“Juan.”
Langkah Juan yang sedang menuruni tangga itu seketika terhenti karena sebuah suara yang memanggil namanya. Juan memutar bola mata, malas rasanya meladeni sang pemilik suara karena tanpa menoleh ke belakang pun dia tahu yang baru saja memanggilnya adalah Qiana.
Juan baru berbalik badan karena tangannya tiba-tiba ditarik oleh wanita yang sudah resmi menjadi calon istrinya itu.
“Kenapa semalam kau mengunci pintu kamar?”
Satu alis Juan terangkat naik, dia memang mengunci pintu kamar semalam karena tak ingin diganggu oleh Qiana yang hampir setiap malam mengajaknya bercinta padahal mereka belum menikah.
“Karena aku tidak ingin diganggu olehmu. Harusnya tanpa aku menjawab pun kau sudah tahu alasannya.”
Qiana mendengus, wanita itu tampaknya sudah terbiasa diperlakukan sekasar itu oleh tunangannya. “Aku bukan ingin mengganggu, tapi aku justru bermaksud baik. Aku tahu kau lelah setelah seharian bekerja di kantor, jadi aku bermaksud memijat tubuhmu, memanjakanmu agar kau rileks dan merasa nyaman.”
Juan menggelengkan kepala karena baginya keberadaan wanita itu adalah pengganggu dalam hidupnya. Tak pernah sekalipun dia merasa nyaman saat berduaan dengan Qiana.
“Aku pergi dulu.”
Juan pun berniat melanjutkan langkah, tapi dengan cepat Qiana menangkap tangannya lagi. “Nanti siang aku akan mampir ka kantormu.”
Kening Juan yang kali ini mengernyit. “Untuk apa kau pergi ke kantorku? Aku sedang banyak pekerjaan, kau jangan mengganggu.”
“Ck, aku bukan mau mengganggu, tapi aku akan mengajakmu makan siang bersama. Temanku baru saja membuka restoran baru, aku diundang ke sana, jadi kita ke sana sama-sama. Bagaimana?”
“Kau saja yang ke sana, untuk apa mengajakku segala? Lagi pula dia itu temanmu, kan? Aku tidak kenal dengannya.”
“Bukankah seharusnya temanku juga temanmu? Juan, kita ini sudah bertunangan dan akan segera menikah, tapi tidak pernah sekalipun kita bepergian atau menghadiri sebuah acara bersama-sama. Teman-temanku merasa heran karena aku tidak pernah datang bersamamu jika sedang ada acara. Karena itu aku mohon kali ini saja jangan permalukan aku. Kau harus mau menemaniku mengunjungi restoran baru temanku.”
Juan benar-benar malas bertengkar dengan Qiana pagi ini karena dia tak ingin suasana hatinya menjadi berantakan. Dia lantas memilih mengalah kali ini, kepala pria itu pun terangguk. “Baiklah. Jam berapa kau akan datang ke kantor?”
Wajah memelas penuh permohonan Qiana seketika berubah menjadi berseri-seri, penuh dengan senyuman lebar. “Saat jam makan siang, mungkin sekitar jam 12 atau jam 1 siang ini.”
“OK.”
Hanya jawaban singkat itu yang diberikan Juan, dia lalu menarik dengan kasar tangannya yang dipegang Qiana. Melanjutkan langkahnya yang tertunda, dia berjalan dengan terburu-buru.
“Juan, terima kasih. Aku mencintaimu!” teriak Qiana yang sepenuhnya diabaikan oleh pria itu. Qiana tak terlihat tersinggung karena sekarang yang penting baginya adalah Juan bersedia menerima ajakannya.
***
Berjalan dengan langkah lebar, cepat dan terburu-buru, Juan mengabaikan sepenuhnya beberapa karyawan yang berpapasan dengannya dan memberikan sapaan sopan nan hormat. Pria itu sedang tak ingin berbada-basi karena tujuannya sekarang adalah secepatnya tiba di ruangannya. Ada banyak laporan yang harus dia periksa dan tandatangani.
“Selamat pagi, Pak.”
Sapaan itu diberikan Viona begitu Juan melewati mejanya.
Juan kali ini menanggapi, dia mengangguk tapi tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Juan lalu masuk ke dalam ruangannya. Dia mendudukan diri di kursi kebesarannya, hal yang pertama kali dia lakukan adalah menyalakan komputer di hadapannya. Setelah itu, baru dia memeriksa tumpukan dokumen yang sudah menunggu untuk dia tandatangani.
Juan berdecak ketika mendapatkan satu laporan bahwa salah satu produk perusahaannya mengalami penurunan omzet, kabar yang paling dia benci karena sebagai seorang pebisnis tentunya dia ingin omzetnya selalu stabil, selalu naik malah lebih bagus.
Juan begitu fokus memeriksa laporan dan mulai menandatanganinya satu demi satu. Setelah semua dokumen selesai dia tandatangani, Juan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, dia mengangkat kedua tangannya ke atas untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku dan pegal.
Saat itulah, tanpa sengaja ekor matanya menangkap sebuah jas yang tergeletak di meja depan sofa. Juan mengernyitkan kening karena merasa mengenal jas tersebut. Dia pun bangkit berdiri, duduk di sofa, dia lantas mengambil jas tersebut.
“Ini kan jas yang aku buang itu, kenapa jadi ada di sini?”
Bukan hanya jas itu yang tergeletak di atas meja, tapi dompetnya pun ada di sana. Juan memeriksa dompetnya, memastikan tak ada satu pun barangnya yang hilang. Dia mengembuskan napas lega setelah yakin semua miliknya di dalam dompet itu masih seperti semula, tak ada satu pun yang hilang.
“Siapa yang mengembalikan jas dan dompet ini? Apa Viona yang berhasil menemukannya?”
Juan lantas berjalan menuju meja kerja, menggunakan telepon di sana, dia pun menghubungi sang sekretaris, memintanya untuk datang ke ruangannya karena ada beberapa hal yang ingin dia tanyakan.
Tanpa menunggu lama, sosok Viona pun datang ke ruangannya.
“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang sekretaris dengan sopan dan ramah.
“Kau tahu siapa yang mengembalikan jas dan dompet ini?” Juan menunjuk pada jas dan dompetnya yang tergeletak di atas meja.
“Oh, ada karyawan baru yang tadi datang ke sini mengantarkan jas dan dompet itu.”
“Karyawan baru?” Satu alis Juan terangkat naik.
“Iya, Pak. Namanya Falisa. Dia bilang sengaja memungut jas itu dari tempat sampah karena merasa dia bertanggungjawab sudah menumpahkan teh ke jas Anda.”
“Hoo, jadi dia wanita yang menumpahkan teh pada jas saya waktu itu?”
Viona mengangguk. “Benar, Pak. Jas itu sudah dia cuci dan rapikan kembali. Untuk dompetnya, silakan Anda periksa, apa ada yang hilang?”
Juan menggelengkan kepala. “Tidak ada yang hilang di dompet saya.” Dia lalu mengambil jas dan membolak-baliknya seolah sedang memeriksanya.
“Bagaimana, Pak? Benar jasnya sudah bersih dan rapi?”
Juan mengembuskan napas pelan, kembali meletakan jas itu dengan gerakan kasar di atas meja, dia lalu menyandarkan punggung di sandaran sofa seraya bertopang kaki. “Tadi kau bilang namanya Falisa?”
“Benar, Pak.”
“Dia karyawan baru di perusahaan ini?”
“Benar. Baru kemarin dia mulai bekerja di sini.”
Juan kembali teringat pada pertemuannya dengan Falisa di depan lift kemarin, ternyata wanita yang sukses merusak suasana hatinya dua hari yang lalu itu sekarang bekerja di perusahaannya.
“Dia berasal dari divisi mana?”
“Divisi keuangan, Pak.”
Juan pun tertegun dalam diam seolah sebuah rencana sedang menari-nari dalam kepalanya.
***
“Fal, bagaimana?”
Falisa yang sedang fokus mengerjakan tugas seraya menatap layar komputer itu tersentak, terkejut bukan main karena Maria tiba-tiba muncul di belakangnya dan bertanya demikian.
“Bagaimana apanya, Maria?”
“Tugasmu. Ada yang tidak kau mengerti?”
Falisa menggelengkan kepala. “Tidak. Sejauh ini aku memahami semuanya, aku belum mengalami kesulitan.”
“Oh, baguslah kalau begitu. Padahal ini pengalaman pertamamu bekerja di sebuah perusahaan, kan? Tapi kau sudah pandai mengerjakan tugas-tugasmu. Bagus … bagus …” Maria mengangkat kedua ibu jarinya sebagai tanda dia salut pada kepintaran Falisa.
“Ah, tidak juga. Kebetulan saja tugasnya masih mudah, tapi nanti mungkin akan mulai sulit dan aku akan meminta senior untuk mengajariku.”
“Aku siap kapan pun kau minta diajari. Jangan ragu bertanya padaku, ya.”
Gantian Falisa yang mengangkat ibu jarinya.
“Hm, Fal, pekerjaanmu masih banyak?”
Falisa menggelengkan kepala. “Tidak, tinggal sedikit lagi. Kenapa memangnya?”
“Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Boleh?”
“Hei, kerja, kerja. Ini bukan waktunya bergosip,” celetuk Joshua yang tiba-tiba bergabung dengan pembicaraan dua wanita itu tanpa diundang.
“Huh, biarkan saja, toh tugasku sudah selesai,” sahut Maria sambil memeletkan lidahnya keluar, mengejek Joshua.
“Iya, tugasmu selesai, tapi Falisa kan belum.”
“Dia bilang tugasnya tinggal sedikit lagi. Lagi pula aku tidak akan meminta waktunya terlalu banyak. Sana, sana, pria jangan ikut campur. Ini obrolan para wanita.”
Maria mengibas-ngibaskan tangan, menyuruh Joshua untuk menyingkir dan tidak ikut campur lagi dalam pembicaraannya dan Falisa.
“Huh, ok, ok, aku pergi.”
Joshua benar-benar pergi, kali ini membiarkan kedua wanita itu melakukan apa pun yang mereka inginkan.
“Kau ingin cerita apa, Mar?” tanya Falisa, rasa penasarannya mulai naik ke permukaan.
“Hm, sebenarnya aku malu menceritakan ini, tapi aku merasa harus menceritakannya karena aku sedang butuh saran dan pendapat orang lain.”
“Memangnya ada apa? Ceritakan saja, mungkin aku bisa memberikan saran dan pendapatku.”
Terlihat Maria menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan, sebelum mulutnya terbuka dan suaranya pun mulai mengalun. “Hm, ini tentang kisah percintaanku yang menyedihkan.”
Falisa mengedipkan mata, tak menyangka masalah seperti ini yang akan diceritakan Maria padanya. “Ada apa? Apa kau ada masalah dengan pacarmu?”
“Sebenarnya yang dikatakan Joshua kemarin memang benar, aku belum punya pacar tapi aku memiliki seseorang yang sudah lama aku cintai. Dia selalu menolakku.” Raut wajah Maria yang selalu ceria, kini mendadak berubah sendu.
“Pria itu temanku waktu kami masih kuliah. Aku sering menyatakan cinta padanya tapi dia selalu menolakku karena dia sudah memiliki seseorang yang dia cintai.”
Falisa ikut memasang raut sendu, mulai iba pada kisah cinta Maria yang naas tersebut.
“Dia akhirnya berpacaran dengan wanita yang dicintainya itu.”
“Ah, benarkah?” Falisa membekap mulut, semakin kasihan pada nasib percintaan Maria. “Walau dia sudah memiliki kekasih, apa kau masih mencintainya?”
Maria mengangguk. “Ya, aku masih mencintainya. Perasaanku tidak pernah berubah sedikit pun. Dan sekarang aku sedang bingung.”
“Apa yang kau bingungkan?” Falisa semakin penasaran menanti kelanjutan cerita rekan kerjanya tersebut.
“Pria itu kemarin tiba-tiba menemuiku dan bertanya apa aku masih mau menjadi pacarnya.”
Bola mata Falisa membulat, wajahnya berubah berbinar. “Wah, itu kabar bagus. Apa mungkin pria itu akhirnya mau menjadi pacarmu, Maria? Dan dia sudah putus dengan pacarnya?”
“Dia memang memintaku menjadi pacarnya, tapi bukan pacarnya yang resmi melainkan …” Maria menjeda ucapannya, mengembuskan napas berat hingga mulutnya kembali terbuka dan berkata, “… menjadi simpanannya.”
“Hah? Jangan bilang dia belum putus dengan pacarnya tapi sekarang dia memintamu untuk menjadi pacarnya juga? Dengan kata lain dia ingin kau menjadi selingkuhannya?”
“Begitulah,” sahut Maria sambil tersenyum miris. “Menurutmu bagaimana, Fal? Apa aku harus menerimanya?”
Dengan tegas Falisa menggelengkan kepala. “Tidak. Kau harus menolaknya. Dijadikan sebagai selingkuhan itu sama sekali tidak benar. Walau kau mungkin masih mencintainya, tapi coba pikirkan jika kau berada di posisi pacar pria itu. Kau juga pasti tidak mau, kan, jika pacarmu ternyata menjalin hubungan dengan wanita lain di belakangmu? Kau harus memikirkan itu, Maria. Kita sesama wanita harus saling memahami.” Falisa menjawab demikian dengan menggebu-gebu, memberikan nasihat yang menurutnya benar.
“Kalau kau jadi aku, kau akan menolaknya?”
“Tentu saja,” jawab Falisa tegas dan tanpa keraguan.
“Walau kau sangat mencintai pria itu?”
“Ya, karena dia sudah menjadi milik orang lain. Aku tidak akan pernah merebut atau mengambil milik orang lain. Pria di dunia ini banyak, Maria. Jangan sia-siakan hidupmu dengan bersedia menjadi wanita simpanan pria yang sudah memiliki wanita lain dalam hidupnya.”
Maria mengembuskan napas lelah, dia lalu mengulas senyum. “Kurasa kau benar. Aku hanya akan menyia-nyiakan hidupku jika nekat menjadi wanita simpanan pria itu. Sepertinya aku memang harus belajar melupakan pria itu dan mulai melabuhkan hatiku pada pria lain.”
Falisa mengangguk-anggukan kepala, setuju sepenuhnya dengan perkataan Maria tersebut. “Ya, benar. Kau cantik jadi aku yakin kau akan mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada pria itu.”
“Terima kasih ya, Fal. Sudah kuduga minta pendapatmu memang keputusan terbaik.”
Falisa mengulas senyum, merasa lega karena Maria menuruti sarannya.
“Falisa.”
Spontan baik Falisa maupun Maria menoleh bersamaan pada sang pemilik suara, pada Danish yang baru saja kembali ke ruangan setelah entah pergi ke mana.
“Ya, Danish, ada apa?”
“Kau dipanggil ke ruangan Pak Juan. Bu Viona yang memberitahuku barusan karena tidak sengaja kami berpapasan.”
Bola mata Falisa melebar sempurna seolah siap menggelinding keluar dari kelopaknya. “P-Pak Juan memanggilku ke ruangannya? Mau apa dia?”
Danish mengangkat kedua bahu tanda dia tak mengetahui apa pun. “Entahlah, Bu Viona tidak mengatakan apa pun selain memberitahu bahwa Pak Juan memanggilmu ke ruangannya. Lebih baik kau cepat ke sana, jangan biarkan Pak Juan menunggu lama.”
Danish pergi ke mejanya setelah berkata demikian, sedangkan Falisa kini kebingungan dan takut bukan main.
“Bagaimana ini, Maria? Kenapa Pak Juan memanggilku?”
“Kau tidak ada masalah dengannya, kan?” tanya Maria.
Falisa menggigit bibir bawah, dia memang belum menceritakan masalahnya dengan sang CEO pada siapa pun selain pada Yuuya dan Viona.
“Menurutku lebih baik kau temui saja dulu. Benar yang dikatakan Danish, jangan membuat Pak Juan menunggu lama karena setahu kami dia itu mudah sekali emosi.”
Falisa meneguk ludah, semakin ketakutan setelah mendengar ucapan Maria. Merasa tak memiliki pilihan lain, Falisa pun bangkit berdiri dari duduk. “Baiklah, aku menemui Pak Juan dulu.”
“Ya, semoga semuanya baik-baik saja.”
Sungguh Falisa pun berharap demikian … semoga semuanya baik-baik saja.