Sejenak perkataan Listanto masih terngiang-ngiang di telinga Jenny yang baru saja sampai di rumah. Gadis yang bekerja sebagai detektif itu tampak dilemma mengingat keputusan para petinggi kepolisian menginginkan Jenny bekerja di bawah pengawasan markas.
Memang hanya anggota tertentu saja bisa direkrut ke sana, tetapi semua yang dilakukan Jenny bukanlah pencapaian mengagumkan. Sehingga rasanya sedikit mustahil mendapatkan pengakuan menjadi detektif dengan koneksi tinggi.
Jelas saja menjadi seorang detektif bisa bergabung dengan polisi bergengsi membuat Jenny merasa bahagia, tetapi ia tidak mampu menghadapi Delvin yang mungkin mempertanyakan kepergiannya.
Saat bersiap untuk tidur, tiba-tiba ponsel Jenny yang berada di nakas berdering pelan membuat gadis itu kembali terbangun. Ia membuka matanya kembali, kemudian mengambil benda pipih yang memperlihatkan pesan singkat.
Nomor Tidak Dikenali
Selamat malam.
Apa benar ini nomor Jenny? Saya Irjen Akhtar dari Mabes Polri.
Sesaat rasa kantuk Jenny pun menghilang ketika lagi-lagi membaca tulisan yang tertera di layar ponselnya. Membuat gadis itu langsung terduduk dengan wajah terkejut, lalu berdeham pelan menyiapkan mental ketika lelaki yang menghubungi dirinya akan menelepon untuk memastikan sesuatu.
Jenny
Iya, benar. Saya Jenny.
Nomor Tidak Dikenali
Kamu tidak sibuk, ‘kan? Saya ingin bertemu malam ini di kafe dekat rumah kamu.
Jenny memegangi jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Ini memang pertama kalinya bertemu dengan seorang lelaki bernama Akhtar, setelah beberapa kali selalu mendengar namanya disebutkan.
Akan tetapi, gadis itu hanya merasa sedikit tidak percaya dengan promosi jabatan yang dipindahkan menjadi detektif di bawah pengawasan Mabes Polri. Membuat Jenny nyaris menyangka semuanya hanyalah mimpi, sampai matanya terasa tidak ingin bangun sama sekali. Takut akan terasa menyakitkan.
Jenny
Tentu saja. Kita bisa bertemu sekarang, Pak Akhtar.
Nomor Tidak Dikenali
Ya sudah, saya ada di kafe Suka Cita.
Tepat menjawab tersebut, Jenny langsung bangkit menyambar sweater hitam bergambar beruang berwarna cokelat. Bagian bawahnya, ia menggunakan celana kulot lurus berwarna senada dengan pakaiannya.
Setelah dirasa penampilannya cukup untuk bertemu rekan kerja baru, Jenny pun keluar dari rumah yang menemani gadis itu selama beberapa tahun. Sebab, rumah lamanya sudah diisi dengan istri dari kakak pertama sekaligus menjaga agar bangunannya tetap utuh. Akibat Jenny terlalu sibuk di kantor hingga ditakuti gadis itu tidak bisa merawat rumah sama sekali.
Pandangan Jenny tampak mengitari seluruh suasana kafe yang cukup ramai, sampai matanya bertemu dengan seorang lelaki tampan tengah duduk bersama seorang lelaki yang terlihat meletakkan nampan berisikan tiga gelas kopi hangat.
“Pak Akhtar?” tanya Jenny memastikan.
“Duduk saja,” jawab Akhtar mengangguk singkat, lalu menoleh ke arah lelaki berwajah cantik yang terlihat melepaskan jaket hitamnya. Memperlihatkan seragam hitam-hitam polisi yang begitu khas.
Seorang polisi berseragam hitam itu tampak tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya ke arah Jenny. “Perkenalkan namaku Ayres. Saya memang dari Brimob, jadi jangan takut.”
Mendengar perkenalan tersebut, Jenny menyambut dengan canggung. “Nama saya Jenny. Detektif Investigasi Lanjut.”
“Oh … ternyata ini yang namanya Jenny.” Ayres mengangguk beberapa kali sembari memandangi ekspresi Akhtar yang terlihat biasa saja, kemudian kembali menatap ke arah Jenny dengan melepaskan jabatan tangan. “Saya mendengar banyak tentang pencapaian kamu sebagai polisi. Benar-benar mengagumkan. Meskipun kamu seorang perempuan, tapi kamu berhasil membuktikan kalau polisi wanita juga memiliki pencapaian yang setara dengan laki-laki.”
“Terima kasih,” ucap Jenny tulus mendengar pujian tentang dirinya.
Akhtar mengembuskan napas singkat, lalu mulai menegakkan tubuh menatap Jenny serius. “Bagaimana dengan pembicaraan kamu dengan Pak Listanto?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Jenny meringis pelan dan mulai memberanikan diri menatap lelaki di hadapannya serius. “Pak Akhtar, kenapa harus saya?”
“Jen, santai aja. Ngomongnya jangan terlalu formal, kita udah di luar jam kerja. Lo bisa anggap dia sama gue sebagai abang lo. Kita berdua cuma beda dua tahun aja kok. Jangan dikira udah jadi bapak-bapak, lo panggil begitu,” sahut Ayres menyadari sebutan yang dilontarkan Jenny membuat mereka terasa sangat tua.
“Benarkah?” Jenny melebarkan matanya terkejut. “Jadi, naik pangkat ketika berusia dua puluhan tahun?”
Ayres yang bisa menebak respon gadis cantik di hadapannya hanya tertawa pelan. “Bukan pangkat yang kita cari, sebenarnya prestasi juga. Jadi, wajar rasanya kalau cepat naik pangkat. Karena waktu zaman kita itu terlalu banyak masalah. Sampai kasus di kepolisian pun mendadak antri.”
Sejenak Jenny ingin sekali mengagumi dua lelaki dewasa di hadapannya yang sangat berbakat dalam kepolisian. Mungkin akan terasa lebih baik jika dirinya menjadi bagian dari kedua lelaki tersebut.
“Sebenarnya Akhtar itu bukan cuma ngajakin lo aja, dia rekrut gue yang jadi pengangguran di Brimob. Memang bukan pengangguran juga, tapi lebih enggak terlalu banyak kerjaan. Jadi, dia mau gue lebih aktif lagi kayak dulu,” tutur Ayres dengan lebih santai dibandingkan Akhtar.
“Bagaimana? Kamu setuju?” tanya Akhtar setelah beberapa saat terdiam mendengarkan.
“Memangnya kita mau nyelidikin apa?” Jenny mendadak penasaran sampai dirinya didatangi seakan tengah berencana menyelsaikan kasus penting.
Akhtar menatap serius, lalu menjawab, “Kasus kebakaran dua puluh tahun yang lalu.”
Tatapan gadis cantik itu pun berubah. Tidak ada yang bisa menebak pikirannya, sampai Ayres menyenggol lengan Akhtar ketika menyadari tatapan Jenny seakan tengah menahan sesuatu.
“Kamu … mengetahui sesuatu?” tanya Akhtar menginterupsi keberadaan Jenny yang sempat bingung.
“Ti … tidak,” jawab gadis itu tergagap.
Ayres tersenyum menenangkan. “Jangan takut, kasus itu mungkin terdengar menyeramkan. Tapi, gue percaya kalau semua orang juga menantikan kebenarannya. Jadi, Akhtar membentuk Tim Investigasi Khusus untuk masalah ini.”
“Kalau begitu … mengapa dari sekian banyak orang saya yang terpilih?” tanya Jenny menjadi lebih mengerti tentang keputusan dua lelaki di hadapannya merekrut.
“Kamu pintar,” jawan Akhtar lugas. “Jangan terlalu banyak bertanya dengan jawaban yang sudah dipastikan. Karena kedatangan kita berdua ke sini bukan untuk membuang waktu.”
Jenny mendadak panik. “Bukan! Maksudku … apa ya … aduh!”
“Jangan panik, Jenny. Kalau Akhtar mempercayakan hal ini sama lo, berarti dia mengakui bakat lo sebagai detektif sungguhan,” ucap Ayres lagi-lagi menjadi penenang membuat Jenny tanpa sadar ikut tersenyum melihat tatapan tulus dari lelaki tersebut.