8. SIKAP 'BOCIL'

1228 Words
Dafa mendengus kesal dengan sikap aneh Chesa. Bagaimana ia bisa percaya sedangkan ia dengan jelas melihat wajah gadis itu berair dan nampak merah. Dafa tidak bodoh, jelas-jelas Chesa menampakkan wajah habis menangis. Dafa berdesis kesal dengan tatapan mata yang nyari menunjuk jantung Chesa, “Percuma kamu menyembunyikannya dari saya, karena saya tahu kamu pasti habis menangis” Setelah mengatakan itu, Dafa memilih meninggalkan Chesa yang terlihat mematung karena ucapannya. Ada banyak hal yang sudah membebani pikirannya dan Dafa tidak berniat menambah dengan peduli terhadap Chesa. Gadis itu sendiri juga tidak ingin jujur, kenapa Dafa harus ambil pusing. Chesa bernapas lega karena Dafa sudah pergi walaupun dengan wajah kesal. Chesa tidak ingin terpancing, saat ini keadaan Ghea lebih penting. Ia benar-benar cemas dan ingin sekali segera ke Bandung. Tapi ia tidak mungkin bisa melakukan itu mengingat pekerjaannya yang tidak bisa di alihkan kepada orang lain. Andai Alvin ada, tentu Chesa bisa meminta izin barang sehari saja agar bisa tahu kondisi adiknya secara langsung. Dafa nampak kusut setelah melakukan meeting dengan salah calon satu investor. Awalnya berjalan normal sampai ucapan investor tersebut membuat Dafa tersinggung. Kesepakatan yang tidak bisa di penuhi Dafa justru membuatnya mendapat pandangan remeh kalau Dafa tidak bisa menjadi CEO dari Big D. Dafa menghempaskan tubuhnya di kursi kerja. Chesa yang ikut masuk untuk membawa berkas, tidak menampakkan wajah takut atau terkejut. “Chesa saya mau kopi” permintaan Dafa terdengar seperti seorang majikan kepada pembantu. Wajah Chesa datar, tidak ada rasa kesal atau ingin menanggapi dengan emosi, “Iya Pak, saya akan buatkan” jawab Chesa. Dafa menaikkan alisnya, “Chesa, sebenarnya kamu ini ada masalah apa?” “Maksud Bapak?” tanya Chesa bodoh. Dafa mendesah kasar, “Sejak tadi pagi sampai siang ini, wajah kamu seperti tidak ada semangat untuk bekerja. Saya sudah kesal dengan klien tadi jangan menambah kekesalan saya dengan wajah merengut kamu yang tidak jelas” Dafa begitu emosi mengatakan hal ini. “Tapi saya...” “Kalau kamu tidak bisa profesional dalam bekerja, saya akan...” “Bapak akan memotong gaji saya kan? Atau Bapak mau pecat saya?” tanya Chesa putus asa. Dafa langsung berdiri, “Bagus kalau kamu tahu maksud saya” Tiba-tiba Chesa tertunduk, air matanya tidak bisa di tahan lagi. Situasi ini membuat Chesa tidak bisa berpikir dengan baik. Bukannya tidak profesional, tapi bayangan Ghea terus menghantuinya. Dafa memperhatikan tubuh Chesa yang bergetar. Perlahan ia mendekati Chesa yang masih berdiri di depan meja kerjanya. “Kamu kenapa?” tanya Dafa. Chesa menggeleng, tangannya berusaha menghapus air matanya. “Saya tidak apa-apa Pak” Dafa tidak puas dengan ucapan Chesa, tangannya nyentuh dagu agar gadis itu tidak menunduk. Benar tebakan Dafa, sekretarisnya kini sedang menangis. “Kenapa menangis? Apa ucapan saya melukai perasaan kamu?” tanya Dafa kembali. Jelas ini bukan pertama kalinya ia memarahi atau mengancam Chesa. Selama itu pula, Chesa tidak pernah marah bahkan sampai menangis. Tentu saja Dafa sedikit heran dengan reaksi Chesa saat ini. “Tidak, Pak” jawab Chesa terbata-bata. Dafa memegang pundak Chesa, “Chesa jangan buat saya semakin gila dengan sikap kamu. Jelaskan kepada saya sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kamu menangis?” Chesa menatap mata Dafa yang menuntut penjelasan kepadanya, Chesa menyerah dan ia tidak bisa menyembunyikan soal kejadian yang menimpa Ghea. “Adik saya kecelakaan tadi pagi dan sore ini harus menjalani operasi, Pak. Maaf kalau sikap saya ini seperti anak kecil dan maaf kalau saya tidak bisa menjadi sekretaris yang profesional” Seketika Dafa di landa rasa bersalah. Ingatannya kembali saat ia bicara dengan Chesa di