggeleng kecil.     “Kau masih sangat kecil, tapi hatimu sungguh mulia, Nak.”     “Apa ... itu ... artinya ... hatiku ... sakit juga, Kek??” tanyaku sembari memegang dadaku erat-erat.      Apa itu berarti aku mengidap suatu penyakit hati yang disebut mulia dan aku tidak akan bertahan hidup lama untuk memimpin laboratorium yang dipasrahkan Kakek padaku? Apa ini adalah momen-momen dramatis seperti yang aku lihat di film yang diputar Kakek biasanya di layar monitor ruang observasi?     Di luar dugaanku, Kakek tergelak dan mengacak rambutku menggunakan sebelah tangannya, “Bukan, Mars. Maksud kakek, kau adalah anak baik,” tawa kakek tiba-tiba memudar, berganti sebuah senyum yang entah mengapa membuatku merasa sedih, “Kau tidak sakit, Mars. Kakek, ayah dan ibumu akan menjagamu, Nak. Kau akan selalu baik-baik saja.”     Aku senang mendengarnya. Andai Ayah dan Ibu ada di sini untuk mendengar ucapan Kakek, mereka juga pasti akan senang. Aku juga senang karena ternyata istilah hati mulia berarti aku adalah anak baik, bukan seperti aku akan meninggal karena penyakit seperti di film-film.     “Baiklah, Anak Baik. Kau harus istirahat setelah membuat inovasi hebat ini,” ucap Kakek sambil membiarkanku duduk ke atas pundaknya dan berjalan kembali ke arah markas utama. Dalam posisi ini, aku harus berpegang erat pada daun-daun putih di kepala kakek jika tidak ingin jatuh dari ketinggian ini.     “Santa ... suka ... anak baik, ya kan?”     “Tepat sekali. Dan kau pantas mendapatkan banyak hadiah natal tahun ini!” balas kakek sembari mengusap dan menahan punggungku agar tetap di tempat yang tepat dalam mode pesawat terbang ini.     “Bersama Ibu … dan Ayah ... ulang tahun ... dan ... santa ... dan ... Kakek!” ucapku sambil memeluk leher kakek yang membawaku masuk dalam markas kami. "Dan cokelat! Banyak ... cokelat!"     Begitu kami masuk ke markas utama, kakek tidak memberiku izin untuk melanjutkan misi utama hari ini di ruang observasi. Baju dinasku dinilai kakek terlalu kotor untuk masuk ke ruang observasi dan mengamati apa yang dilakukan Sponge Bob hari ini. Jadi, kakek membawaku langsung ke ruang sterilisasi dan melakukan pembersihan ke seluruh tubuhku.     Aku terus mengatakan bahwa kakek tak perlu repot melakukan hal-hal berat ketika kami sudah berada di markas utama. Tempat ini memiliki sistem keamanan tinggi hingga monster penyedot darah kecil yang biasa bersembunyi di halaman sebelah laboratorium tidak akan bisa masuk. Jadi, harusnya kakek santai-santai saja. Tapi sepertinya kakek, sang Jendral, memang punya pertimbangan sendiri. Kakek sangat jarang bersantai. Terkadang bahkan terlalu memaksakan diri mengerjakan banyak hal, sehingga baterai kakek akan cepat habis. Saat baterai kakek habis, aku terpaksa harus menunggunya bangun sambil membuat sesuatu agar tidak bosan.     Saat-saat itu akan menjadi saat yang paling kubenci dalam satu hari. Aku tidak suka menunggu kakek bangun. Rasanya waktu berjalan lamban dan aku merasa kosong, tak berguna. Jadi, aku akan membuat banyak alat untuk membantu pekerjaan kakek, sehingga baterai kakek akan lebih awet dan aku tak perlu menunggunya bangun, karena dia akan bermain bersamaku hingga bateraiku habis juga bersamaan dengannya. Kami akan beristirahat bersama dan siap menerima misi esok harinya.     Proses pensterilsasian membutuhkan banyak tenaga karena di dalam lautan air, aku harus mengalahkan banyak sekali monster seperti sepasukan itik kuning penyembur air, dinosaurus dengan kulit yang keras atau bola angin raksasa. Atau jika itu adalah hari keberuntunganku, aku akan mendapat kesempatan untuk melawan sang Jendral Besar itu sendiri. MVP Boss.     Sejujurnya aku harus tetap terjaga karena hari ini adalah hari Minggu, kata kakek. Hari Minggu itu hari terspesial dibandingkan enam hari lainnya. Aku tidak mengerti bagaimana sejarahnya di masa lalu sebelum aku lahir, namun di hari Minggu yang luar biasa ini, Ayah dan Ibu akan datang berkunjung setelah berpetualang mengeksplorasi planet lain yang jauh. Aku ingat benar, Ayah pernah berkata padaku, suatu hari nanti, ketika aku sudah memiliki kekuatan yang cukup, Ayah akan membawaku berpetualang ke planet-planet lain bersamanya.     Aku sedang mengamati ruang observasi dan duduk manis di sofa sambil merangkul makanan luar angkasaku. Tapi saat ini aku sudah tak lagi di bulan. Kini aku sedang berkelana ke negeri di mana sihir tidak digunakan alih-alih menggunakan binatang aneh yang terbuat dari besi dan meraung-raung. Seperti binatang bersuara berisik yang dikendarai Ayah dan Ibu tiap mereka datang berkunjung.     Seharusnya aku tetap terjaga untuk menyambut mereka. Tapi … sepertinya aku sudah kehabisan daya. Rasanya mengantuk sekali.                                                                                     ***     Suara mobil berhenti di depan rumah. Suara yang sangat familiar. Sebastian cukup mendengarnya saja, ia sudah tahu siapa yang sedang berkunjung. Ia membuka pintu rumah dan mendapati seorang wanita, wanita kesayangannya, dengan tergopoh-gopoh membuka pintu mobil dan membanting benda itu kembali pada tempatnya, kemudian dengan setengah berlari menghampiri dirinya yang tengah menunggu dengan sabar di depan pintu. Tak kalah bergegas dari si wanita, seorang pria yang beberapa tahun belakangan ini menjadi salah satu anggota keluarganya, menyusul keluar dari mobil. Rambutnya hitam legam, acak-acakan, seperti biasa. Mengingatkannya pada bagaimana rambut Mars kecil kesayangannya. Pria itu membawa keluar sebuah tas kerja. Setengah berlari menyusul sang istri untuk memasuki rumah. Meski wajah mereka berdua terlihat lelah, namun kelelahan seperti apa pun tak bisa menutupi wajah harap dan berseri-seri mereka.     “Ayah,” sapa Ailee, anak gadisnya yang sangat cantik, seorang model, song writter dan penyanyi terkenal. Sebastian masih merasa waktu sangat tidak adil, karena telah mengubah anak gadis kecilnya yang seperti malaikat itu kini menjadi seorang wanita dewasa yang sangat memesona dan begitu mandiri hingga sama sekali tidak memerlukan dirinya lagi.     “Dia sedang tidur siang di ruang tengah,” balas sang Ayah dengan mencium kening Ailee. Wanita itu tidak berlama-lama menghabiskan waktu untuknya seperti dulu. Ailee segera bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan sang suami di belakangnya.     “Minggir, Sobat," ucap pria yang menyusul kemudian.     Itu adalah Abraham, suami Ailee, memperingatkan Sebastian dengan asap mengepul dari mulutnya, terengah-engah. Pria itu terlihat sangat terganggu saat Sebastian tidak juga minggir dari mulut pintu dan mendongakkan wajah padanya. Abraham mengajungkan jari telunjuknya, berusaha memerintah si pria tua untuk tak menghalangi jalannya masuk. Seperti kebenciannya pada sang waktu yang menyihir gadis kecil semata wayangnya menjadi seorang wanita dewasa yang tidak manja lagi padanya, Sebastian juga memasukkan Abraham sebagai salah satu dari hal yang dibencinya. Pria ini telah merampas Ailee dari hidupnya dan bahkan menduplikat dirinya menjadi Mars kecil yang sangat menggemaskan.     “Berikan laporan mingguanmu dulu, Stoner.” Sebastian mengulurkan sebelah tangannya, menagih.     Stoner adalah nama alias Abraham saat pria yang menjadi menantunya itu masih seorang hacker. Ya, seorang kriminal. Abraham adalah mantan pembajak dunia maya yang hingga detik itu masih memegang rekor sebagai hacker topi hitam yang paling dicari di dunia. Sebagai seorang penjahat b******n, pria itu sempat dengan senang hati mengacaukan perusahaan teknologi dan telekomunikasi raksasa milik Sebastian. Sebastian akan selamanya behutang pada anak gadisnya, Ailee, sebagai satu-satunya kunci untuk menghentikan kegilaan Stoner. Berkat Ailee, Stoner bersedia bekerja sama dan membawa perusahaannya menjadi salah satu perusahaan raksasa paling berpengaruh dan bergengsi di dunia. Meski tiap malam, Sebastian meragukan keputusannya untuk membiarkan mereka berdua, sejoli dimabuk cinta hingga gila itu, menikah.     Namun, setelah kedatangan Mars di hidupnya, Sebastian tidak lagi memiliki penyesalan atau keraguan. Malaikat kecil itu menyembuhkan dan memberkati hidupnya yang seperti sudah sangat sakit karena keberadaan Stoner yang terus melekat padanya.     Sebagai ganjaran atas dosa masa lalu yang menyenangkan itu, kini Abraham harus meninggalkan gaya hidup berbahayanya sebagai seorang hacker untuk bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin rumah tangga, seorang ayah memiliki anak, dan seorang CEO perusahaan raksasa, Homunculus Inc. Karena sama sekali tidak memiliki pengetahuan sebagai seorang pemimpin perusahaan, pria itu hampir menghancurkan laporan keuangan perusahaan saat ia bertanya dengan polosnya, ‘Apa itu balance sheets?’ Meski dia adalah seorang jenius dalam mengendalikan segalanya di dunia maya, Sebastian melakukan segala yang ia bisa untuk membimbing dan mengawasi pekerjaan pria itu sebagai CEO di perusahaan yang sudah susah payah ia bangun dan kembangkan, tidak kemudian hancur lebur di tangan pria gila itu.     Seperti sekarang ini, di setiap kunjungannya, Abraham harus melewati Sebastian untuk memberinya laporan singkat mengenai perkembangan yang sedang terjadi di perusahaan.     Abraham dengan gemas mengacak rambutnya yang hitam legam dan sudah berantakan hingga semakin tak karuan bentuknya. “Ayolah, Pak Tua! Kita bisa membicarakannya nanti setelah aku bertemu dengannya!” protesnya lirih.     Sebastian menahan tawanya saat melihat mata hijau kelam jelek milik Abraham memohon seperti anak anjing kelaparan yang merengek untuk diberi makan.     “Dia sedang tidur, Abraham. Lagi pula, semakin cepat kau memberikan laporan itu, semakin cepat kau bisa masuk, bukan?”     “Kau …!” Abraham menggelengkan kepala tak percaya dan menatap Sebastian dengan sangat murka, “Si Tua Kejam! Memang tak seharusnya kusetujui kau menjadi seorang nanny, dasar arogan!” dengus Abraham. Sedangkan Sebastian menyunggingkan senyum penuh kemenangan saat Abraham akhirnya menyerah. Ia berjalan ke meja kecil di bagian depan rumah, membuka tas dan memilah beberapa dokumen laporan yang diminta Sebastian.     “Oh ya? Apa kau pikir mengasuh anak kecil itu pekerjaan mudah? Mau taruhan berapa, kau akan panik sampai mati saat tahu Mars buang air besar di celananya dan menangis karena malu,” jawab Sebastian penuh dengan rasa percaya diri.     “Kau dapat ini, aku masuk!”     Abraham menyerahkan laporan itu lalu menerobos masuk dengan cepat. Sebastian terhuyung ke samping saat tubuh Abraham menabraknya, membuatnya minggir dengan paksa. Pria tua itu menutup pintu dan menguncinya setelah menggelengkan kepala, tersenyum melihat bagaimana pasangan suami-istri itu terlihat sangat tersiksa saat harus berpisah dengan buah hati mereka. Sebastian dengan sengaja melempar tumpukan kertas itu di atas meja dekat Abraham begitu saja setelah membolak-balik laporannya asal-asalan. Sengaja membuat Abraham kesal. Sebastian bisa saja meminta Abraham untuk mengirimkannya lewat email, namun ia menolak ide itu. Abraham pun setuju begitu saja. Asal ia bisa melihat anak mereka yang Sebastian culik karena pria tua itu merasa Mars terlalu berharga untuk diasuh seorang nanny saat kedua orang tuanya sibuk dengan dunia mereka masing-masing.     “Oh, astaga. Lihatlah, Ab. Rambut hitamnya yang selalu berantakan ini sangat mirip denganmu,” ucap Ailee lembut setengah berbisik agar tidak membangunkan buah hatinya. Sebelah tangan wanita itu mengusap rambut tebal Mars yang sedang terlelap.     Ailee tengah duduk di bawah sofa, di atas permadani tebal yang menghangatkan kakinya, mengamati si anak dengan pandangan begitu memuja. Sedangkan Mars mendengkur kecil dalam usapan lembutnya. Terlihat begitu lelah dan sangat nyenyak dalam tidurnya di atas sofa di depan TV. Ailee berpindah posisi untuk duduk di sebelah Mars, membimbing tubuh anak laki-laki itu ke pangkuannya. Mata Ailee terus tertuju pada sang anak. Berbinar menatap anak laki-laki semata wayangnya itu.     “Terima kasih Tuhan telah menjaga anak kami,” lanjut Ailee haru sembari mengusap-usap rambut si anak dan sesekali menciumi kepalanya, “kita berpisah selama 6 hari dan rasanya seperti 6 tahun.”     “Dia semakin mirip denganmu, Ai,” balas Abraham yang menghiraukan suara debuman keras tak jauh darinya karena Sebastian melemparkan tumpukan laporannya begitu saja di atas meja.     Abraham merangkulkan lengannya ke bahu sang istri dan sebelahnya lagi melingkupi tubuh si anak yang masih terlelap. Sikap protektif yang begitu kuat menyeruak dari Abraham begitu ia melihat Mars, anaknya. Tak hentinya ia mencium atau mengusap pipi Mars yang gembul kemerahan di pangkuan sang ibu.     Sebastian duduk di atas sofa lainnya di seberang keluarga kecil itu, “Sereal kesukaannya sama seperti Ailee waktu kecil. Dia tak terlalu suka makanan dengan rasa yang kuat, dia hanya mau makan corn flakes dengan s**u. Makanan Luar Angkasa-nya.”     Tertawa setelah mencium ujung kepala bocah itu, Abraham berkata, “Seperti biasa. Dia terlalu banyak berfantasi.” Abraham mendaratkan satu lagi kecupan lain di kening bocah kecil itu.     Sebastian terdiam sejenak saat menatap pemandangan indah di depannya itu. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk merusak momen mereka saja.     “Abraham, coba kemari. Ada yang ingin kutunjukkan padamu.” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD