Di tengah penyelidikan kasus pembunuhan yang terjadi di perumahan elit, berita tentang Jenny dipindahkan ke Mabes Polri jelas membuat semua detektif merasa heran sekaligus tidak percaya.
Kebanyakan dari mereka menyangka Jenny telah melakukan kesalahan besar, tetapi gadis itu tidak pernah melakukan apa pun di luar batas. Bahkan selama menjadi detektif, Jenny sering kali memperhatikan para senior-nya. Sehingga kecil kemungkinan gadis itu melakukan kesalahan fatal.
“Kemarin itu, lo dipanggil buat masalah promosi jabatan?” tanya Delvin setelah beberapa saat mendengar cerita dari Jenny.
“Iya. Gue enggak tahu kalua jadinya begini,” jawab Jenny mengangguk patah-patah, lalu kembali menatap serius. “Tapi, baru kali ini gue ketemu sama petinggi Mabes Polri. Dan lo tahu apa?”
“Hah? Apaan?” Delvin mengernyit tidak mengerti ketika melihat ekspresi Jenny yang sedikit mendramatisir.
“Gue benar-benar enggak nyangka kalau Pak Akhtar yang selama ini kita omongin itu masih muda. Padahal gue sempat ngira dia punya istri dan anak gitu, tapi pas ketemu kemarin gue hampir pingsan di tempat.” Jenny mengembuskan napasnya sembari menggeleng tidak percaya. “Dia seumuran sama abang gue!!!”
“Abang lo yang mana? Kesatu atau kedua?” tanya Delvin serius, sebab ia juga belum pernah bertemu dengan seseorang yang digadang-gadang memiliki kepintaran luar biasa.
“Kedua!” jawab Jenny sedikit histerius. “Kaget enggak lo? Kaget enggak? Bisa-bisanya Pak Akhtar naik jabatan ngebut, sampai usia muda bisa jadi irjen!”
Delvin menganga tidak percaya. Memang ini kali pertama dirinya mendengar petinggi kepolisian berusia tiga puluh tahun, karena kebanyakan mereka sampai usia setengah abad atau lebih. Membuat lelaki itu benar-benar nyaris tidak mengerti apa yang telah diperbuat oleh Akhtar. Sampai mendapatkan promosi jabatan di usia muda.
“Tapi, seperti yang lo kira. Pak Akhtar orangnya serius, bahkan obrolan semalam itu kebanyakan gue sama Bang Ayres. Usianya sama, beda di kategori jenis unit aja. Kalau Pak Akhtar ‘kan di markas, sedangkan Bang Ayres Brimob,” ungkap Jenny meneguk minumannya yang tinggal setengah.
Delvin terdiam mencerna perkataan gadis di hadapannya yang sedikit tidak masuk akal, tetapi dirinya bukan berarti meragukan perkataan Jenny. Mungkin hanya lebih mengira kalau semuanya terasa mimpi.
“Lo banyak ketemu petinggi kemarin?” tanya Delvin menatap penasaran sembari mengunyah kentang goring yang tinggal setengah.
Jenny menggeleng pelan, lalu menjawab, “Sedikit. Pak Listanto sama sekretarisnya, terus Pak Akhtar dan Bang Ayres yang gue ceritain tadi. Sebenarnya di markas sibuk banget, kemungkinan memang para petinggi juga enggak akan keluar.”
“Benar juga,” gumam Delvin mengangguk mengerti. “Semua kantor polisi lagi nerima evaluasi kasus bulanan, jadi markas memang agak sibuk kalau akhir bulan begini.”
Mendengar hal tersebut, Jenny hanya mengangguk pelan dan menatap ke arah arloji yang ada di tangan kirinya. “Ya udah, kita lanjut nyelidikin anak korban yang diduga tersangka. Gue masih penasaran sama sikapnya acuh tak acuh.”
Sesaat Delvin hanya memandangi kepergian Jenny. Entah kenapa bukan karena perasaannya yang tidak rela untuk melepaskan gadis tersebut dari pandangan dirinya, melainkan ada sesuatu kemungkinan terjadi menimpa Jenny. Membuat Delvin merasa gadis itu tidak seharusnya pergi.
“Jenny, tungguin gue!!!” seru Delvin mengejar langkah kaki seorang gadis yang tanpa sadar cukup jauh.
Mendengar seruan dari belakang, Jenny mengembuskan napas lelah dan berbalik menatap seorang yang sedikit berlari menyusul dirinya.
Tentu saja hal tersebut membuat Jenny nyaris tertawa ketika Delvin tanpa sengaja menyenggol bahu dua gadis cantik yang berdiri tepat di depan kasir. Mungkin keduanya tengah memesan menu sampai Delvin tidak memperhatikan lebih cermat.
“Cantik ya cewek tadi,” celetuk Jenny dengan nada sedikit menggoda.
