Sang CEO Egois Dan Menyebalkan

2246 Words
Falisa salah tingkah di kursinya, dia sedang duduk di mobil Juan, tepat di samping pria itu yang sedang duduk di kursi kemudi. Rencana makan siang Juan dan Qiana sudah selesai. Falisa merasa sangat tersiksa karena sepanjang acara makan siang itu berlangsung, Juan seolah sengaja menjadikannya pelarian atau tameng. Setiap kali Qiana memberikan makanan untuk Juan, meletakan makanan di piring Juan, Juan selalu memberikannya pada Falisa. Memindahkan makanan dari piringnya ke piring Falisa. Falisa tak bisa menolak karena sang CEO yang memberinya makanan itu, tapi di sisi lain dia merasa tak enak hati pada Qiana. Wanita itu pasti tersinggung, tapi Qiana bersikap biasa saja seolah dia baik-baik saja. Kini acara makan siang itu akhirnya berakhir, Falisa lega bukan main. Qiana tak ikut pulang bersama Juan dan Falisa karena beralasan masih ada urusan dengan temannya yang merupakan pemilik restoran itu. Namun, sayangnya perasaan lega itu tak bertahan lama karena kini Falisa kembali terjepit pada keadaan canggung. Dia semula berniat duduk di kursi belakang, tapi Juan menyuruhnya duduk di kursi depan, tepat di sampingnya yang sedang mengemudi sehingga Falisa merasa tak nyaman dan canggung karena duduk di dekat sang CEO. Mobil yang sejak tadi melaju di jalan raya, bergabung dengan kendaraan lain itu sekarang memasuki area pengisian bensin. Di saat mobil berhenti karena sedang pengisian bahan bakar, Falisa merasa ini kesempatannya untuk pindah ke kursi belakang. “Pak, saya pindah ke kursi belakang, ya?” Kening Juan mengernyit dalam mendengar permintaan Falisa tersebut. “Kenapa kau ingin pindah ke kursi belakang?” “Hm, rasanya tidak sopan saya duduk di sini, di samping Anda.” “Lalu kau pikir duduk di belakang lebih sopan?” Juan mendengus seraya tersenyum miring penuh cibiran. “Justru duduk di belakang itu sangat tidak sopan. Apa kau menganggap saya ini sopirmu?” Falisa melebarkan mata karena sungguh dia tidak bermaksud demikian. Dengan cepat dia menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ….” “Kalau begitu kau cukup duduk di kursimu, jangan banyak alasan.” Mulut Falisa yang masih terbuka karena belum menyelesaikan ucapannya itu pun seketika terkatup rapat. Tak lagi bersuara dan mengurungkan niat untuk pindah ke kursi belakang, Falisa kini diam seribu bahasa. Mobil itu kembali melaju dengan keheningan yang melanda. Tak ada suara yang terdengar dan keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. “Di mana rumahmu?” tanya Juan tiba-tiba yang sukses membuat Falisa tersentak, terkejut bukan main karena dia sedang melamun barusan. “Rumah saya?” “Ya, kau tinggal di mana?” “Di apartemen tidak jauh dari kantor, Pak.” Satu alis Juan terangkat naik. Setahu dirinya hanya ada satu apartemen yang letaknya dekat dengan kantornya. Mencoba menerka memang apartemen itu yang dimaksud Falisa, Juan pun mengemudikan mobil menuju apartemen. Setibanya di depan gedung apartemen yang tinggi bak pencakar langit itu, mobil pun berhenti. Di kursinya, Falisa heran bukan main karena Juan membawanya ke apartemen alih-alih kembali ke kantor. “Pak, kenapa kita ke sini?” “Ini apartemenmu? Benar?” Falisa mengangguk. “Ya, benar ini apartemen saya.” “Kenapa kau bisa tinggal di sini padahal apartemen ini khusus untuk karyawan dengan jabatan tinggi di perusahaan?” “Sebenarnya ini apartemen Yuuya, dia yang menyuruh saya menempati apartemen ini.” Kening Juan mengerut begitu Falisa menyebut nama Yuuya. “Yuuya manager divisi purchasing maksudmu?” Falisa kembali mengangguk. “Ya, benar, Pak.” “Kenapa dia menyuruhmu menempati apartemen ini?” “Karena saya kekasihnya,” sahut Falisa dan Juan pun tak lagi bertanya. “Hm, begitu. Kalau begitu kau bisa turun dan istirahat saja di apartemenmu.” Kedua mata Falisa melebar sempurna karena bingung mendengar ucapan Juan tersebut. “Memangnya kita tidak jadi bertemu dengan klien penting itu, Pak? Tadi di depan ibu Qiana, Anda bilang kita akan menemui klien penting?” Juan berdeham, terlihat salah tingkah di kursinya karena pertanyaan Falisa tersebut. “Tidak jadi, pertemuannya diundur,” sahutnya yang terlihat jelas hanya alasan karena Falisa bahkan tak melihat pria itu membuka ponselnya semenjak mereka keluar dari kantor dan selama di restoran. Tak ada seorang pun yang menghubungi atau dihubungi oleh pria itu, Falisa yakin seratus persen karena tak melihat Juan memegang ponselnya selama mereka bersama. “Lalu apa kita tidak kembali ke kantor, Pak?” tanya Falisa lagi karena masih heran Juan membawanya ke apartemen alih-alih kembali ke kantor untuk bekerja karena jam pulang belum tiba. Juan menggelengkan kepala. “Kau tidak perlu kembali ke kantor.” “Benarkah saya tidak perlu kembali ke kantor, Pak? Padahal jam kerja belum selesai?” Juan mendelik tajam, membuat Falisa seketika menundukan kepala karena tahu pertanyaannya membuat sang CEO kesal. “Saya sudah mengatakannya dengan jelas. Kau tidak perlu kembali ke kantor, anggap saja kau baru menjalankan tugas dinas keluar kantor. Sekarang cepat turun dari mobil saya.” Tanpa menunggu jawaban Falisa, Juan turun dari mobilnya. Dia berjalan memasuki gedung apartemen. Falisa bergegas menyusul karena dia merasa tak ada alasan tetap berdiam diri di mobil pria itu. Falisa berlari untuk mengejar Juan yang sudah berjalan jauh di depan sana.. Mereka berdua kini sudah berada di dalam lift. Tak ada orang lain lagi di lift itu selain mereka berdua. Berdiri berjauhan, Juan berdiri angkuh seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sedangkan Falisa hanya berdiri sambil menundukan kepala, tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. “Kau tinggal di apartemen ini, memangnya kau tidak punya rumah?” Falisa tersentak kaget karena Juan yang tiba-tiba mengajaknya bicara. Wanita itu pun mendongak, menatap Juan yang juga sedang menatapnya. “Saya punya rumah, tapi bukan di London. Rumah saya di Castleton. Jauh sekali dari sini.” “Ya, saya tahu daerah itu. Masih daerah pedesaan dengan banyak kebun anggur di sana.” “Betul, Pak. Orang tua saya juga punya perkebunan anggur,” sahut Falisa seraya mengulas senyum. Namun, respons Juan tak seramah wanita itu. Juan mendengus sambil mengulas senyum miring penuh cibiran. “Kalau orang tuamu memiliki perkebunan artinya mereka cukup kaya. Kenapa kau harus repot-repot melamar pekerjaan ke perusahaanku?” Falisa terdiam, jujur pertanyaan Juan itu membuatnya tersinggung seolah pria itu tak suka karena Falisa bekerja di perusahaannya. “Tentu saja karena saya membutuhkan uang. Orang tua saya terlilit hutang karena perkebunan kami pernah terkena hama, saya bekerja untuk membantu orang tua saya membayar hutang tersebut.” Juan kembali mendengus, dia membuang muka ke arah lain seolah tak tertarik lagi berbincang dengan Falisa. Falisa juga mengatupkan mulut, merasa tak ada lagi yang perlu dia bicarakan dengan pria di sampingnya. Hingga lift pun akhirnya berhenti di lantai di mana apartemen Falisa berada. Falisa keluar dari lift, dan dia heran bukan main karena melihat Juan pun ikut keluar dari lift bersamanya. “Kenapa Anda berhenti di sini juga, Pak? Apa Anda berniat mampir ke apartemen saya?” tanya Falisa yang memiliki pemikiran seperti itu. Satu alis Juan terangkat naik. “Siapa yang akan mampir ke