17. Jenny Mulai Terbuka

1138 Words
Tidak pernah terpikirkan oleh Jenny akan mengikuti kasus lama yang tidak pernah ada ujungnya. Walaupun terdengar mustahil, tetapi sikap optimisi dari ketiga lelaki di hadapannya membuat gadis itu merasa sedikit lebih baik. Ia nyaris menyerah ketika sudah empat jam berada di pulau, tetapi tidak menemukan satu bukti pun yang bisa digunakan untuk petunjuk. Semuanya seakan sia-sia saja sampai tanpa disadari langit gelap mulai menyelimuti pulai terpencil yang hanya dihuni oleh panti asuhan terbakar hangus. Tidak ada sisa apa pun, selain pembakaran dan abu bekas pepohonan yang ikut terbakar. Jumat berdarah itu benar-benar menjadi penerangan pulau yang menarik banyak perhatian orang. Akibat sedikit yang tinggal di sana membuat semua orang jelas mengetahui kejadian tersebut, sampai dipadamkan oleh petugas yang bekerja sesuai di bidangnya. “Ster, kayaknya kita enggak akan kekejar kalau misalnya sekarang keluar dari pulau buat nyari kapal nelayan yang lewat,” celetuk Ayres mendongak menatap seorang lelaki yang berdiri tepat di depannya tengah menandangi penuh perhitungan ke arah gedung didominasi oleh warna hitam. “Jadi, kita bakalan menginap di sini?” tanya Akhtar mendudukkan diri tepat di samping Ayres. Ia baru saja selesai berkeliling memastikan situasi aman tanpa ada seorang pun yang berniat untuk melakukan kejahatan. “Memang begitu, bukan?” Ayres kembali menatap ke arah Alister. “Karena gue bawa empat tenda yang berbeda atas suruhan Alister.” Jenny yang mendengar perbincangan itu pun mulai merasa sedikit cemas. Ini kali pertama dirinya menginap seorang diri bersama tiga lelaki tampan sekaligus. Kemungkinan kalau masih ada Delvin tidak akan merasa cemas, tetapi di antara ketiganya memang hanya Ayres yang Jenny kenali dengan baik. “Bagaimana dengan Jenny? Apa dia setuju?” tanya Akhtar dengan penuh pertimbangan, lalu menatap ke arah seorang gadis cantik yang duduk menyendiri menatap gedung panti asuhan dengan pandangan kosong. Ayres mengangguk paham. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Jenny yang penuh kecanggungan. Terlebih mereka semua akan menginap di tempat yang sama dengan suasana sedikit berbeda, walaupun aliran listrik telah dinyalakan hingga menerangi sedikit tempat. Akan tetapi, tetap saja suasana gelap gulita lebih mendominasi. “Jenny, kamu setuju, ‘kan?” tanya Ayres dengan wajah penuh harap. Sejenak gadis itu menatap ke arah seluruh dari ketiga lelaki yang mulai menatap penuh ke arah dirinya. Memang tidak ada alasan lain untuk Jenny melarikan diri dari tempat terpencil dan segera kembali pulang melanjutkan investigasi esok pagi. “Begini saja, kita akan tetap mencari perahu di pesisir pantai. Dengan jaminan sebagian membuat tenda di sini. Kalau nasib baik, kita bakalan dapat perahu yang kebetulan masih berkeliling. Begitupun sebaliknya dengan risiko yang bisa diketahui mandiri.” Ayres mulai memberikan jalan tengah ketika mengetahui tatapan dengan risiko penuh pertimbangan dari Jenny. “Gimana, Ster? Lo sebagai ketuanya, setuju enggak?” Alister mengangguk singkat. Menyerahkan seluruh keputusan pada Jenny dengan penuh pertimbangan. Sedangkan Jenny yang tidak ingin menjadi beban bagi ketiga lelaki itu pun mulai menggeleng tidak setuju, lalu menjawab, “Lebih baik memang kita bermalam di sini saja. Lagi pula tenda memiliki perorangan. Enggak ada masalah.” “Yakin, Jen? Lo enggak akan tiba-tiba berubah pikiran nanti malam, ‘kan? Karena kita semua pria dewasa yang matang. Jangan sampai kesalahpahaman terjadi,” timpal Akhtar dengan wajah tidak percaya. “Iya, aku yakin. Kalian semua pria baik-baik. Aku percaya itu,” pungkas Jenny mengangguk dengan keyakinan penuh untuk memberikan kepercayaan pada ketiga lelaki tersebut. Akhirnya, mereka berempat pun mulai bermalam dengan melakukan api unggun untuk menjadi penerangan di sela kegiatan membuat makan malam. Untung saja Ayres selalu sedia membawa perlengkapan apa pun, termasuk beberapa makanan darurat yang sengaja dimasukkan ke dalam tas besarnya. Jenny yang menjadi satu-satunya gadis di antara ketiga lelaki itu pun mulai membuatkan makan malam dengan makanan instan khusus. Tidak perlu melakukan banyak hal, Jenny hanya perlu memanaskan air untuk digunakan sebagai minuman hangat ketika angin laut bertiup pada malam hari. Sedangkan sisa air tersebut mulai digunakan sebagai pengukus makanan instan. Alister mulai membagi tugas untuk lelaki. Dengan Ayres tetap bersama Jenny, menemani gadis itu tanpa merasa canggung sedikit pun. Sementara Akhtar mulai mendirikan satu per satu tenda bersama Alister. Tidak sampai membutuhkan waktu lama, makan malam pun tersajikan. Jenny sempat membawa beberapa bungkus cemilan pun mulai mengeluarkannya untuk dijadikan sebagai cuci mulut. Membuat Akhtar dan Alister telah menyelesaikan kegiatannya pun mulai bergabung dengan Ayres yang tengah sibuk menata makan malam. “Makan malam dulu, Ster!” titah Ayres memberikan satu kotak makanan yang ditutupi pembungkus steel khusus. Kemudian, menyerahkan sisa kotak lainnya dengan menu yang sama pada Akhtar. Di tengah api unggun menyala, dengan sesekali Jenny mendorong kayu yang perlahan berubah menjadi abu. Gadis itu tanpa sadar tersenyum tipis. Entah kenapa ia kembali mengingat perjalanannya bersama teman kampus ketika sedang melakukan praktik di alam liar untuk mendapatkan nilai kelulusan. “Jenny, kamu lulusan dari mana? Akpol?” tanya Ayres di sela makan malam membunuh keheningan. Gadis yang awalnya sibuk melamun itu pun buyar dan menatap ke arah seorang lelaki tengah menatap dirinya pula. “Bukan. Dari Universitas Indonesia. Tapi, sebagian pendidikan dari Bandung. Karena pertama kali ikut kuliah itu masuk undangan rekomendasi dari sekolah.” “Berarti lo masuk UI juga jalur beasiswa?” sahut Akhtar tampak penasaran dengan latar pendidikan Jenny yang ternyata cukup memumpuni untuk bakat gadis itu sendiri. Jenny mengangguk lugas, lalu membalas, “Iya, ikut program beasiswa juga dari kampus lama. Dan kebetulan, ada sahabat yang ternyata lolos ikut program beasiswa penuh. Jadi, sengaja aku ambil sekalian nyari pengalaman baru. Karena memang pada akhirnya lebih suka ada di Jakarta.” “Di sini sama siapa?” tanya Alister mulai mempertanyakan anggota tim dengan terperinci. “Untuk sekarang sendirian, tapi awalnya tinggal sama orang tua dan dua kakak laki-laki,” jawab Jenny tersenyum tipis. Akhtar dan Ayres pun kompak saling berpandangan, kemudian mengangguk mengerti. Ternyata Jenny berasal dari latar belakang yang bukan menjadi manja. Gadis itu benar-benar terlahir sebagai anak bungsu yang ikut mandiri dalam mengejar impiannya sendiri. “Kenapa jadi polisi? Bukannya jauh lebih enak kerja di kantoran atau usaha gitu?” tanya Alister menautkan kedua alis tebalnya dengan menarik perhatian, sebab terlihat sangat tampan dan menawan dalam waktu bersamaan ketika menatapnya beberapa saat. Jenny mengangguk mengerti, lalu menjawab, “Memang enakan jadi pekerja kantoran. Tapi, sejak awal ngincar jadi polisi. Orang tua sama abang juga paham, jadi mereka enggak akan menentang. Walaupun masih suka khawatir kalau enggak ada kabar sama sekali.” “Berarti sekarang juga lagi dikhawatirin!?” tanya Ayres tanpa sadar meninggikan suaranya akibat terkejut. “Enggak harus setiap hari juga laporan. Kemungkinan kalau memang ada waktu luang aja, dan selalu ngasih alasan waktu enggak ngangkat telepon atas balas pesan di ponsel,” jawab Jenny tertawa pelan melihat wajah penuh kelegaan dari Ayres. “Hampir aja gue kena serangan jantung,” gumam lelaki itu mengusap dadanya penuh rasa syukur, karena Jenny tidak akan mendapat masalah ketika diketahui menginap bersama tiga pria dewasa di pulau terpencil dengan akses kapal nelayan yang terbatas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD