“Pak, apakah ruangan untuk Tim Investigasi Khusus sudah disiapkan dengan baik?”
Sebuah pertanyaan terdengar santai itu tampak terlontar begitu saja ditelinga Listanto yang baru saja selesai dari rapat evaluasi bulanan. Lelaki paruh baya dengan tubuh bugar awet muda itu tampak membawa satu map di tangannya, kemudian memberikan pada Akhtar yang terlihat duduk santai di ruangan.
“Ini ruangan yang akan kalian gunakan,” jawab Listanto memberikan berkas pemegang ruangan yang telah ditetapkan. “Bagaimana dengan kabar Alister? Sepertinya dia sudah berada di bandara Changi.”
“Benar, Pak. Alister sudah berada di Singapura. Sekitar 5 jam 30 menit transit di sana sebelum berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta.” Akhtar mengangguk singkat mendengar perkataan kepala polisi di hadapannya.
Listanto mengangguk pelan. Wajahnya tampak khawatir ketika memikirkan permintaan Akhtar yang terasa sedikit berat, sebab mengulik luka lama menjadi basah bukanlah perkara yang mudah. Terlebih kebakaran dua puluh tahun lalu memang ditutup dengan minimnya bukti yang ditinggalkan, karena semua benar-benar hangus.
“Bagaimana dengan detektif yang bernama Aleyza Jenny Niaraputri? Sepertinya dia kemarin terlihat ingin menolak tawaran ini,” tanya Listanto tampak mendudukkan diri dengan wajah penasaran.
“Dia akan dating ketika selesai menemukan bukti di TKP. Saya akan memastikan dia menerima tawaran ini. Kalau pun memang menolaknya, maka saya tetap mengambil keputusan logis. Karena kesempatan tidak akan dating kedua kalinya,” jawab Akhtar terdengar serius.
“Jangan terlalu keras dengan mereka,” bela Listanto mengembuskan napasnya panjang. “Mungkin bagi kamu dulu memang seusia Jenny sudah mendapatkan banyak pencapaian, tapi kondisi yang sekarang sudah banyak berbeda. Kita tidak bisa memaksakan sesuai dengan kehendak. Lagi pula untuk ukuran perempuan, Jenny sudah amat baik dalam melakukan tugasnya.”
“Saya tahu, Pak. Tapi, saya juga tidak bisa menunggu lama hanya karena keraguannya dalam memilih,” balas Akhtar mengangguk singkat. “Kalau sudah tidak ada urusan lagi, saya permisi dulu.”
“Baiklah, kamu bisa pergi.”
Setelah itu, Akhtar pun melenggang keluar dengan membawa map biru di tangannya. Lelaki tampan dengan kemeja putih yang dipadukan celana bahan hitam itu tampak melenggang santai menuruni anak tangga menuju ruangan tepat di bawah lantai ruangan milik pimpinan.
Pandangan lelaki tampan itu tampak mengitari sekeliling ruangan yang terlihat sepi. Memang semua orang benar-benar sibuk melakukan banyak hal. Bahkan tidak sedikit para tahanan mulai dipindahkan ke rutan untuk melaksanakan hukumannya.
Pengamanan negara yang bertugas menjaga perbatasan juga mulai bergantian orang. Sebab, stamina manusia memang kalah dari teknologi canggih, sehingga membutuhkan banyak tenaga manusia yang sangat terbatas untuk hidup di lingkungan liar penuh akan bahaya mengancang nyawa.
Sebenarnya tugas kepolisian memang tidak jauh dari tentara, tidak sedikit prajurit bersenjata meminta bantuan pada polisi untuk melakukan banyak hal. Walaupun hubungan mereka berdua kerap kali menyinggung banyak pihak. Seperti Tentara Nasional Indonesia yang lebih memihak pada rakyat dibandingkan mengerti polisi untuk menjalankan tugasnya mengamankan negara.
Tanpa sadar pikiran Akhtar mulai dipenuhi dengan perbincangan Ayres dan Jenny yang terlihat tidak canggung. Padahal mereka berdua baru saja bertemu sekali pada malam itu, tetapi kedekatannya terlihat seperti teman lama yang berpisah.
“Halo, Res! Lo ada di mana?” tanya Akhtar di ujung telepon ketika panggilan dari ponsel pribadinya langsung diangkat.
“Gue lagi di kantor mau beresin barang-barang,” jawab Ayres terdengar cukup berisik, kemungkinan lelaki itu sendirian di ruangan. Sehingga tidak ada siapa pun yang terganggu dengan suaranya.