Delvin melirik tidak suka, lalu mendesis pelan. “Jangan mulai. Gue mau fokus kasus dulu, bukan cinta-cintaan.”
“Iya tahu, tapi seenggaknya bisalah, Vin. Lo udah lama banget jomlo sejak putus sama mahasiswi.” Jenny menggeleng prihatin. “Memangnya lo sekarang nyari yang gimana, sih? Masih sekolah? Atau … udah kerja? Jangan-jangan lo mau nyari pacar satu profesi!?”
Perkataan dengan nada tinggi bagian kalimat terakhir yang dilontarkan Jenny membuat Delvin menggeleng pelan. Terkadang pikiran gadis yang kini berjalan di sampingnya benar-benar tidak teratur, padahal Jenny pun tidak pernah berkencan. Entah apa yang menjadi tujuan gadis itu sampai tidak menerima perasaan siapa pun.
“Jen, lo udah nerima tawaran Pak Akhtar?” tanya Delvin menoleh sesaat.
Jenny terdiam sesaat, kemudian mengangguk dan menggeleng pelan.
Jawaban tersebut membuat Delvin mengernyit bingung. “Maksud lo apa? Iya atau enggak?”
“Mau gimana lagi? Ya gue terima, Vin. Karena ini menyangkut promosi jabatan gue dari Pak Listanto.”
“Menurut gue, lebih baik lo tolak aja, Jen. Gue ngerasa akan terjadi sesuatu sama lo.”
“Jangan terlalu skeptis, Delvin.” Jenny mengembuskan napasnya panjang. “Masa iya gue tolak gitu aja. Apa kata Pak Listanto nanti?”
Delvin mengangguk membenarkan perkataan gadis di sampingnya. “Kalau begitu, lo harus berhati-hati jangan ngelakuin apa pun.”
“Tenang aja. Gue jadi detektif bukan sebentar.” Jenny merangkul bahu sahabatnya santai. “Lagi pula gue di sana juga bareng sama petinggi kepolisian. Rasanya mustahil kalau ada yang ngelakuin sesuatu.”
Delvin mengangguk pelan, lalu menatap sembari bertanya, “Lo kapan kerja di sana? Sepertinya sekarang masih sibuk aja di Unit Investigasi Tingkat Lanjut.”
“Siang ini gue serah-terima jabatan sama Pak Listanto sekaligus ngambil semua barang yang ada buat dibawa ke sana. Tapi, Pak Akhtar yang bakalan jemput ke kantor sekaligus pamitan Pak Sutrisno,” jawab Jenny mengangguk pelan, mengingat perbincangan mereka berdua kemarin malam.
Akhirnya, setelah asyik berbincang banyak hal. Jenny dan Delvin mulai melakukan penyelidikan di daerah TKP yang masih dijaga oleh polisi. Beberapa unit masih berada di sana untuk memeriksa bukti yang kemungkinan besar tertinggal.
“Gue mau ke kamar anaknya dulu,” ucap Jenny melenggang lebih dulu ketika Delvin terlihat hendak berbincang dengan beberapa petugas Bareskrim.
Sesampainya di kamar anak korban yang ternyata cukup rapi. Semua barang tertata rapi seakan memang tidak terpakai membuat Jenny menyentuh ujung meja yang sedikit berdebu, mengira bahwa kamar tersebut memang cukup lama ditinggalkan, sebab tidak ada seorang pun yang membersihkannya.
Jenny mengelilingi seluruh isi kamar sampai pandangan gadis itu terhenti pada lemari yang tertutup rapat. Ia mulai membukanya, tetapi sayang sekali pintu terkunci membuat gadis itu mengembuskan napas panjang. Kemudian, beralih pada lemari nakas yang terdapat di sudut kamar.
Dengan pandangan penuh penasaran, Jenny mulai membuka lemari nakas yang ternyata berisikan beberapa majalan bisnis edisi terbaru. Bahkan masih ada yang tersegel membuat gadis itu yakin bahwa anak tersebut memang benar-benar pebisnis.
Namun, saking telitinya mencari bukti di kamar anak korban, Jenny tidak pernah melewatkan apa pun yang melewati pandangannya dengan rasa penasaran. Sampai gadis itu menemukan laci meja kerjas yang tidak tertutup rapat membuat Jenny melangkah mendekat dengan wajah penasaran.
Saat hendak membukanya lebih lebar, tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu membuat Jenny menoleh terkejut. Gadis melebarkan mata menatap kedatangan Delvin yang terlihat khawatir sampai Jenny tanpa sadar berdiri memegang sesuatu di tangannya.
“Dugaan lo benar, Jen! Ternyata korban terakhir kali bertengkar dengan anaknya,” ungkap Delvin dengan raut wajah panik yang tidak bisa ditutupi.