Memang kedekatan Ayres dan Jenny tidak memerlukan waktu lama. Keduanya benar-benar santai, seakan tidak pernah ada pembatas yang memisahkan. Bahkan Ayres dan Jenny pun berbagi cerita tentang banyak hal selama menunggu kedatangan dua senior yang kemungkinan akan datang beberapa jam ke depan.
“Bang Ayres, memangnya kerja di sini harus memperhatikan senioritas?” tanya Jenny ketika tengah mendudukkan diri di meja kerja.
Sedangkan Ayres yang baru saja menyelesaikan pekerjaan untuk merapikan meja pun tampak menyandarkan tubuh santai. Bukan tanpa alasan, lelaki itu terkadang kurang menyukai pindah tempat karena akan merepotkan diri sendiri terhadap barang yang seharusnya tetap.
“Iya,” jawab Ayres mengangguk singkat. “Sebenarnya bukan karena semua petinggi di sini gila hormat, tapi memang begitu adanya.”
“Kalau begitu, kita juga boleh melakukan banyak hal?” tukas Jenny dengan wajah sumringah, karena rasanya sangat kaku jika terlalu memperhatikan setiap perilaku.
Ayres mengangguk dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, lalu membalas, “Boleh. Enggak ada yang ngelarang juga, asal masih tahu tempat. Misalnya enggak sembarangan berbicara dan tetap menjaga kesopaan. Karena rata-rata di sini udah pada senior yang kerjanya udah hampir 20 tahun lebih. Jadi, emang enggak bisa sembarangan sama sekali.”
Mendengar penuturan tersebut, Jenny mengangguk mengerti. Karena memang ketika bekerja di tempat isinya orang-orang hebat agak memberikan sedikit tekanan terhadap lingkungan. Terlebih Jenny pindah benar-benar di markas yang bukan sembarangan orang bisa memasukinya.
Ketika hendak bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara pintu yang didorong pelan membuat pandangan Ayres dan Jenny spontan mengarah pada sumber suara. Keduanya tampak memperhatikan dengan seksama pada kedatangan dua orang lelaki.
Tentu saja Jenny yang paling menantikan wajah seseorang melangkah tepat di belakang Akhtar, seakan lelaki itu hendak memberikan kejutan pada dua orang di dalam ruangan, termasuk Ayres yang perlahan bangkit dari tempat duduknya.
“Tar, itu ketua tim kita?” tanya Ayres mendekat.
Akhtar menatap tanpa minat, lalu menggeleng pelan dengan senyuman samar dan menatap ke arah Jenny yang masih tetap duduk. “Jenny, ke sini sebentar! Kita harus menyambut kedatangan ketua tim dari Amerika.”
“Amerika?” beo Jenny menganga dengan tidak terlalu lebar, lalu perlahan pun bangkit dari tempat duduk. “Ternyata ketua tim kita juga orang yang mengagumkan, ya?”
Sejenak Alister berada tepat di belakang Akhtar pun memperlihatkan diri tepat di hadapan Jenny. Lain halnya dengan Ayres yang tersenyum lebar dan tatapan penuh memuja diabaikan oleh Alister.
Alister tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangan kanannya sembari menyapa, “Halo, Jenny! Perkenalkan nama saya Adyatma Mahavir Alister Bagaskara, kamu bisa memanggil saya dengan Alister. Kebetulan saya pernah menjadi kapten di kepolisian SWAT, jadi jangan terkejut kalau saya di masa depan menginginkan segala kasus yang kita tangani dengan cerman dan penuh perhitungan.”
Dengan rasa sungkan nan sopan, Jenny membalas jabatan tangan tersebut sembari tersenyum canggung. “Selamat datang, captain! Saya merasa benar-benar terhormat diperbolehkan untuk bergabung dengan tim yang mengagumkan seperti ini.”
Tidak dapat dipungkiri Alister yang mendengar balasan mengesankan dari Jenny pun tertawa pelan. Nyatanya sikap lelaki itu tidak serius dan pendiam seperti Akhtar, bahkan bisa dikatakan sikap first impressions Jenny ketika bertemu Alister benar-benar ramah dan mengayomi.
“Saya mendengar banyak tentang kamu dari Akhtar,” ungkap Alister mengembuskan napas santai. “Ternyata ketika saya melihat kamu … sepertinya sama apa yang dikatakan oleh dia. Tapi, saya tidak membutuhkan apa pun, selain ketangkasan kamu mencerna kasus kita nanti. Sudah diberitahu oleh Akhtar, bukan?”
Jenny mengangguk mantap, lalu menjawab, “Sudah, Pak. Saya menerima tawaran rekrut dengan lapang d**a, karena saya sangat terhormati bisa diterima di tim yang isinya orang-orang hebat.”
Setelah selesai saling menyapa, Alister pun melenggang pergi menuju meja yang tepat berhadapan dengan Akhtar. Dengan sistem meja saling berhadapan, Jenny dan Ayres pun tampak mengubah sedikit jarak meja.
Sebab, Ayres memiliki terlalu banyak barang sampai Jenny harus sedikit mengalah memberikan sedikit ruangan untuk lelaki itu memasukkan seluruh barang tanpa tertinggal satu pun. Kemungkinan mereka akan menggunakannya membuat gadis itu benar-benar bijaksana dalam memprioritaskan apa yang harus dilakukan tanpa menunggu persetujuan lebih dulu.
“Akhtar, boleh juga pemilihan tempatnya. Enggak terlalu jauh sama pintu masuk dan sepi dari aktivitas markas,” “puji Alister tersenyum bangga melihat ruangan yang mulai tersusun rapi.
“Ruangan ini yang kosong karena sebagian petinggi sudah ada di lantai atas. Jadi, Pak Listanto memperbolehkan kita menggunakannya.” Akhtar terdiam mengambil napas sesaat. “Lagi pula semua ini cocok dengan krtiteria yang lo mau kemarin.”
“Iya, benar. Gue memang lebih suka tempat strategis tanpa menghilangkan unsur ketenangan. Karena kita penyelidikan kasus lama, jadi ada kemungkinan ruangan ini sibuk dan berisik dengan suara rapat.”
“Alister, kita ‘kan semua di sini seumuran karena Jenny juga cuma beda dua tahun. Gimana kalau misalnya kita ngomong agak santai?” usul Ayres menyadari perbincangan yang mulai terdengar tanpa beban.
“Memangnya kenapa?” tanya Alister mengernyit bingung.
“Gue cuma ngerasa lebih baik aja. Karena Jenny juga akan ngerasa lebih baik kalau kita santai,” jawab Ayres mengangguk meyakinkan. “Tapi, kalau lo enggak setuju juga enggak ada yang masalah. Karena lo ketua timnya.”
Alister menatap ke arah Akhtar yang mengangkat bahunya acuh tak acuh, seakan lelaki itu menyerahkan seluruh keputusan pada lelaki menjadi ketua tim. Membuat Alister yang baru saja tidur selama beberapa jam di hotel untuk mengistirahatkan tubuh agar tidak membuang waktu lagi pun mengembuskan napas panjang.
“Baiklah. Jenny, saya tidak tahu kalau usia kamu ternyata hanya selisih dua tahun. Tapi, tetap masalah senioritas memang tidak terlalu dipusingkan untuk saya. Karena penyebutan ala Amerika juga tidak pernah menggunakan kata sapaan lain,” ucap Alister tersenyum tipis dan kembali melanjutkan, “dan karena menurut Ayres lebih baik untuk lebih santai … rasanya saya juga setuju. Karena kurang nyaman kalau berada di ruangan yang isinya hanya kita berempat, tetapi rasa kecanggungan masih tetap ada. Kamu boleh menggunakan sapaan yang lebih santai.”