“Nanti jemput Jenny, bisa?” Akhtar bertanya dengan wajah yang sedikit merasa tidak enak, sebab dirinya hendak menyiapkan ruangan lebih dulu dibandingkan menjemput gadis itu. “Gue harus nyiapin ruangan yang baru dikasih sama Pak Listanto, jadi gue minta bantuan lo sekarang.”
“Oke, gue habis dari kantor langsung nyamperin Jenny. Dia ada di kantor polisi, ‘kan?”
“Sekarang masih ada di Perumahan Griya Indah. Dia bakalan balik ketika semua penyelidikan selesai. Lo harus nunggu di kantor polisi sampai dia datang.”
“Bukannya dia udah dipindahtugaskan? Kenapa masih jadi detektif di sana?”
“Bukan masih, dia memang jadi salah satu detektif yang nyelidikin masalah itu. Jadi, wajar kalau gue minta buat ke sini kerasa berat. Karena memang ada tanggung jawab yang harus dia pikul sama timnya.”
“Kalau begitu, kenapa enggak besok aja?” usul Ayres mulai mendudukkan diri ketika merasa perbincangan di telepon akan berlangsung lama.
“Dia udah janji sekarang, Res.”
Sesaat Ayres menyadari nada bicara dari lelaki yang berada di seberang telepon terdengar penuh penekanan. Jelas saja Akhtar mungkin merasa cemas kalau Jenny melupakan janjinya untuk ikut bergabung. Bukan tanpa alasan, lelaki itu sebenarnya hanya merekrut satu orang dengan satu kali kesempatan.
Tentu saja ketika Jenny menolaknya dan menyia-nyiakan kesempatan untuk datang, kemungkinan kesempatan gadis itu menjadi lebih baik akan hilang begitu saja. Sebab, Akhtar memang tipe seseorang yang selalu serius dan tidak pernah memainkan kesempatan apa pun hanya untuk memastikan sesuatu.
“Ya udah, gue tunggu dia di kantor. Kalau memang enggak ada, gue langsung ke markas!” putus Ayres memilih jalan tengah dibandingkan Akhtar menduga-duga tanpa alasan.
Setelah itu, panggilan pun terputus dengan Ayres menggeleng tidak percaya melihat sahabatnya benar-benar serius terhadap sesuatu. Tidak dapat dipungkiri Jenny akan merasa takut jika Akhtar terus-menerus memasang wajah masang hanya untuk memastikan keseriusan gadis itu.
Merasa memikirkan banyak hal hanya sia-sia saja, akhirnya Ayres pun memilih meninggalkan ruangan yang selama beberapa tahun menjadi tempatnya berjuang. Sulit rasanya untuk memilih pekerjaan baru, tetapi lelaki itu telah menunggu lama hanya karena kesempatannya membuktikan kejadian dua puluh tahun lalu.
Lelaki itu berangkat mengendarai mobil sedan hitam pribadi dengan empat kardus masuk ke dalam mobil. Ia memang memiliki banyak barang untuk dipindahkan, mengingat pekerjaan yang cukup berat sehingga membutuhkan tidak sedikit barang berguna.
Tentu saja Ayres tidak akan meninggalkan satu barang pun hanya untuk diwariskan pada junior-nya, karena mereka semua sangat menyebalkan. Entah kenapa sikap sopan santun telah menghilang dari waktu ke waktu, sehingga banyak senior yang mengeluh tentang bawahan terlalu pemalas untuk menjadi polisi siap perang.
Selama mengendarai mobilnya, Ayres memutar lagu yang mengalun indah. Ia tersenyum tipis mendengar salah satu lagu Indonesia hasil re-make dari lagu Mandarin cukup terkenal. Bisa diakui sang penyanyi memiliki suara yang lembut dan merdu, sehingga cocok dengan karakter penyanyi aslinya.
“Andai semua lagu Indonesia mempunyai keberanian untuk membeli kredit lagu luar negeri, mungkin industri entertaimen bisa terselamatkan dengan banyaknya orang berbakat muncul di layar kaca. Sungguh menyayangkan hanya orang-orang yang menarik perhatian saja bisa muncul, sedangkan berbakat justru tenggelam dari perhatian publik,” tutur Ayres menggeleng pelan ketika mendengarkan sebuah lagu dari Kezia berjudul Aku Masih Memikirkanmu.