apartemenmu? Saya berhenti di sini karena apartemen saya juga ada di lantai ini.” Detik itu juga Falisa melebarkan mata, terkejut tentu saja. “Apartemen Anda ada di lantai ini?” “Ya,” sahut Juan seraya melangkah pergi mendahului Falisa yang masih berdiri membeku di tempat. “Kenapa bisa apartemen Pak Juan juga ada di sini? Menyebalkan sekali,” gumam Falisa, tentu dalam hati karena dia tak mungkin berani mengatakan itu dengan suara keras. “Hei, kenapa malah diam di situ?” Falisa yang sedang menundukan kepala itu pun spontan mengangkat kepala begitu mendengar Juan bertanya padanya. “Cepat ke sini, saya tidak suka menunggu lama.” “Hah? Apa maksudnya, Pak?” “Sudah cepat, kau ikut saja dengan saya.” Falisa mulai merasakan kejanggalan di sini, kenapa pula Juan menyuruhnya untuk ikut bersamanya? Sebenarnya Falisa enggan menurut, tapi mengingat yang memberikan perintah itu bukan orang sembarangan melainkan bosnya, Falisa pun dengan terpaksa mengikuti keinginan pria itu. Dia berjalan mengikuti Juan yang entah akan mengajaknya ke mana. Langkah mereka terhenti begitu tiba di depan pintu apartemen dengan nomor 207 di mana hanya terhalang dua apartemen dengan apartemen Falisa yang bernomor 205. “Pak, kenapa kita ke sini? Apartemen saya di sebelah sana.” Falisa menunjuk apartemen miliknya. “Karena ini apartemen saya.” “Maksud saya, kenapa saya harus ikut masuk ke apartemen Anda?” “Sudah, jangan banyak bertanya. Sebentar lagi juga kau akan tahu.” Juan pun membuka pintu selebar mungkin, memberikan akses untuk Falisa agar masuk ke apartemennya. “Ayo masuk,” ajak Juan. Tentu saja Falisa ragu, berbagai pemikiran buruk kini menari-nari dalam pikirannya. Dia tak ingin masuk ke dalam, tapi menolak pun dia tak berani karena khawatir berimbas dirinya akan dipecat dari pekerjaannya padahal dia sangat membutuhkan pekerjaan itu. “Tunggu apa lagi? Ayo cepat masuk.” Mungkin karena Falisa yang tidak menurut dan malah berdiri mematung di tempat, Juan kembali menyuruh hal demikian, hingga akhirnya Falisa merasa tak memiliki pilihan lain. Dengan berat hati dia melangkah melewati pintu yang sedang dibuka Juan. Wanita itu menggulirkan bola matanya ke sekeliling begitu berada di dalam apartemen itu. “Seperti yang kau lihat apartemen ini sangat kotor, jadi saya minta kau bersihkan apartemen ini sampai bersih dan rapi.” Falisa melongo, tak menyangka inilah alasan Juan menyuruhnya ikut ke apartemennya. Hei, Falisa tentu saja keberatan karena dia tak merasa bekerja sebagai pelayan pria itu. “Sudah lama tidak ada yang membersihkan apartemen ini. Kau sapu lantainya hingga bersih, lalu lap kaca jendela sampai mengkilap. Jangan lupa semua barang-barang di apartemen ini juga kau lap karena sudah banyak debu yang menempel. Kau mengerti kan dengan tugasmu ini?” Falisa menggelengkan kepala, Juan benar-benar menganggapnya sebagai asisten rumah tangga alih-alih karyawannya di perusahaan. “Maaf Pak Juan, saya tidak bisa …” “Kenapa? Kau ingin menolak perintahku?” potong Juan padahal Falisa belum menyelesaikan ucapannya. “Saya sudah memberimu kelonggaran makanya kau bisa pulang cepat hari ini, sebagai gantinya saya minta tolong kau bersihkan apartemen ini karena saya ingin beristirahat di sini. Dan lagi jika kau ingin bertanggungjawab pada jas mahal saya yang kau tumpahi teh, saya baru akan memaafkanmu kalau kau menggantinya dengan membersihkan apartemen ini.” “Jas Anda sudah saya bersihkan, Pak.” Juan meletakan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri, memberi isyarat pada Falisa agar tidak membantahnya. “Saya tidak akan terkesan dan sama sekali tidak memintamu untuk mencuci jas saya, yang saya minta kau bersihkan apartemen ini dengan begitu saya anggap masalah kecerobohanmu yang menumpahkan teh ke jas saya berakhir sampai di sini.” Walau Juan berkata demikian, Falisa tetap enggan jika dirinya disamakan dengan asisten rumah tangga. “Maaf, Pak. Tapi saya ….” “Kalau kau menolak artinya kau sudah siap angkat kaki dari perusahaan saya. Silakan saja pilih padahal kau bilang tadi sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Falisa akhirnya tak berkutik karena Juan memaksakan kehendaknya dengan cara mengancamnya seperti itu. Falisa pun mengalah, dengan terpaksa dia harus menuruti keinginan Juan. “Baiklah, Pak. Akan saya lakukan seperti yang Anda perintahkan.” “Bagus. Kalau begitu saya istirahat dulu di kamar. Jangan ganggu saya karena saya lelah sekali.” Falisa tak mengatakan apa pun, membiarkan Juan melakukan apa pun yang dia inginkan. Falisa hanya memeletkan lidahnya sebagai bentuk ejekan ketika melihat punggung Juan yang menjauh hingga hilang begitu melewati pintu kamarnya. Bola mata Falisa bergulir sekali lagi menatap apartemen Juan yang kondisinya memang kotor, banyak debu di mana-mana. “Huh, kenapa harus aku yang dia suruh memberihkan apartemen ini? Menyebalkan,” gerutunya, tak peduli walau di dalam kamar mungkin Juan mendengarnya. Tak ingin berlama-lama di apartemen itu, Falisa pun mulai mengerjakan tugasnya. Dimulai dengan mengelap kaca jendela hingga mengkilap seperti yang diminta Juan, membersihkan barang-barang di apartemen itu dengan mengelapnya, Falisa lalu menyapu semua ruangan di apartemen itu, tentu saja pengecualian kamar Juan karena Falisa tak mungkin masuk ke kamar seorang pria. Terlebih dia ingat pesan Juan yang tidak ingin diganggu. Terakhir Falisa mengepel lantai hingga benar-benar bersih. Falisa duduk lunglai di lantai begitu dia selesai melakukan tugasnya. Peluh bercucuran di pelipis dan juga punggungnya, dia benar-benar kelelahan. Jika dihitung menghabiskan waktu hampir dua jam sampai dia berhasil menyelesaikan semua tugasnya. “Hah, selesai. Aku pulang dulu.” Falisa bangkit berdiri, berniat berjalan menuju pintu keluar, dia akan pergi dari apartemen itu tanpa berpamitan pada pemiliknya, sekali lagi alasannya karena dia tak mau mengganggu Juan yang sedang beristirahat. Naasnya Falisa mendengar suara derit pintu yang terbuka, begitu menoleh ke sumber suara, kini terlihat sosok Juan keluar dari kamarnya. “Kau sudah selesai?” tanya pria itu santai, tak merasa bersalah walau sudah membuat Falisa kelelahan hingga nyaris pingsan. “Sudah, Pak. Bisa Anda periksa sendiri, semua sudah saya bersihkan seperti yang Anda perintahkan.” “Lalu dapur? Apa kau sudah membersihkannya juga?” Falisa diam seribu bahasa, dia juga meneguk ludah karena baru ingat dia belum membersihkan dapur. “Bagaimana? Dapur sudah kau bersihkan juga?” “Belum, Pak. Saya pikir tidak perlu membersihkan dapur.” Juan berdecak. “Tentu saja dapur juga harus kau bersihkan. Ya sudah sana, sekarang kau bersihkan dapur dulu baru setelah itu kau boleh pulang ke apartemenmu.” Jika boleh jujur rasanya Falisa ingin menonjok wajah Juan yang arogan itu, tapi tentu saja tak mungkin dia berani melakukannya. Lagi dan lagi wanita malang itu hanya bisa pasrah, menuruti perintah sang bos. Dengan langkah gontai, Falisa berjalan menuju dapur. Detik berikutnya kedua mata Falisa terbelalak … kondisi dapur bagai kapal pecah, sangat kotor dan berantakan. Falisa menjambak rambutnya sendiri, mulai frustrasi menghadapi sang CEO yang egois dan menyebalkan itu. “Aaaaaaahh, kenapa aku harus berurusan dengan CEO sialan itu!” teriak Falisa dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD