12. Tim Rekrut Rahasia

1064 Words
“Jenny!” Ayres mendadak bangkit ketika melihat seorang gadis melenggang masuk bersama beberapa orang dengan wajah sedikit serius. Sesaat Jenny menoleh ke arah seorang lelaki yang tidak asing, lalu melebarkan mata terkejut dan menatap arloji di tangan kirinya. Ia menepuk dahi pelan, menyadari kebodohannya melupakan kenyataan bahwa gadis itu harus bersiap untuk pindah. “Bang Ares, maafkan saya sudah melupakan jadwal hari ini,” sesal Jenny meringis pelan. “Vin, gue harus pergi sekarang. Sesuai yang gue bilang tadi, ya. Kalau ada sesuatu, lo hubungi gue aja.” Delvin mengangguk pelan. “Ya udah, lo hati-hati.” Sejenak Delvin menyapa dengan sopan ke arah Ayres yang terlihat lebih ramah. Lelaki tampan dengan bertubur kekar nan bugar itu tampak tersenyum lebar ke arah Delvin, kemudian mulai mengikuti Jenny yang melenggang ke arah lain. Ayres menatap sekeliling kantor polisi yang terlihat sepi, lalu bertanya, “Jen, ke mana semua orang? Mengapa di sini terlalu sepi?” “Semua orang sedang menangani kasus, Bang.” Jenny mulai mendorong pelan pada pintu yang tertutup rapat. Hanya menyiakan Vion tengah memeriksa rekaman kamera pengawas di komputernya. Kedatangan Jenny bersama lelaki asing membuat Vion spontan bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah mendekati seorang gadis yang telah bersama beberapa waktu. “Jen, siapa dia?” tanya Vion setengah berbisik. Jenny melirik sesaat ke arah Ayres yang terlihat hendak meminum segelas kopi, sebab lelaki itu terlihat mengambil gelas dan mulai menuangkan kopi instan dari mesin pembuat kopi yang ada di dalam ruangan. “Itu anggota Brimob. Namanya Ayres, itu aja yang gue tahu. Tentang jabatannya sebagai apa, gue juga kurang paham.” Jenny melenggang singkat sembari memasukkan seluruh barangnya ke dalam kardus. “Kalau mau kenalan, boleh aja. Dia ramah sama semua orang.” Vion mengangguk pelan, lalu berkata, “Kelihatan juga dari wajahnya yang cantik. Gue kira dia awalnya cewek, sampai gue sadar badannya lumayan kekar. Jadi, rasanya mustahil kalau ada cewek berotot gitu.” Spontan Jenny tertawa tidak percaya mendengar perkataan Vion yang tidak masuk akal. Memang tidak dapat dipungkiri Ayres sangat cantik untuk ukuran seorang lelaki, tetapi jelas saja lelaki itu memiliki sisi gentleman yang mengagumkan. “Gue pamit, ya! Jaga kesehatan dan keselamatan lo. Jangan sampai ngerepotin Delvin. Sekarang gue mengandalkan lo pada setiap kasus!” ucap Jenny menepuk pundak Vion sembari tersenyum lebar. Mendengar perkataan berat itu, Vion menundukkan kepalanya tanpa tenaga dan mulai menarik napas terasa sesak tidak rela. “Lo bakalan sering ke sini, ‘kan? Gue pasti rindu banget sama lo. Apalagi di sini cuma ada Delvin sama Bio, rasanya kurang seru.” “Gue harus pindah, Vion. Lo mau nanggung hukuman gue ngebantah kepala polisi?” Jenny menggeleng tidak percaya. “Udah, ah! Gue pamit!” Sejenak Jenny memperhatikan tangan Ayres yang menggenggam secangkir kecil berisikan kopi. Lelaki tampan sekaligus cantik itu tersenyum lebar ke arah Jenny yang mendadak tidak percaya, sebelum akhirnya mereka melenggang santai menuju keluar dari ruangan. Setiap langkah kaki yang keluar dari gedung, Jenny tampak menunduk memperhatikan kedua kakinya bergerak beriringan dengan Ayres. Ini kali pertama dirinya dipindahkan dengan perasaan tidak rela, sebelumnya setiap pindah ke tempat kerja baru, Jenny selalu bersama Delvin. Namun, entah apa yang menjadi alasan Listanto membiarkan Jenny hanya pindah seorang diri, tanpa timnya atau siapa pun yang bisa gadis itu kenali. Bahkan semuanya terasa seperti ketika baru pertama kali bekerja, benar-benar bernuansa dan lingkungan baru. “Bang Ares, nanti kita dapat ruangan baru?” tanya Jenny penasaran. Ayres menoleh sesaat, lalu menjawab dengan memasukkan tangan kirinya yang bebas ke dalam saku, “Entahlah. Gue juga kurang paham apa maunya Akhtar, tapi yang jelas pemimpin kita belum datang. Jadi, mungkin nunggu dulu dapat ruangan resminya.” “Pimpinan kita bukannya Pak Akhtar?” Jenny tampak melebarkan mata terkejut. “Bukan. Kita akan mendapatkan ketua tim yang bukan dari Indonesia.” Ayres tersenyum misterius. “Lo bakalan tahu maksud gue kalau Akhtar memperbolehkan gue cerita. Pokoknya rekrut lo ke tim ini enggak akan rugi. Lo bakalan ngasah kemampuan lo sebagai detektif sungguhan.” Sesaat Jenny mempercayai perkataan Ayres yang terdengar masuk akal. Ia memang sering kali mendengar bahwa ada seorang detektif yang begitu pintar sampai naik jabatan dengan cepat. Bahkan tidak sedikit membuat semua orang merasa iri. “Oh ya, kalau sampai di sana, lo bisa ngomong formal lagi. Karena lingkungan kerjanya orang serius, jadi usahakan sikap santai yang ada di sini sedikit dikurangi, kecuali cuma ada dari tim kita aja.” Ayres tersenyum tipis, kemudian menghadap tepat di depan mobil sedan miliknya yang terparkir sempurna. “Masuk dulu, biar gue yang nanganin barang-barang lo.” Jenny menggeleng cepat, lalu menolak, “Jangan, Bang. Biar gue sendiri juga bisa.” “Nurut dulu. Biar gue aja, lo masuk mobil,” balas Ayres tak kalah penuh penekanan. Tidak ingin membuang waktu hanya untuk mendebatkan sesuatu yang sepele, akhirnya jenny pun memilih mengalah dengan menaruh barang bawaannya di hadapan Ayres. Sedangkan dirinya mulai membuka pintu mobil tepat di samping kemudi. Jenny memperhatikan Ayres yang mulai membuka bagasi. Gadis itu merasa tidak enak, tetapi mengabaikan perintah Ayres sebagai senior-nya juga membuat Jenny benar-benar lancang. Akhirnya, tidak memiliki pilihan lain, gadis itu pun memilih membiarkan Ayres mulai menaruh semua barangnya di bagasi. Ketika sampai di dalam mobil, Jenny melebarkan matanya terkejut melihat barang bawaan Ayres yang ternyata cukup banyak. Membuat gadis itu tanpa sadar menggeleng tidak percaya melihat banyak senapan dan senjata api lainnya yang dibawa. “Kenapa, Jen?” tanya Ayres menyadari gadis yang duduk di dalam mobil tampak memandangi seluruh senjata yang dibawa dirinya. “Banyak banget senjatanya,” jawab Jenny menggeleng tidak percaya, lalu menatap ke arah Ayres sesaat. “Dulu Bang Ares bagian apa? Banyak banget senjatanya.” “Lo bisa nebak, Jen. Gue kerja dibagian senapan, jadi penembak jitu.” Ayres tertawa pelan dan mulai mengenakan sabuk pengaman. “Sebenarnya wajar kalau gue punya banyak senjata, karena memang pekerjaan dulu begitu.” Jenny mengangguk pelan, lalu menatap lelaki di sampingnya serius. “Bang Ares, memangnya perekrutan tim ini rahasia? Kenapa enggak ada pengumuman di papan rekrut sama sekali?” “Uhm … lo bisa tanyain ini sama Akhtar,” jawab Ayres mengernyit tidak enak. “Gue juga belum bisa ngomong apa-apa. Karena ini sifatnya rahasia, jadi cuma Akhtar dari ketua tim kita yang ngejelasin semua ini.” Mendengar sejak tadi ketua tim disebut-sebut, Jenny mendadak penasaran dengan seorang di balik keberadaannya. Tentu saja rasa penasaran gadis itu membuncah ketika semua orang terlihat sangat menghormatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD