Dafa dan Chesa kembali ke ruangan setelah menyelesaikan meeting yang cukup lama, bahkan Chesa harus menghubungi kepala cabang untuk menunggu terlebih dahulu agar Dafa bisa istirahat makan siang.
“Bapak mau makan apa? Biar saya pesankan” tanya Chesa begitu masuk ke ruangan Dafa.
Dafa menyandarkan tubuhnya, bahkan dasi yang ia gunakan sudah di longgarkan. Lagi-lagi Chesa menangkap raut wajah lelah Dafa. Bahkan sepanjang meeting tadi, pria itu lebih banyak menjadi pendengar dan sedikit menanggapi. Ingin rasanya Chesa bertanya tapi ia berpikir kalau ia tidak memiliki hak untuk itu. Tapi hati kecilnya justru menuntut untuk mencari tahu.
“Sepertinya saya tidak ingin makan siang” gumamnya.
Chesa mengernyitkan alisnya, “Kenapa begitu, Pak? Kalau Bapak tidak makan, nanti Bapak sakit”
“Kamu seperti seorang ibu yang sedang menasihati anaknya” ujar Dafa datar.
Chesa tertunduk kaku, “Maaf kalau saya lancang, Pak”
Dafa tersenyum samar, “Kenapa minta maaf, memang kamu buat kesalahan?”
“Karena saya seperti menasihati, Bapak”
“Kenapa lagi-lagi kamu peduli dengan kesehatan saya?”
Chesa yang bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Kenapa juga ia harus peduli dengan atasannya. Toh CEO perusahaan ini kalau sakit tidak akan mengalami kesusahan seperti dirinya.
“Bukankah dengan sesama kita di haruskan untuk saling peduli ya, Pak?”
“Benar juga, kenapa saya harus menanyakan hal yang bisa di lakukan oleh semua orang, kecuali...” Dafa menggantung ucapannya.
“Kecuali apa, Pak?”
“Bukan apa-apa. Kamu sendiri tidak makan siang?”
“Makan kok, Pak”
“Mau makan di mana?”
“Saya bawa bekal, mungkin saya makan di ruang panrty”
Kini Dafa yang mengernyit heran, “Kamu bawa bekal makan siang?”
Chesa mengangguk, “Selama ini saya selalu membawa bekal makan siang”
“Kenapa? Bukankah di sini ada kantin karyawan?”
“Karena saya suka masak, lebih hemat uang juga dan lebih sehat tentunya”
Dafa mengangguk pelan, “Lalu hari ini kamu membawa bekal apa?” tiba-tiba Dafa sedikit tertarik.
Chesa agak ragu menyebutkan menu makan siang yang pastinya sederhana dan tidak mewah, “Saya tumis sayur dan ayam goreng sambal ijo” jawabnya pelan.
“Oh...”
“Bapak mau coba?” spontan saja Chesa menawarkan makan siangnya kepada Dafa.
“Tidak usah, kamu makan sendiri saja”
“Tenang, makanan saya bersih kok. Tidak akan membuat Bapak sakit perut”
Dafa terkekeh geli, “Sepertinya kamu ingin saya menilai masakan kamu. Baiklah, saya akan mencobanya” entah dari mana datang sifat Dafa yang sedikit melunak terhadap Chesa.
Chesa tersenyum senang mendapat respon baik dari Dafa. Walaupun ia tidak yakin Dafa suka dengan masakannya, setidaknya pria ini mau makan siang agar tidak sakit.
Tidak lama, Chesa sudah selesai menata makan siangnya yang ia tempatkan pada kotak bekal. Lengkap ada sayur, daging serta nasi merah. Tidak lupa tambahan dua buah jeruk medan. Walaupun porsinya tidak banyak tapi rasanya cukup jika di makan oleh Dafa dan dirinya.
Dafa menatap heran dengan makanan yang Chesa bawa. Bukan ia tidak suka tapi tidak menyangka kalau sekretarisnya mampu menyiapkan makanan padahal berangkat kerja cukup pagi.
“Jam berapa kamu bangun dan menyiapkan makanan ini?” tanya Dafa mengalihkan padangan pada Chesa yang duduk di sofa single di sebelahnya.
“Saya bangun jam setengah empat, Pak”
“Jangan bohong kamu” Dafa berdesis tidak percaya.
Chesa mengerutkan dahinya, “Kenapa saya harus berbohong?”
“Biar saya beranggapan kamu ini wanita rajin”
Chesa menahan senyum, “Saya tidak berharap Bapak menilai saya orang yang rajin”
“Baiklah, anggap saja saya percaya kamu bangun pagi”
“Terima kasih, Pak”
“Untuk apa?”
“Karena Bapak mau percaya” jawabnya santai.
Dafa menghela napas, “Lelah juga saya berdebat dengan kamu”
“Lebih baik sekarang Bapak cicipi makanan saya. Kalau mau ambil banyak tidak masalah, makanan ini cukup untuk Bapak dan saya”
Chesa mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, ayam dan sayur lalu meletakkan di hadapan Dafa, “Silakan, Pak Dafa”
Dafa mulai mencicipi ayam sambal ijo buatan Chesa. Tidak cukup satu gigitan, Dafa bahkan mencobanya dua kali. Ekspresi wajahnya tidak bisa di baca oleh Chesa.
“Bagaimana Pak, enak atau tidak?” tanya Chesa penasaran. Selama ini ia Aiden dan Sita selalu memuji hasil dari masakan Chesa. Jika kali ini Dafa mengatakan tidak enak, berarti ada yang salah dengan lidah pria itu.
“Lumayan mengobati saya dengan masakan rumah” jawabnya santai.
Chasa tersenyum lebar, “Kalau begitu selamat makan”
Keduanya menikmati makan siang dengan pikiran masing-masing. Dafa tidak mengatakan apapun karena saat makan di larang untuk ngobrol. Begitu juga dengan Chesa, mana mungkin saat makan ia melakukan sesi wawancara apalagi yang hadapi sekarang adalah atasannya.
Chesa lebih dulu selesai makan, kemudian berinisiatif membukakan Dafa satu buah jeruk dan ia letakkan di atas piring kecil.
“Rasanya seperti melayani suami” batinnya yang tanpa sengaja membuat dirinya tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum? Apa ada yang lucu?”
Chesa tersentak, “ Ah bukan begitu, Pak. Tidak ada yang lucu, saya juga tidak sadar kalau tersenyum”
Pria itu mendengus geli, “Kamu ini memang aneh. Masa tidak sadar kalau sedang senyum”
“Silakan di makan buahnya, Pak. Maaf saya cuma bawa buah jeruk”
“Terima kasih kamu mau berbagi makan siangmu kepada saya” ucap Dafa dengan tulus. Pria itu juga menatap Chesa dengan lekat. Entah kenapa Chesa begitu membuatnya kagum.
Chesa tersenyum malu, “Sama-sama, Pak. Saya juga senang karena hasil masakan saya bisa di cicipi seorang CEO seperti Bapak” balas Chesa sungguh.
Diam-diam Dafa memperhatikan Chesa dengan serius. Wajahnya memang tidak lebih cantik dari Ribka, istrinya sendiri tapi sikapnya jauh lebih hangat dari wanita itu. tindakan kecil yang di lakukan Chesa justru membuat Dafa tersentuh.
“Gadis ini bahkan rela membagi bekal makan siangnya untukku. Sesederhana ini sikapnya tapi justru membuatku semakin kagum. Beruntungnya pria yang akan menjadi pendampingnya nanti” pikir Dafa.
Chesa memberanikan diri menoleh ke arah Dafa dan saat itu keduanya beradu pandang. Dafa terkejut dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sedangkan Chesa merasa jantungnya berdegub kencang saat tertangkap basah oleh mata Dafa.
“Kalau begitu saya bereskan ini dulu, Pak. Beberapa menit lagi Bapak harus menemui kepala cabang di ruang meeting” ucap Chesa tanpa berani menatap Dafa.
Dafa hanya mengangguk namun kembali menatap kepergian Chesa keluar dari ruangannya. Seeperti biasa style sekretarisnya celana kain hitam, kemeja dan blazer dan rambut hitam tergerai.
“Kenapa aku jadi mekirin Chesa terus? Dari segi penampilan dia seperti bukan seorang sekretaris. Kenapa selalu mengenakan celana, kenapa tidak seperti Lina, Nanda atau sekretarisku sebelumnya?”
Dafa tidak habis pikir kenapa ia harus terganggu dengan penampilan Chesa. Padahal selama ini ia tidak pernah peduli, asal rapi dan hasil pekerjaannya baik serta bertanggung jawab, Dafa selalu puas.
Sementara itu, Chesa yang sedang mencuci peralatan makan di pantry beberapa kali menarik napas lalu menghembuskan perlahan. Setelah keluar dari ruangan Dafa, rasanya ia bisa bernapas dengan lega.
“Gila, aku ini kenapa ya? Ini udah ke dua kalinya aku kepergok sama Pak Dafa. Duh malu banget sih aku ketahuan ngelirik dia” Chesa menghentakkan kakinya karena frustasi dengan sikapnya sendiri.
“Oke..oke, tenang Chesa. Lain kali mata kamu harus di kontrol karena sejak bekerja dengan Pak Dafa mata kamu jadi nakal begini. Berani lirik-lirik suami orang, parah banget kamu ini Chesa”
“Kenapa kamu bicara sendiri?” suara Dafa membuat Chesa terkejut.
Chesa menoleh ke belakang, “Astaga, Bapak. Kenapa tiba-tiba berdiri di belakang saya?”
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Dafa tanpa merasa bersalah.
Chesa mendengus kesal, “Bapak bikin saya kaget”
“Saya mau ambil air minum”
“Kenapa tidak minta saya yang bawakan?”
“Saya telpon kamu, tapi tidak ada jawaban”
“Oh iya, saya kan ada di sini. Maaf ya Pak, biar saya ambilkan dan saya antar ke ruangan Bapak”
“Jangan lama-lama” titah Dafa.
“Iya, Pak”
Setelah Dafa pergi, Chesa tidak bisa menahan kesal karena Dafa membuatnya terkejut. Bukan hal penting tapi ia takut jika ucapannya tadi di dengar oleh Dafa.
“Ah biar saja Pak Dafa dengar atau tidak. Pura-pura nggak tahu aja” ucap Chesa pelan.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*