13. Merasa Beruntung Menjadi Detektif Sungguhan

1130 Words
Tepat sampai di depan markas, mobil yang dikemudikan oleh Ayres pun berhenti tepat di parkiran. Lelaki itu mengembuskan napas panjang menyadari bawaannya lebih banyak bandingkan Jenny. Sehingga membutuhkan sesuatu yang bisa menjadi pengangkut. “Jen, lo bisa masuk sendirian enggak? Gue mau ambil troli dulu di belakang,” ucap Ayres meringis pelan membiarkan Jenny masuk tanpa ditemani siapa pun. “Gue enggak tahu tempatnya, Bang,” balas Jenny mendadak tidak enak, karena di dalam benar-benar sibuk jika dirinya sendirian tanpa disambut siapa pun. “Lo masuk aja, nanti naik elevator ke lantai 7. Temuin Akhtar di sana, katanya dia lagi nyiapin lantai baru buat tempat kita,” kata Ayres meyakinkan. “Oke, gue masuk sendirian, Bang,” putus Jenny mengangguk kaku. Mendengar keputusan yang bagus untuk memberanikan diri, Ayres pun tersenyum bangga. Kemudian, keduanya pun berpisah di parkiran dengan Jenny membawa dua kardus berisikan barang-barangnya. Untung saja tidak terlalu berat membuat Ayres membiarkan Jenny masuk ke dalam markas seorang diri. Sejenak Jenny menatap sekeliling yang terlihat sibuk. Ia meringis pelan menyadari tidak ada siapa pun yang bisa diajak untuk berbincang. Membuat gadis itu mengembuskan napas panjang dan menyusuri setiap langkah sesuai dengan perkataan Ayres tadi. Dengan sedikit bersusah payah, Jenny memencet tombol elevator untuk bergerak ke atas sampai benda tersebut terbuka memperlihatkan ruangan kosong. Membuat gadis itu tampak mengembuskan napasnya lega, dan mulai melenggang masuk dengan memencet nomor sesuai dengan petunjuk tadi. Jenny berdiri tepat di tengah elevator sampai dua petugas polisi melangkah masuk membuat gadis itu menepikan tubuhnya yang membawa barang di tepi ruangan, tepat menempel pada pegangan elevator untuk beberapa d*********s. “Kamu sudah mendengarnya belum? Kalau Irjen Akhtar milih buat merelakan pelantikannya sebagai komisaris demi membentuk tim baru,” celetuk salah satu petugas polisi yang berjenis kelamin lelaki. “Benarkah? Pantas saja belakangan ini Pak Akhtar sering bolak-balik dari ruangan Pak Listanto. Ternyata memang sudah merencanakan semuanya,” balas polisi wanita yang ternyata seseorang mengantarkan Jenny kemarin. Untung saja wanita itu tidak menyadari Jenny yang tertutupi dua kardus di pelukannya. “Saya tidak tahu kalau ambisinya untuk membentuk tim baru sampai merelakan pelatikan jabatan,” ucap polisi lelaki itu terdengar kecewa. “Tapi, benar juga apa yang Pak Akhtar pilih. Selama ini dia sudah memperbanyak prestasi sampai naik jabatan di usia muda.” “Entahlah. Saya hanya merasakan kalau pilihan Pak Akhtar membentuk tim yang sekarang cukup mengecewakan,” balas polisi wanita tersebut dengan menggeleng pelan. Setelah itu, keduanya melenggang keluar tepat di lantai 4 membuat Jenny mengembuskan napas lega. Ia benar-benar tidak percaya kalau dua petugas polisi tadi ternyata membicarakan Akhtar yang merelakan pelantikan jabatan sebagai komisaris jenderal polisi. Tentu saja tidak sedikit yang menginginkan jabatan tersebut, tetapi sulit untuk mencapainya. Karena yang mendapatkan hanya orang-orang dari memiliki jiwa kepemimpinan sekaligus naluri alami sebagai polisi yang bertanggung jawab. Ketika pintu elevator terbuka dengan memperlihatkan lantai yang menjadi tujuan, Jenny pun melangkah keluar secara perlahan. Ia menatap seisi lantai yang terlihat sibuk dengan banyak sekali petugas polisi berjalan ke sana-kemari. Hal tersebut membuat Jenny meringis pelan, kemudian mulai mengalihkan perhatiannya untuk mencari keberadaan Akhtar. Sebab, gadis itu sudah menebak nasibnya ketika tidak ada Akhtar. Asyik berjalan tanpa tujuan, Jenny pun menarik perhatian seorang polisi tampan yang baru saja keluar dari elevator. Lelaki itu tampak mengernyit penasaran melihat keberadaan Jenny yang membawa dua kardus cukup besar di pelukannya. “Nona, ada yang bisa saya bantu?” celetuk polisi tampan itu menepuk pelan bahu Jenny yang tengah kebingungan. Dengan cepat gadis itu pun berbalik dan meringis pelan melihat wajah polisi di hadapannya benar-benar tampan. Membuat Jenny menyiapkan mentalnya bekerja di tempat yang penuh dengan serbuk berlian. “Begini, Pak. Saya mencari ruangan Pak Akhtar yang baru,” balas Jenny dengan diakhiri senyuman sopan. Polisi tampan itu tampak mengangguk mengerti, lalu tersenyum tipis. “Mari ikuti saya!” Dengan patuh Jenny pun mengikuti kepergian polisi tampan yang ternyata melenggang memasuki lantai tersebut cukup jauh dari elevator. Membuat Jenny mengangguk pelan. Ia sempat berpikir salah lantai, sampai menyadari bahwa bangunan yang kini menjadi pijakannya sangatlah luas. “Di sini ruangan Pak Akhtar yang baru,” ungkap polisi tampan tersebut dengan tersenyum lebar. “Nona masuk saja, di dalam masih ada beliau sedang membereskan barang-barang.” “Terima kasih,” balas Jenny tersenyum manis. Setelah selesai mendapatkan bantuan, Jenny pun mendorong pintu kaca itu dengan susah payah menggunakan punggung mungilnya. Sampai menarik perhatian seorang lelaki yang tengah duduk di atas meja. “Siapa, ya?” tanya Akhtar bingung. Jenny melebarkan matanya lega, lalu menyembulkan kepala dari balik kardus. “Saya Jenny, Pak. Yang kemarin bertemu di kafe.” “Oh.” Akhtar mengangguk beberapa kali dan bangkit mendatangi gadis itu santai. “Lain kali bawa barang jangan terlalu banyak. Kalau jatuh bisa ngerepotin orang lain.” Mendapatkan sambutan dengan tidak terdengar ramah membuat Jenny hanya bisa mengangguk pelan. Entah kenapa ia harus merasa kesal sekaligus senang melihat sambutan Akhtar yang sedikit menerima keberadaannya. “Pak Ayres sedang berada di bawah mengangkut barangnya menggunakan troli, jadi saya disuruh ke sini lebih dulu. Biar enggak terlalu lama nunggu di bawah,” kata Jenny ketika Akhtar mengambil alih barangnya dan mulai menaruh di meja dari empat yang terlihat kosong. Akhtar menatap sesaat ke arah barang yang baru saja ditaruh. “Kamu duduk di sini, Jenny.” “Baik, Pak!” balas Jenny dengan tegas. “Kamu bereskan semua barang-barang dulu, saya ingin ke bawah menemui Ayres!” pamit Akhtar melenggang pergi begitu saja. Sepeninggalnya Akhtar yang memberikan ruang untuk Jenny menyesuaikan diri dengan tempat barunya, kini gadis cantik mengenakan kemeja hitam tidak terkancing dengan bagian dalamnya memperlihatkan kaus berwarna putih. Memang kedatangan Jenny tidak mengenakan pakaian resmi sedikit disangka pelapor, membuat beberapa polisi tadi sempat menanyakan maksud kedatangannya. Akan tetapi, mereka langsung menolak ketika mulai menyebutkan nama Akhtar. Sayangnya hal tersebut membuat gadis itu sedikit kesulitan. Entah kenapa Jenny bisa merasakan aura yang dikeluarkan oleh Akhtar sangat mengintimidasi dan penuh wibawa. Membuat gadis itu mulai membayangkan ketua tim yang mungkin akan jauh lebih berkharisma dibandingkan Akhtar. Tidak dapat dipungkiri Jenny mulai penasaran dengan Tim Investigasi Khusus yang berisikan banyak orang mengagumkan dari kepolisian. Sampai gadis itu merasa minder, sebab hanya Jenny yang posisinya masih seorang detektif kecil. Tentu saja Akhtar bisa dilihat posisinya sebagai irjen, sedangkan Ayres berasal dari anggota penembak jitu di Brimob. Apalagi ketua tim yang mungkin akan lebih mengagumkan posisinya sampai Jenny merasa seperti kutu, menjadi parasite di antara inang kaya. Membayangkan hal yang akan terjadi membuat kepalanya mendadak sakit, Jenny pun menepuk pelan. Ia menggeleng keras berusaha mengusir banyak pikiran yang membayangi seperti hantu. “Sadar diri, Jenny! Lo seharusnya beruntung bisa gabung sama mereka. Jadi, lo akan dikenal sebagai detektif sungguhan dan enggak akan diremehin banyak orang lagi. Hanya karena lo perempuan,” ucap Jenny pada dirinya sendiri, dan menarik napas panjang sebelum benar-benar mengeluarkan seluruh barangnya dari dalam kardus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD