Seperti biasa, begitu sampai di kantor Chesa masuk ke dalam ruangan Dafa untuk merapikan meja kerjanya dan menyiapkan air putih hangat untuk atasannya. Seminggu sudah Alvin mengambil cuti dan belum ada tanda-tanda pria itu akan kembali. Seminggu sudah Chesa kelabakan dengan pekerjaannya.
Tidak lama, pintu ruangan Dafa terbuka menampakkan si empunya ruangan. Chesa terkejut lalu segera memberi salam.
“Selamat pagi, Pak” sapanya dengan ramah dan sopan.
“Pagi” jawab Dafa.
Chesa membelalakkan matanya, ia tidak menyangka untuk pertama kalinya Dafa membalas ucapan salamnya.
Dafa duduk di kursi kerjanya sambil memperhatikan Chesa yang berdiri dengan wajah bingung. Namun ada hal yang lebih menarik perhatian Dafa, yaitu Chesa mengenakan lipstik warna merah. Biasanya Chesa hanya mengenakan lipstik berwarna nude namun masih tetap terlihat cantik.
“Aku ini kenapa jadi perhatian dengan penampilan Chesa” pikirnya.
“Kamu kenapa diam?” tanya Dafa untuk mengalihkan pikirannya.
Chesa terkesiap, “Ah, nggak kenapa-kenapa kok Pak”
“Lalu kenapa tetap beridiri di situ?”
“Maaf, Pak saya keluar sekarang” jawab Chesa gugup. Ia segera melangkah untuk keluar dari ruangan Dafa.
“Buatkan saya kopi” suara berat khas dari Dafa membuat Chesa menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan agar berhadapan dengan Dafa.
“Apa Bapak tidak mau mencoba menggantinya dengan teh?” entah dari mana datang keberanian Chesa memberi tawarang kepada CEOnya. Mencoba mengganti kebiasaan Dafa yang seharusnya tidak bisa di lakukan oleh bawahannya.
Dafa menaikan satu alisnya, “Kamu mau membuat saya berhenti minum kopi?” tanya Dafa dengan tatapan tajam.
Chesa berusaha tidak gentar, sudah terlanjur basah jadi sekalian saja, “Bisa di angkap iya, tapi itupun kalau Bapak mau mencoba”
“Tidak untuk sekarang, Chesa. Tolong jangan tawar menawar dengan saya” ucap Dafa dengan tegas.
“Baik, Pak” jawab Chesa.
“Ya sudah kalau nggak mau, padahal kan ini demi dia juga” gurutu Chesa dalam hati.
= = = =
Chesa mengamati wajah Dafa yang pucat. Sejak pagi bosnya itu terlihat kurang sehat namun enggan untuk bertanya. Chesa melanggar aturan yang sudah Alvin katakan padanya di awal. Tidak menanyakan hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Tapi sayang, mulutnya ini begitu lancang mengomentari rambut Dafa yang terlihat panjang. Pria itu langsung membentaknya hingga membuat Chesa tidak ingin peduli lagi dengan Dafa kecuali urusan pekerjaan.
Ke tiga kalinya Chesa masuk ke ruangan Dafa, ia tidak bisa mengabaikan pria itu. Wajahnya pucat dan keringat dingin nampak mengucur dari keningnya.
“Maaf sebelumnya kalau saya lancang. Pak Dafa kenapa pucat sekali? Bapak sakit?” tanya Chesa hati-hati. Jaga-jaga kalau saja pia itu mendampratnya lagi.
“Chesa..” panggil Dafa dengan suara lemah.
Chesa menghampiri Dafa, “Iya, Pak. Sepertinya Bapak tidak sehat, apa ada yang sakit?”
“Tolong pergi ke apotek, belikan saya obat maag”
“Bapak maag? Kenapa tadi minum kopi?”
Kekhawatiran Chesa justru membuat Dafa kesal, “Saya sedang sakit kenapa kamu banyak omong, Chesa” suara ketus Dafa membuat Chesa mendengus kesal.
“Saya belikan Bapak obat dulu” ucap Chesa dengan wajah menahan kesal.
= = = =
Saat Chesa membuatkan Dafa kopi di pantry, ponsel yang di letakkan di saku blazernya berdering. Chesa segera merogohnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
“Mama...” Chesa terkejut karena tidak biasa mamanya menghubungi di waktu ia bekerja.
Chesa segera menerima panggilan takut jika ini menyangkut hal yang penting.
“Halo, Ma” sapa Chesa.
“Chesa...” suara pelan dan bergetar terdengar oleh telinga Chesa.
“Mama kenapa? Kok suaranya kayak lagi nangis?”
“Chesa, maafin mama hubungi kamu di jam kerja. Ghea, adik kamu..” Nara tidak sanggup meneruskan kalimatnya dan tidak bisa membendung tangisnya.
Deg!
Seketika Chesa di landa perasaan tidak enak. Pasti sesuatu yang buruk sudah terjadi. Tangisan Nara saat menyebut nama adiknya cukup menjadi alasan tentang asumsinya itu.
“Ma, bilang sama Chesa sekarang. Ghea kenapa, Ma?” tanya Chesa dengan wajah panik. Bahkan ia tidak peduli kopi yang di buat untuk Dafa berubah dingin.
“Ghea di tabrak mobil waktu berangkat ke kampus naik motor. Sekarang dia lagi di rumah sakit dan tidak sadarkan diri”
Tubuh Chesa merosot ke bawah, dadanya terasa sesak dan matanya tidak bisa membendung air mata yang seketika mendesak untuk keluar. Tangannya bergetar sambil memegang ponsel yang masih terhubung dengan mamanya. Bingung, itulah yang Chesa rasakan saat ini.
“Chesa, kamu baik-baik saja?” tanya Nara saat putrinya tidak menanggapi ucapannya.
Chesa menyeka air matanya, “Ma, papa ada di mana?”
“Ada di sebelah mama. Kenapa?” suara Nara masih bergetar.
“Tolong kasih ponselnya ke Papa, Chesa mau bicara” saat ini Cakro yang paling bisa di minta penjelasan oleh Chesa. Nara terlalu panik hingga membuat Chesa tidak tahan karena ikut panik.
“Halo Chesa..” suara Cakra terdengar lebih tenang.
“Pa, gimana keadaan Ghea? Kenapa bisa di tabrak mobil, Pa?” cecar Chesa dengan nada begitu panik dan sedih.
“Tenang, Chesa. Kamu jangan ikut panik seperti Mama kamu. Orang yang menabrak Ghea tidak melihat adik kamu menyakalan lampu sen ke kanan. Kemudian Ghea di tabrak dari belakang hingga terpental. Ghea belum sadarkan diri mungkin masih pingsan karena terkejut dan setelah di lakukan Rogtgen tangannya mengalami patah tulang dan harus di operasi”
Chesa kembali menitikan air matanya, bahkan ia mengigit bibir bawah agar tidak mengeluarkan suara saat menangis.
“Jam berapa Chesa di operasi, Pa”
“Masih menunggu jadwal, kemungkinan sore ini Chesa. Tapi dokter masih menunggu Ghea sadar dalu baru di ambil tindakan”
“Selain patah tulang, Ghea nggak ada luka lain kan, Pa?”
“Hanya luka lecet di kaki dan tangannya. Untuk wajahnya tidak sampai luka, hanya keningnya mengalami luka robek dan sudah di tangani”
Chesa bisa sedikit bernapas lega karena adiknya masih selamat. Walaupun harus mengalami patah tulang dan luka lain pada tubuhnya.
“Pa, Chesa belum tahu bisa pulang ke Bandung kapan. Chesa tidak mungkin meninggalkan pekerjaan mendadak”
“Jangan khawatir Chesa, doakan saja semoga Ghea bisa melewati masa sulit dan operasinya nanti bisa berjalan lancar”
“Bagaimana dengan biayanya, Pa?” tentu Chesa tidak akan lupa dengan hal paling penting yang selalu jadi momok menakutkan bagi Chesa. Hidup sebagai keluarga sederhana, tidak serta merta membuat Chesa bisa santai jika menyangkut masalah uang.
“Papa akan usahakan, Chesa. Kamu jangan pikirkan itu. sebaiknya kamu lanjutkan bekerja, biar Ghea jadi urusan Papa dan Mama”
“Iya, Pa. Kalau ada hal penting tolong hubungi Chesa”
“Iya, nak”
Chesa segera menghapus air matanya. Ia tidak ingin Dafa memergokinya dengan keadaan sangat kacau. Chesa kembali berdiri, dan merapikan pakaian serta membersihkan celananya yang sedikit kotor.
“Mimpi apa aku semalam harus dengan berita buruk seperti ini. Ghea, kamu harus kuat” gumam Chesa dan hampir membuatnya menangis kembali.
“Chesa, kamu sedang buat kopi apa tidur di ruang pantry?” suara Dafa membuat Chesa terkesiap. Pria itu ternyata menyusul Chesa ke pantry karena sekretarisnya tak kunjung datang.
Chesa membalik badannya dan menatap Dafa dengan ragu, “Maaf, Pak. Saya bawakan kopinya sekarang”
Dafa mengerutkan kening, matanya menyelidik ke wajah Chesa, “Kamu kenapa?”
“Maksud Bapak?”
Dafa mendekati Chesa lalu sedikit membungkuk agar bisa mengamati wajah Chesa lebih dekat. Sikap Dafa yang tiba-tiba justru membuat Chesa memundurkan tubuhnya.
“Bapak mau apa?” gumma Chesa namun terdengar jelas di telinga Dafa.
“Wajah kemu kenapa? Habis cuci muka atau kamu habis menangis?” tanya Dafa penih selidik.
Chesa menundukkan wajahnya, “Saya nggak kenapa-kenapa kok Pak”
Sikap Dafa semakin menjadi-jadi, kini tangannya menyentuh dagu sekretarisnya agar menatapnya, “Jangan pernah berbohong kepada saya. Saya benci dengan seorang pembohong” kata pedas Dafa seakan pikiran Chesa terhadap Ghea menguap.
Chesa terdiam, bagaimana bisa ia bisa menjawab pertanyaan Dafa saat posisi pria itu begitu dekat dengannya. Bahkan Chesa bisa merasakan hembusan napas dari pria bertubuh tegap ini.
Chesa segera melepaskan tangan Dafa yang masih menyentuh dagunya, “Saya tidak apa-apa, Pak. Jadi jangan paksa saya untuk jujur”
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*