panrty. Bahkan ia sempat berpikir tidak peduli dengan masalah yang di alami Chesa. Belum lagi ia mengajak gadis ini bertemu dengan klien dan lalu menjadikannya sebagai bahan pelampiasan rasa kesal. Dimana hati nurani Dafa? Di mana rasa peduli yang selama ini selalu orang tuanya ajarkan. Bukankah Dafa yang sebenarnya tidak profesional karena pertengkarannya dengan Ribka membuat dirinya uring-uringan sejak tadi pagi. “Kenapa kamu tidak bilang dari tadi, Chesa?” tanya Dafa dengan nada lembut. Bahkan tangannya kini memegang kedua lengan Chesa. “Buat apa, Pak? Ini masalah keluarga saya” “Tapi kan konsentrasi kamu jadi terganggu” “Maaf” ucapnya sendu. “Lalu kenapa kamu masih di sini?” “Maksud Bapak?” “Harusnya kamu menemui adik kamu bukan malah kerja” “Mana bisa begitu, Pak. Kalau saya pergi, pekerjaan saya bagaimana? Terus siapa nanti yang ngurus Bapak?” Tiba-tiba Dafa tersenyum geli mendengar hal konyol yang di katakan Chesa, “Kamu pikir saya ini bayi yang perlu kamu urus” Chesa menggeleng, “Tapi nanti kalau Bapak mau kopi siapa yang buatin” Lagi-lagi Dafa tergelak mendengar jawaban nyeleneh Chesa, “Kan kamu sendiri yang bilang kalau saya harus mengurangi kopi” “Nanti Bapak malah potong gaji atau pecat saya” Dafa menjawih hidung Chesa, “Kamu ini ya, masak atasan sendiri yang kasih izin pergi tetap nggak percaya” “Jadi saya di izinin pulang, Pak?” “Tentu..” “Berapa lama saya boleh izin?” “Terserah kamu” “Terus pekerjaan saya bagaimana?” “Chesa, kamu pergi sekarang atau saya berubah pikiran?” “Iy...iyaa, Pak. Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih sudah kasih saya ijin” ucap Chesa dengan wajah sungguh-sungguh. Dafa tersenyum tipis melihat tingkah Chesa, “Cuma kamu yang berani secerewet ini dengan saya” Sebelum pergi, Chesa membuat catatan yang akan di berikan kepada Dafa tentang jadwal dan berkas apa saja yang harus segera di tanda tangani. Sebelum menyerahkan cacatan tersebut, Chesa merapikan meja kerja dan mematikan komputernya. Semua sudah beres, lalu Chesa segera masuk ke ruangan Dafa membawa catatan yang sudah di ketik rapi kepada Dafa. Dafa terkejut melihat pintu di buka oleh Chesa, “Loh, kamu belum pulang?” “Ini mau pulang, Pak. Saya mau menyerahkan catatan penting untuk Bapak, isinya jadwal dan berkas yang perlu Bapak tanda tangani segera” Chesa menyerahkan map kepada Dafa. “Kamu pulang ke Bandung naik apa?” “Sepertinya naik trevel, Pak. Kalau begitu saya permisi ya, Pak” “Eh tunggu dulu” “Iya, Pak?” “Biar saya yang mengantar kamu pulang ke Bandung” Chesa mengerjapkan matanya beberapa kali, “Bapak mau ke Bandung? Sama saya?” “Iya sama siapa lagi?” “Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri kok” “Jangan membantah. Atau kamu tidak boleh pergi” Chesa tidak percaya dengan ancaman Dafa. Bagaimana bisa pikirannya berubah secepat ini saat keinginannya tidak di turuti. Kenapa sikap Dafa tidak mencerminkan seorang CEO yang tegas tapi terlihat seperti anak kecil. “Bagaimana?” tanya Dafa. Chesa menghela napas, “Baiklah, terserah Bapak kalau maunya seperti itu” “Good, sekali-kali kamu jangan mengajak saya berdebat” “Yang ngajak berdebat siapa sih? Dasar CEO bocil, egosi, menyebalkan” Chesa membatin. Chesa duduk di sebelah Dafa dengan canggung. Sejak berangkat ia hanya diam tanpa mau mengucapkan sepatah kata pun. Perasaannya tidak enak, takut jika orang tuanya berpikir macam-macam karena ia pulang dengan pria yang notebane adalah CEOnya. Belum lagi Chesa takut jika istri dari Dafa tahu kalau suaminya pergi bersama sekretarisnya. Situasi ini membuat Chesa gila. Dafa menoleh ke samping, “Kenapa diam saja?” “Eh, nggak kok Pak. Kalau saya ngoceh nanti konsentrasi Bapak mengemudi terganggu” “Rasanya itu lebih baik. Karena kalau kamu diam, saya jadi mengantuk” ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD