Walau ada rasa takut menggelayuti hatinya serta detak jantungnya yang tak beraturan, Falisa tetap memenuhi panggilan itu. Dia berjalan menuju ruangan Juan, tapi sebelum mengetuk pintu ruangan, Falisa berinisiatif untuk menanyakan alasan dirinya dipanggil pada Viona.
Falisa pun berjalan menuju meja sang sekretaris, tapi malang nasib wanita itu karena dia tak menemukan keberadaan Viona di mana pun.
“Huh, ke mana Bu Viona? Kenapa tidak ada di mejanya?”
Falisa semakin kebingungan, yang paling penting dia semakin takut dan khawatir.
“Ah, mungkin Bu Viona sedang ada di ruangan Pak Juan. Aku ke sana saja sekarang, lagi pula Maria tadi bilang begitu. Aku tidak boleh membuat Pak Juan marah karena menungguku terlalu lama.”
Ya, Falisa sudah mengambil keputusan, dia akan memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Juan karena dia teringat pada ucapan Maria yang mengatakan Juan mudah tersulut emosi.
Begitu tiba di depan pintu ruangan Juan, tangan kanan Falisa terangkat, lalu mendarat pada daun pintu, suara ketukan pun mengalun.
“Masuk!”
Ketika telinganya mendengar suara seorang pria dari dalam ruangan yang mengizinkannya untuk masuk, Falisa meneguk ludah, lantas dia benar-benar membuka pintu tersebut.
“Permisi, Pak. Saya dengar Anda memanggil saya?” tanya Falisa, dirinya kini berdiri di depan pintu.
Juan yang sedang menulis sesuatu pada sebuah dokumen itu pun mengangkat kepala, mengernyitkan dahi begitu melihat sosok Falisa yang datang ke ruangannya.
“Ya, benar. Aku memanggilmu.”
“Ada apa, ya, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Falisa mencoba bersikap senormal mungkin walaupun sebenarnya kedua lututnya terasa lemas saking gugupnya dia. Jika boleh memilih, dia ingin pergi sekarang juga dari ruangan itu karena tatapan Juan yang tajam bagai bisa mengeluarkan sinar laser itu benar-benar membuatnya tak nyaman dan merasa terintimidasi.
Di sisi lain, Juan bangkit dari duduknya, dia berjalan menghampiri Falisa. Dia lalu mengambil jas yang tergeletak di atas meja.
“Benar kau yang memungut jas yang sudah aku buang ini?” tanya Juan, tak ada nada ramah ataupun bahasa yang sopan yang keluar dari mulut Juan.
Falisa mengangguk. “Iya, benar. Saya memang memungutnya.”
“Siapa yang menyuruhmu melakukan itu? Aku sudah membuangnya artinya aku sudah tidak ingin memakainya lagi.”
Falisa mengerutkan kening karena merasa Juan tipe orang yang tidak tahu cara berterima kasih, padahal dia sudah sengaja mencuci jas itu sampai bersih, bahkan menyetrikanya agar rapi seperti sediakala.
Merasa usahanya tak dihargai, Falisa pun angkat bicara. “Saya merasa harus bertanggungjawab karena jas itu menjadi kotor akibat ulah saya yang menumpahkan teh, karena itu saya mencucinya.”
“Percuma saja kau lakukan itu karena aku tetap tidak mau lagi memakai jas ini.”
Dengan tidak sopan, Juan melempar jas itu pada Falisa, tepat mendarat di pangkuan wanita itu. Mendapati sikap kasar sang CEO, tentu saja Falisa kesal bukan main. Benar pria di hadapannya itu merupakan pemimpin perusahaan tempatnya bekerja, tapi Falisa merasa dirinya masih punya harga diri, dia tak terima diperlakukan sekasar itu.
