Lita bergegas berdiri dari tepat duduknya ketika lift terbuka dan muncul tuannya dengan langkah besar-besar. Begitupun dua temannya yang lain, bersamaan membungkuk sebagai penghormatan saat Noah berjalan di depan mereka. Ia meraih handle pintu dan membukanya untuk Noah dengan satu agenda berada di tangannya yang lain.
Noah berhenti sejenak di depan Lita mengucapkan satu perintahnya. “Suruh seseorang ke apartemenku mengambil ponsel dan berkas yang tertinggal.”
“Baik, Tuan.” Lita mengangguk. Mulutnya hendak membuka mengatakan sesuatu ketika Noah menyela.
“Bagaimana dengan Widjaja?”
“Terjebak macet, sepertinya ada kecelakaan yang menahan mobil mereka. Tapi dalam sepuluh menit akan sampai. Pertemuan dengan kepala bagian. Dan siang ada pertemuan dengan dewan direksi mengenai peluncuran produk terbaru. Tapi ...”
Sekilas Noah menyadari nada gugup yang melumuri suara Lita dan menemukan apa penyebab wanita muda yang selama setangah tahun menemani pekerjaannya kini tampak ketakutan dan penuh keraguan. Langkah Noah terhenti tepat di ambang pintu, wajahnya mengeras menatap sosok feminim lainnya yang dengan lancang duduk di kursi kebesarannya. Senyum polos yang licik dan penuh tipuan terpasang begitu apik hingga membuat Noah begitu muak dan ingin muntah. Ditambah dengan keinginan untuk melenyapkan senyum itu untuk selamanya tiba-tiba menggoda Noah seperti bisikan iblis. Mengenal wanita itu sejak kecil, belum pernah Noah merasakan kebencian yang begitu mendalam pada sosok tinggi semampai dengan rambut bergelombang yang diurai memenuhi punggung itu. Belum pernah dadanya bergemuruh seperti bada gelap yang menggetarkan dadanya karena amarah.
“Selamat pagi, Noah,” sambut Ralia dengan kedua tangan membentang. Seolah menyambut Noah ke dalam pelukannya. Dan memang itulah yang ia harapkan.
“Nona Ralia berkeras menunggu Anda di dalam.” Lita menjaga nada suaranya setenang mungkin agar tuannya tak punya alasan untuk meluapkan amarah yang seperti mendidih di ubun-ubun ikut menciprati dirinya. Sejak hubungan Noah Samudra dan Ralia Amanda mendadak merenggang dengan penyebab yang tidak diketahuinya, tuannya mendadak sangat sensitif setiap Ralia datang mengunjungi ruangan ini. Bahkan tuannya berpesan bahwa Ralia adalah tamu paling dilarang menginjakkan kaki di lantai ruangan ini.
“Lain kali, kau harus lebih keras kepala mengusirnya dari ruanganku atau aku yang akan memecatmu, Lita,” desis Noah. “Sebaiknya perjuangkan pekerjaanmu seakan kau menjaga nyawamu.”
Lita memejamkan mata dan mengangguk singkat. Cukup ketegangan yang menguar dari tubuh tuannya pada model brand ambassador perusahaan membuat napasnya berhenti dan menelan ludahnya dengan getir. Bagaimana bisa Ralia tampak begitu t***l dengan senyum ceria sementara tatapan membunuh dan aura membakar diluncurkan pada wanita itu? Hanya untuk wanita itu.
Kemudian, suara denting lift yang terbuka membuat wajahnya menoleh dan memucat menemukan istri tuannya muncul dari dalam lift. Dengan sebuah berkas di d**a dan senyum kecil penuh keramahan di wajahnya yang cantik alami. Yang tak hanya mampu memesona para kaum pria, para wanita seperti dirinya pun tak mampu menolak pesona kecantikan tersebut. Pantas saja model sekelas Ralia Amanda dibuat iri bukan main, tanpa polesan make up pun wajah Naya Samudra sudah tampak begitu cantik memesona.
“Tuan,” panggilnya dengan suara lirih. Namun, sepertinya kemarahan menulikan telinga Noah dari suaranya yang tak cukup keras. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan tuannya pada Ralia, tapi Lita bisa merasakan hal itu tak akan bagus jika disaksikan oleh Naya.
