Keesokkan harinya, hari pertama Jenny berangkat menuju markas benar-benar harus menempuh perjalanan selama 45 menit. Jika dibandingkan dengan kantor lama, mungkin akan terasa sedikit lebih jauh, tetapi semua itu tidak melunturkan semangat seorang gadis yang sudah terbangun sejak dini hari.
Akibat sikap antusiasnya hendak berangkat bekerja menjadi detektif sungguhan sekaligus bergabung dengan para senior yang mengagumkan, Jenny nyaris tidak bisa tidur sama sekali. Untung saja gadis itu masih memiliki daftar film yang belum ditonton, sehingga Jenny memutuskan memancing rasa kantuknya dengan menonton film.
Belum sampai pada pertengahan, rasa kantuk mulai menyerang membuat Jenny tanpa sadar tertidur dengan televisi menyala. Akan tetapi, sang kakak sudah memasang timer pada televisi selalu terjadwal dengan rapi.
Setiap televisi menyala tanpa dilihat selama 15 menit melalui sensor pengamat, maka secara otomatis benda elektronik tersebut akan meredup dan mati dengan sendirinya. Salah satu teknologi canggih yang sudah dikembangkan oleh kakak pertamanya.
Memikirkan hal semalam membuat Jenny merutuki kebodohannya sendiri, kemudian gadis itu pun menghentikan laju mobil tepat di parkiran kosong dekat dengan gedung bagian depan. Ia sudah diberi tahu oleh Ayres mengendarai mobil pribadinya di parkiran khusus petugas, agar tidak tercampur dengan kendaraan pribadi lainnya yang keluar-masuk.
Sejenak Jenny memperhatikan penampilannya melalui pantulan cermin yang berada di dalam dashboard. Ia memang terbiasa membawa barang-barang kemungkinan besar terpakai, sehingga cermin kecil yang berada di dalam mobil sama sekali tidak pernah dirinya gunakan.
Selain cerminnya yang terlalu kecil, Jenny juga kurang menyukai cermin melebihi harapannya. Sebab, penempatan cermin kurang sesuai membuat gadis itu enggan menggunakannya sama sekali.
Setelah selesai memastikan penampilan, akhirnya Jenny pun beranjak keluar. Sepasang kornea mata menatap ke arah petugas polisi umum yang baru saja turun dari mobil dinas patroli. Jenny yang pernah mengetahui mereka pun tersenyum ramah.
“Kamu … Petugas Jenny, bukan?” celetuk salah satu dari dua petugas lelaki yang duduk tepat di jok kemudi.
“Iya, saya Jenny,” balas gadis itu mengangguk ramah, lalu melangkah mendekat. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?”
Petugas lelaki itu menatap ke arah lobi markas sesaat, lalu berkata, “Sebenarnya saya ingin mengambil evaluasi yang sudah diulas oleh Pak Listanto mengenai kasus Perumahan Griya Indah.”
“Benarkah?” Jenny melebarkan matanya terkejut. “Kalian juga menangani kasus itu?”
Petugas polisi lainnya yang merasa penasaran pun mulai melangkah mendekat. “Petugas Jenny, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu seharusnya bersama dengan Ketua Delvin?”
“Aku dimutasi ke sini,” jawab Jenny dengan mengembuskan napasnya panjang. “Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Kedua petugas polisi yang tanpa sengaja bertemu Jenny itu pun hanya mengangguk pelan. Merasa berdua memang tidak terlalu mengenali gadis tersebut, tetapi sikap Jenny yang ramah membuat semua orang mengenalnya dengan baik.
Kini Jenny tengah melenggang masuk sambil menggenggam tas kerja sekaligus laptop untuk memasukkan beberapa jobdesk untuk memulai hari pertama pada pekerjaannya. Ia tersenyum ramah pada beberapa petugas yang terlihat baru saja datang ataupun sampai, kebanyakan dari mereka hendak menuju dapur kantor untuk sarapan.
“Petugas Jenny!”
Sebuah panggilan dari seseorang ketika Jenny memasuki elevator membuat gadis itu kembali membuka pintu dan memperlihatkan petugas wanita yang sempat ditemui ketika dirinya pertama kali datang.
“Tolong berikan berkas ini pada ketua tim kamu,” ucap polisi wanita tersebut menyerahkan berkas amplop berwarna cokelat polos.
“Ketua tim?” Jenny mengernyit bingung sembari menerima amplop pemberian polwan yang begitu berkharisma. “Maaf, Bu. Sepertinya ketua tim yang dibilang belum ada.”
“Belum ada?” Polisi wanita itu tampak melebarkan mata terkejut, lalu memiringkan kepalanya memikirkan sesuatu. “Kalau memang tidak ada, kamu bisa memberikannya pada Pak Akhtar. Ini perintah dari Pak Listanto mengenai Tim Investigasi Khusus.”
“Baik, terima kasih, Bu!” ucap Jenny mengangguk patuh.
Selesai berbicara beberapa hal, akhirnya Jenny kembali masuk ke elevator. Ia memperhatikan amplop yang ada di tangannya. Ketika ada beberapa petugas membuka elevator, Jenny pun memasukkan benda tersebut ke dalam tas miliknya dan kembali menatap lurus.
Tepat sampai di lantai 7 yang menjadi tujuan, Jenny pun melenggang keluar. Gadis itu menatap ke segala penjuru. Nyatanya tidak ada seorang pun yang sudah datang, membuat Jenny mengembuskan napas panjang.
Disangka tidak ada seorang pun di dalam ruangan, tanpa disadari Ayres yang tengah membersihkan kolong meja tanpa sengaja menjatuhkan kardus. Sontak Jenny yang menaruh tas kerjanya pun terjengit sesaat, lalu menatap penasaran ke arah seseorang tengah berjongkok.
“Pak Ayres, apa yang kamu lakukan?” tanya Jenny mengernyit bingung mendapati rekan kerja senior-nya ternyata sejak tadi sudah berada di dalam.
Ayres bersusah payah keluar dari kolong dan menatap kehadiran seorang gadis cantik di hadapannya, lalu menjawab dengan tersenyum lebar, “Jenny, kamu sudah datang? Saya sedang membereskan senapan rahasia untuk sewaktu-waktu digunakan.”
Sejenak Jenny mengangguk beberapa kali, kemudian mulai melihat isi kardus yang ternyata benar-benar senjata api. “Pak Ayres, memangnya ini semua boleh dibawa ketika kita mutasi dari pekerjaan lama?”
“Tenang saja, Jenny. Kamu bisa membawa apa pun yang ada di ruangan ketika kamu dipindahkan. Tapi, kemungkinan karena saya juga sebagai penembak jitu, tidak ada keahlian lain yang bisa saya lakukan selain sistem penyelamatan,” balas Ayres tersenyum senang.
“Baiklah, aku tahu.” Jenny mengangguk paham, selain pekerjaan yang menantang nyawa. Ternyata penembak jitu juga mendapat bonus untuk diperbolehkan membawa apa pun perihal senajat pribadi yang selama ini digunakan.
Ayres merenggangkan tubuhnya sesaat, kemudian melangkah dengan santai menuju meja yang menjadi tempat keberadaan mesin kopi pemberian dari markas. Lelaki itu hendak membuat minuman pagi agar tetap terjaga dengan baik.
“Jenny, kamu mau minum apa?” tanya Ayres di sela kegiatannya mengambil salah satu cup kopi instan dari merek terkenal dan mulai memasukkan ke dalam mesin kopi.
“Tidak ada, Pak. Nanti siang saja,” tolak Jenny menggeleng pelan, lalu mulai merapikan meja kerjanya. “Oh ya, Pak Ayres, memangnya ketua tim kita sudah datang?”
Mendengar pertanyaan tersebut, kegiatan Ayres yang tengah mengambil gelas dari rak kecil pun terhenti dan mulai meletakkan benda tersebut dengan pelan. Seakan pikirannya tengah berkelana ke suatu tempat.
“Kamu benar,” gumam Ayres mengangguk pelan. “Aku tidak tahu kapan ketua tim kita datang, tapi bukankah Akhtar sudah memberi tahu kalau dia akan datang pagi ini?”