“Noda di jas ini kan hanya noda kecil, hanya noda teh yang sangat mudah untuk dihilangkan. Saya hanya …”
“Bukan masalah noda tehnya yang membuat aku tidak mau lagi memakai jas itu, tapi karena jas itu mengingatkan aku pada kejadian yang membuatku kesal dan suasana hatiku menjadi berantakan. Seharusnya kau tidak perlu memungut jas yang sudah aku buang, apalagi sampai mengembalikannya lagi padaku. Aku …” Juan menjeda ucapannya, dia lalu menunjuk dirinya sendiri. “… bukan orang yang akan mengambil lagi apa pun yang sudah aku buang.”
“Bukankah seharusnya Anda berterima kasih pada saya?”
Kening Juan mengernyit dalam. “Kenapa aku harus berterima kasih padamu, toh aku tidak pernah ingin memakai jas itu lagi?”
“Jika bukan karena saya yang memungutnya mungkin dompet Anda juga tidak akan kembali.”
Juan berdeham, tak memungkiri yang dikatakan Falisa memang ada benarnya.
“Tapi jika Anda memang tidak ingin mengambil jas ini lagi karena Anda sudah membuangnya, baiklah … saya akan membawanya pergi agar Anda tidak perlu lagi teringat pada kejadian yang mengesalkan dan membuat suasana hati Anda menjadi buruk. Saya permisi dan maaf sudah lancang mengembalikan jas ini.”
Falisa pun berniat berjalan menuju pintu tanpa menunggu respons Juan, tak peduli walau ucapan dan tindakannya ini mungkin akan membuatnya dipecat alias kehilangan pekerjaan. Sungguh harga dirinya lebih penting bagi Falisa.
Namun, langkah Falisa terhenti karena seseorang tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Falisa tak tahu siapa wanita cantik nan glamour yang masuk begitu saja ke ruangan Juan. Apalagi wanita itu dengan berani memeluk Juan dan mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya, walau terlihat Juan tak membalasnya sedikit pun.
“Sayang, kau pasti sudah menungguku, ya. Maaf aku terlambat, tadi mampir dulu ke salon.”
Itu Qiana yang datang ke kantor Juan seperti yang dia katakan tadi pagi.
Juan memutar bola mata, seperti biasa merasa jengkel dan malas menghadapi Qiana.
“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Qiana, tentu saja ditujukan pada Juan. Keberadaan Falisa di ruangan itu seolah tak terlihat olehnya karena yang ada di mata wanita itu hanyalah tunangannya, Juan.
“Mana mungkin pekerjaanku sudah selesai. Pekerjaanku menumpuk setiap hari.”
Qiana mendengus. “Jangan terlalu memaksakan diri, Sayang. Kau juga perlu istirahat dan bersenang-senang sesekali. Lagi pula kau ini bos di perusahaan ini, seorang pemimpin yang bisa dengan mudah meminta bawahanmu untuk membantumu mengerjakan tugas-tugasmu.”
Juan berdecak, tersenyum miring mencemooh perkataan Qiana. “Maaf saja, aku bukan orang yang tidak bertanggungjawab seperti itu. Tentu saja aku akan tetap mengerjakan sesuatu yang memang sudah menjadi tugasku.”
“Ck, dasar gila kerja. Tapi ya sudahlah, aku tidak akan melarangmu, yang penting sekarang ayo kita berangkat. Temanku sudah menunggu di restorannya.”
Falisa merasa dia sudah tidak memiliki alasan untuk tetap berdiam diri di ruangan itu, dia juga ingin segera kembali ke ruangannya. Dia pun melanjutkan langkah yang tertunda menuju pintu sambil memeluk jas yang tadi dilempar Juan padanya.
“Mau ke mana kau, Falisa?”
Akan tetapi sebuah suara sukses membuat Falisa menghentikan langkah, itu suara Juan yang membuat Falisa terkejut pasalnya pria itu baru saja memanggil namanya.
Falisa berbalik badan menghadap sang CEO. “S-saya akan kembali ke ruangan saya, Pak. Tidak ada lagi yang Anda perlukan, bukan?”
“Siapa bilang kau sudah boleh pergi? Urusan kita belum selesai. Kau ikut dengan kami.”
Bukan hanya Falisa yang membulatkan mata, melainkan Qiana pun demikian.
“Apa maksudnya kau menyuruh karyawanmu itu ikut dengan kita?”
“Aku ada pertemuan dengan klien dan dia akan menemaniku menemui klien itu. Tapi aku sudah terlanjur berjanji padamu untuk menemanimu pergi ke restoran temanmu itu, jadi ya aku dan dia …” Juan menunjuk Falisa dengan dagunya. “… akan pergi menemui klien setelah menyelesaikan urusan denganmu di restoran temanmu itu. Karena kami akan langsung pergi ke tempat pertemuan dengan klien tanpa kembali dulu ke kantor, tentu saja dia juga harus ikut dengan kita.”
“Tapi Juan, ini acara spesial kita berdua. Kita akan makan siang bersama di sana. Bagaimana bisa karyawanmu ikut dengan kita?”
“Apanya yang acara spesial? Kita sudah sering makan bersama, jadi tidak masalah walaupun dia ikut bersama kita.”
“Juan, aku ….”
“Dia ikut bersama kita atau tidak sama sekali. Lebih baik kita batalkan saja makan bersama di restoran temanmu itu karena aku juga ada pertemuan dengan klien penting siang ini.”
Qiana berdecak. “Ya, ya, ya, baiklah. Dia boleh ikut bersama kita. Puas kau?”
Juan menyeringai, dia lalu berjalan menghampiri Falisa yang berdiri di dekat pintu. “Kau ikut dengan kami,” ucapnya, tak peduli walau wajah Falisa kini melongo karena tak mengerti kenapa bisa dia terjepit dalam situasi seperti ini. Apa-apaan ini?
***
Falisa canggung bukan main, dia tengah duduk di antara sepasang sejoli yang baru dia ketahui merupakan CEO perusahaannya dan tunangannya. Hingga detik ini Falisa masih tidak mengerti kenapa dia harus ikut bergabung dengan dua orang itu. Kenapa dia tiba-tiba dilibatkan dengan urusan mereka berdua?
“Mana makanannya?”
Falisa yang sedang melamun itu tersentak hingga lamunannya buyar seketika karena mendengar Juan yang tiba-tiba mengeluarkan suara dan bertanya seperti itu pada Qiana, memecahkan keheningan yang melanda meja mereka.
“Mungkin masih disiapkan.”
“Ck, lama sekali.”
“Kenapa memangnya? Kau sudah lapar?”
Juan berdecak seraya memutar bola mata. “Bukan lapar, tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini. Sudah kukatakan ada pertemuan dengan klien penting siang ini.”
“Sabar sebentar, Sayang. Makanan itu kan perlu dimasak dulu, mana mungkin langsung jadi dan dihidangkan begitu saja. Apa pun butuh proses, Sayang.”
“Huh, sayangnya waktu luangku tidak banyak. Aku akan pergi ke toilet, jika sampai aku kembali ke sini makanannya belum dihidangkan, aku akan pergi.”
“Hei, Juan. Kau tidak bisa seenaknya begitu.”
Namun, Juan mengabaikan sepenuhnya protes dari Qiana, dia bangkit berdiri dan melenggang pergi begitu saja. Seperti yang dia katakan dia akan pergi ke toilet.
Kini di meja tersebut hanya ada Qiana dan Falisa. Terlihat jelas Falisa duduk gelisah di kursinya dan tentu saja Qiana menyadari hal itu.
“Siapa namamu?” tanya Qiana tiba-tiba.
“Falisa, Bu,” sahut Falisa seramah mungkin karena dia tahu sosok wanita di depannya bukan wanita sembarangan melainkan seseorang yang harus dia hormati karena dia pasangan sang pemimpin perusahaan.
“Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apa kau karyawan baru?”
Falisa mengulas senyum. “Benar. Saya memang karyawan baru. Baru dua hari bekerja di Luthor Holdings Group.”
Qiana memasang raut bingung, terlihat heran setelah mendengar jawaban Falisa tersebut. “Kau karyawan baru, apa kau ditempatkan sebagai sekretaris Juan?”
Falisa menggelengkan kepala. “Tidak, Bu. Saya dari divisi keuangan.”
Dan raut wajah Qiana semakin terheran-heran. “Kau dari divisi keuangan dan karyawan baru, kenapa bisa menemani Juan menemui klien penting? Padahal biasanya dia ditemani sekretarisnya. Viona kan nama sekretarisnya?”
Ditanya seperti itu oleh Qiana, tentu saja Falisa bingung bukan main. Jangankan Qiana, Falisa sendiri tak mengerti kenapa Juan tiba-tiba berkata demikian. Falisa tak pernah merasa ditugaskan untuk menemani Juan menemui klien penting hari ini.
Falisa sudah membuka mulut, berniat mengatakan yang sebenarnya, tapi urung dia lakukan begitu melihat beberapa pelayan datang ke meja mereka, lalu menghidangkan beberapa makanan yang dipesan oleh Qiana dan Juan.
Tak lama kemudian, Juan kembali ke meja. Perbincangan antara Qiana dan Falisa pun berakhir sampai di sana.
“Lihat, makanannya sudah dihidangkan, pas sekali kau sudah kembali dari toilet,” ucap Qiana, terlihat senang karena makanan pesanan mereka datang tepat waktu atau akan jadi masalah jika sampai Juan kembali dari toilet dan makanan belum dihidangkan di atas meja. Pria itu tak pernah main-main dengan ucapannya.
Juan menipiskan bibir, bola matanya bergulir menatap makanan yang menarik minatnya.
“Coba kau cicipi ini. Rasanya lezat, aku sudah pernah mencicipinya.” Tanpa permisi Qiana meletakan sebuah dessert di piring Juan.
Alih-alih merasa tersentuh karena sang tunangan begitu peduli dan perhatian padanya, Juan justru mendengus tak suka. Dia melirik ke arah Falisa yang belum mengambil makanan apa pun karena piringnya masih tampak kosong, lalu tanpa meminta izin atau bertanya, Juan memindahkan dessert di piringnya yang diberi oleh Qiana pada piring Falisa.
Falisa terkejut bukan main dengan tindakan Juan tersebut, kedua matanya melebar sempurna. “P-Pak Juan, kenapa dessert-nya dipindahkan ke piring saya? Itu kan milik Anda.”
“Sudah kau makan saja. Aku tidak terlalu suka dessert,” jawab Juan, tak menerima penolakan. Pria itu juga tampak tak peduli tindakannya itu membuat Qiana sakit hati dan tersinggung.
Sedangkan Falisa berbeda, melihat Qiana memasang wajah cemberut, dia merasa canggung sekarang. Namun, dia tak tahu harus melakukan apa agar tak membuat Qiana berlarut-larut dengan sakit hatinya.
“Pak Juan, saya tidak bisa memakan dessert ini. Tolong Anda ambil kembali.” Hingga Falisa memutuskan untuk mengembalikan dessert itu, dia tak mungkin memakannya di saat aura yang menguar dari tubuh Qiana terasa tak menyenangkan. Wanita itu tak rela dessert yang dia berikan untuk Juan malah diberikan pada Falisa.
“Jangan banyak bicara. Sudah, kau makan saja dessert itu.”
“Tapi Pak ….”
Falisa tak melanjutkan ucapannya karena Juan yang tiba-tiba memelototi dirinya. Wanita malang itu lalu menoleh pada Qiana, berharap wanita itu tak marah lagi padanya.
Tiba-tiba saja Qiana mengulas senyum manis penuh makna. “Tidak masalah, Falisa. Kau makan saja dessert pemberian Juan itu. Dia sudah sengaja memberikannya padamu jadi jangan ditolak ya.”
Lagi dan lagi Falisa terjepit pada kondisi serba salah dan membuatnya tak berkutik. Dalam hatinya wanita itu berteriak keras ingin segera pergi dari sana. Berada di tengah-tengah sepasang sejoli yang sudah bertunangan itu benar-benar membuatnya tersiksa. Falisa berharap ini pertama dan terakhir kalinya dia melibatkan diri atau berada di tengah-tengah antara Juan dan Qiana.
Dan lagi-lagi yang jadi pertanyaannya … benarkah harapan Falisa itu akan terkabul?