Dengan langkah besar-besar, Noah menyeberangi ruang kerjanya mendekati Ralia. Dengan geraman kemurkaan yang membuat tubuh pria itu bergetar hebat, dan bersiap untuk disemburkan.
“Tuan?” panggil Lita sekali lagi dengan suara yang lebih keras, tapi terlambat. Noah sudah dikuasai amarah yang membludak dan berteriak memanggil pun hanya akan membuat tenggorokannya sakit. Maka satu-satunya jalan untuk menghentikan pertikaian ini semakin memburuk adalah menangani Naya. Meski tahu bahaya yang mengintai Ralia lebih besar, toh kesalahan wanita itu sendiri. Lita pun berbalik hendak mengulur waktu agar Naya tak masuk ke ruangan ini.
Ralia yang merasa berbangga diri melihat langkah besar-besar Noah menghambur ke arahnya, ikut berdiri dan mendekati Noah. Mengabaikan kemarahan di wajah tampan pria itu. Jika ingatan Naya sudah kembali, semua akan kembali ke tempat semula. Naya akan pergi dari kehidupan Noah dan hanya dirinyalah yang pantas menggantikan tempat wanita miskin itu di sisi Noah.
Hanya butuh tak lebih dari satu detik, ketika kedua tubuh itu saling bertemu di tengah ruanga, lalu Noah menyambar leher Ralia dan membanting wanita itu ke dinding terdekat dengan gerakan sangat ringan. Tubuh Noah lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kuat, tentu bukan tandingan bagi tubuh ringan Ralia untuk memberontak.
Bruukkk ....
Tubuh Ralia membentur tembok dengan tangan Noah mencengkeram leher jenjang wanita itu. Amarah Noah menulikannya dari pekik kesakitan Ralia. Tentu saja ia harus menghukum wanita itu, karena sudah berani mengabaikan peringatannya untuk tidak mendekati Naya. Dan bahkan berani mengatakan sesuatu yang fatal pada Naya. Sudah tentu wanita itu menyerahkan nyawa ke hadapannya.
“Beraninya kau menampakkan wajahmu di hadapanku setelah apa yang kau katakan pada Naya?” geram Noah. Cengkeramannya di leher Ralia semakin mengetat ketika melihat ketakutan mulai membayangi satu per satu setiap lapisan wajah Ralia. Menggantikan segala kelicikan wanita itu hanya dalam hitungan detik.
Kedua tangan Ralia berusaha menarik pergelangan tangan Noah dari lehernya. Napasnya tercekik dan tubuhnya berusaha meronta. Tetapi kekuatan pria milik Noah ditambah kemarahan yang membakar pria itu, tentu tak ada harapan baginya udara bisa melewati tenggorokannya dengan mudah.
“No ... No ... aa.” Ralia mulai merasa ketakutan dengan kematian yang menggantung di atas kepalanya. Niat untuk menghabisi begitu jelas tersirat dalam kegelapan yang menggenapi bola mata Noah. Kakinya menggapai-gapai mencari pijakan yang bisa menambah sedikit kekuatannya untuk melawan kungkungan pria itu. Sial! Tubuh Noah terlalu tinggi. Mata pria itu masih digelapkan oleh kemurkaan yang tak pernah Ralia kira akan seserius dan sedalam ini.
“Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya,” desis Noah geram. Semakin mengetatkan cengkeramannya di leher Ralia. Dengan seringai tinggi di sudut bibir, ketakutan dan kepucatan Ralia benar-benar layak untuk dinikmati.
“Noah?!” Suara Naya tiba-tiba muncul dari arah belakang Noah. Berkas dan ponsel Noah dalam pelukannya kini meluncur mulus dan berhamburan di lantai memecah ketegangan yang membentang di seluruh ruangan.
Ia datang dengan senyum semringah dalam perjalanannya ke ruangan ini, tetapi pemandangan yang menyambutnya benar-benar mengejutkan dirinya.
Noah membeku. Suara Naya seketika menyadarkan dirinya. Kemarahan dalam dirinya meredup hanya dalam sedetik. Kepalanya menoleh dengan kaku, menemukan Naya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sepucat mayat. Membuat cengkeraman di leher Ralia melemah dan kepucatan Naya ikut menghiasi wajahnya.
“Apa ...” Naya berhenti. Membasahi tenggorokannya yang kering karena keterkejutan melihat suaminya hampir membunuh orang di hadapannya. “Apa yang kaulakukan?” Suara Naya tertelan kembali dan hanya mulutnya yang bergerak.
Ralia tersungkur di lantai. Memegang lehernya yang terasa nyeri dan terbatuk-batuk dengan keras. Napasnya tersengal saat berusaha mengisi paru-parunya dengan udara. Air mata jatuh membasahi wajahnya yang memerah menahan sakit. Rasa sakit di lehernya masih terasa, menandakan bahwa ia masih hidup. Ia selamat. Kelegaan itu membanjiri tenggorokannya.
Noah masih terpaku di tempatnya dan tatapannya dengan Naya terkunci selama beberapa saat. Ia tak bersuara karena tak tahu apa yang akan dikatakan pada Naya untuk menjelaskan keadaan yang baru saja terjadi. Pemandangan yang didapatkan Naya jelas sesuatu yang akan mampu mengguncang istrinya. Lebih dari jika ia tertangkap berselingkuh. Mengetahui sisi tergelap dirinya.
Pandangan Naya turun ke arah Ralia. Lalu berlari menghampiri wanita itu. Bersimpuh di samping Ralia dan mengelus punggung wanita cantik itu. “Apa kau baik-baik saja?”
Ralia masih berjuang mengisi udara ke dalam paru-parunya. Tapi perhatian yang diberikan Naya membuatnya terlihat menyedihkan dan begitu memalukan. Ia terlalu lemah menolak kedekatan dan bantuan yang diberikan Naya.
“Aku akan membantumu berdiri.” Naya memegang lengan Ralia setelah napas Ralia kembali normal walaupun kepucatan masih memenuhi wajah cantik itu. Dibantu Lita yang juga bergegas mendekat. “Di mana petugas kesehatan?” tanyanya pada Lita.
“Ada di lantai lima, Nyonya.”
Naya mengangguk, hendak membawa Ralia memeriksakan diri, tapi Noah menarik tangannya lepas dari Ralia dan menahan dirinya ikut keluar dari ruangan.
“Lita, antar dia ke dokter dan pastikan dia pulang dengan selamat. Semua pekerjaanmu berikan pada Tia dan kau bisa langsung pulang.”
Wajah Lita seketika memucat. Apa dia dipecat?
“Atur kembali semua jadwalku hari ini untuk besok,” lanjut Noah. “Dan cepat keluar dari ruanganku!” bentak Noah pada Ralia dan Lita.
Naya masih tak memercayai apa yang tadi dilihatnya ketika Noah mencekik Ralia, dan sekarang tindakan tanpa hati dan perasaan pada Ralia membuat Naya seolah tak mengenali siapa pria yang tengah mencekal lengan tangannya saat ini. Seolah-olah ada roh lain yang mengambil alih tubuh suaminya.
Naya bisa merasakan aura mengerikan yang masih tersisa dari tubuh Noah. Dengan kemarahan yang bukan ditujukan padanya saja mampu membuat bulu kuduk di tengkuk Naya berdiri, bagaimana jika Noah benar-benar marah padanya.
Naya mencoba melepas tangannya dari Noah dan tubuhnya beringsut menjauh ketika pintu ruangan itu tertutup, meninggalkannya dengan Noah sendirian. Di ruangan tertutup ini. Tetapi pria itu tak mengijinkannya.
“Noah?” Naya menarik tangannya dari cengkeraman Noah yang mulai mengetat tapi pandangan pria itu tetap terarah ke pintu. Seakan belum puas menyalurkan amarah pada Ralia yang entah dipicu oleh apa. “Sakit” ringisnya.
Mata Noah mengerjap, tersadar. Wajahnya turun ke arah tangannya dan Naya yang saling bertaut dan menyadari bahwa ia telah menyakiti Naya. Noah pun segera melepaskan tangan Naya dan berucap dengan kalut berlumur permohonan. “Maafkan aku, Naya.”
Naya menyentuh bekas cekalan tangan Noah di pergelangan tangannya yang memerah dan membawanya menempel di d**a. Dengan ketakutan yang sama besar dengan yang dirasakan Ralia, kaki Naya berjalan mundur untuk menjauh.
Noah menggelengkan kepala menangkap ketakutan yang menjalari wajah Naya. Ketakutan yang besar pun kini ikut memenuhi dirinya. Lagi lagi, apa yang dilakukannya membuat Naya menjauhi dirinya.