Bagaimana pun Naya merasa ketakutan terhadap sosok Noah yang mengejutkannya, entah apa yang membuat Naya tetap berdiam diri di tempat dan tak meninggalkan ruangan ini. Noah pun tak akan mengijinkannya keluar melihat pria itu berjalan ke arah meja. Menekan sesuatu di balik meja dan kemudian bunyi beep terdengar dari arah pintu, menyusul dinding kaca yang ada di sekitar ruangan menjadi buram. Memberi keduanya privasi.
Noah berjalan ke pantry yang ada di sudut ruang kerjanya, menuangkan segelas air putih sebelum mendekati Naya yang masih berdiri membeku di tengah ruangan, dengan raut yang lebih lunak ia mencoba menyentuh tangan Naya. Kali ini Naya tak beringsut menjauh dan membuatnya sedikit lebih baik tapi tetap jauh dari kata lega.
Ia telah melakukan sesuatu yang sangat kejam di hadapan Naya, sudah tentu istrinya itu akan sangat terguncang. Dan tak heran jika langsung berlari menjauh. Akan tetapi ketetapan Naya di tempat ini, meski butuh ruang dan sedikit waktu untuk mencerna situasi yang baru saja terjadi. Membuatnya tahu bahwa Naya tak akan meninggalkannya.
“Duduk dan minumlah,” pintah Noah dengan suara sangat lembut dan menyodorkan gelas air itu pada Naya.
Naya menatap wajah Noah dengan was-was, memastikan tidak ada lagi kemarahan pria itu yang tersisa untuk dirinya. Seperti yang diberikan pada Ralia. Dengan canggung, ia menerima gelas tersebut dan merasa lebih baik setelah menghabiskan setengah isinya. Keduanya kembali diam dalam waktu yang cukup panjang.
Kesenyapan itu benar-benar mencekik Noah. Naya duduk di sampingnya tanpa suara dan terlihat masih mencerna kebingungan wanita itu sendiri. Noah melihat berkas dan ponsel yang dibawa Naya masih tergeletak di lantai dekat ambang pintu. Naya datang kemari pasti ingin mengantarkan barang-barang itu padanya.
“Naya.” Gerakan tangan Noah yang hendak menyentuh tangan Naya berhenti ketika tubuh Naya bergerak hendak menjauh darinya ke ujung sofa. “Maafkan aku.”
Naya tak bermaksud menyinggung perasaan Noah, tapi tubuhnya yang reflek beringsut ketika Noah berusaha menyentuhnya sama buka keinginannya. Tubuhnya sendiri yang bergerak di luar kemauannya karena rasa takut yang masih menyisa. “Bukan aku yang seharusnya mendapatkan permintamaafan tersebut, Noah.” Suara Naya hampir mencicit dan ada sedikit kemarahan yang muncul di sana.
“Kau tak tahu apa yang sudah dia lakukan ...” Noah berhenti lagi, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sambil mendesah keras. Ia bahkan tak bisa menjelaskan alasan atas tindakan kejamnya tersebut pada Ralia.
“Lalu hubungan pekerjaan macam apa hingga kau sampai hati menyakiti seorang wanita? Kau bahkan nyaris membunuhnya.”
“Kau tak mengerti, Naya.”
“Apa pun itu, kau tak berhak bersikap sekejam itu. Pada seorang wanita yang lemah.”
Noah membungkam. Frustrasi dan menggusur rambut di kepala dengan jemarinya. Seolah Naya berdiri menghadang jalannya untuk melindungi seseorang yang tak pantas mendapatkan perlindungan istrinya. “Aku tak akan pernah meminta maaf padanya,” katanya keras kepala. “Dialah yang seharusnya meminta maaf padamu. Pada kita,” tekannya.
Naya tercengang. “Padaku?” ulangnya tak mengerti. “Kenapa?”
“Dia ...” Kata-kata Noah terhenti ketika matanya bertatapan dengan manik coklat bening milik Naya. Lalu menggeleng. “Lupakan.”
“Ada apa, Noah?” kejar Naya. Ia butuh memahami tindakan tak masuk akal yang telah dilakukan oleh Noah. Ia butuh penjelasan. Untuk memercayai bahwa sosok yang ada di hadapannya saat ini adalah benar-benar Noah yang dikenalnya.
“Apa kau memercayaiku?”
Naya diam. Kenapa Noah mengajukan pertanyaan semacam itu? Pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan dalam hubungan mereka.
“Apa kau memercayaiku, Naya?” Noah mengulang pertanyaannya. Menatap kernyitan di kening Naya, tapi kemudian wanita itu mengangguk dengan pelan.
“Kemarilah.” Noah membentangkan kedua tangannya. Meminta agar Naya datang dalam pelukannya.
Naya masih terdiam.
“Aku tak akan menyakitimu, Naya. Percayalah padaku.” Suara Noah syarat penuh permohonan. Hampir mengiba.
Naya menggeser tubuhnya. Noah menangkapnya dan memeluknya sangat erat. Mencium dalam-dalam ujung kepalanya dengan sangat lembut. Dan ia bisa merasakan kelegaan yana teramat besar mengaliri d**a pria itu oleh dirinya. Oleh ketersediaannya untuk datang ke pelukan pria itu.
Selain cinta Noah padanya yang sangat besar, Naya merasa ada keanehan dengan sikap Noah yang berubah lembut hanya dalam hitungan menit seperti ini. Pemandangan ketika Noah mencekik leher Ralia, ia seolah tak lagi mengenali Noah. Noahnya tak pernah memperlakukan wanita sekasar dan sekejam itu, meski dengan karakter pria itu yang terlihat berbahaya.
Tindakan Noah selalu memiliki alasan tersendiri dan ia tak pernah mempertanyakannya. Ia memercayai pria itu. Akan tetapi, kali ini muncul rasa penasaran yang membuat tanda tanya menggantung di atas kepalanya. Alasan apa yang membuat Noah hingga berlaku sekasar itu pada seorang wanita? Apa yang dilakukan Ralia hingga Noah semarah itu? Ada apa di antara Ralia dan Noah sebenarnya?
Baru semalam Noah dan Ralia bergandengan tangan di pesta demi urusan pekerjaan. Bahkan Ralia meminta maaf karena membuatnya merasa tersisih. Ah, Ralia juga meminta maaf tentang sesuatu yang terjadi di antara wanita itu dan Noah. Pikiran Naya mulai bertanya-tanya. Tentang Ralia dan Noah. Lagi, semakin ia memikirkannya, rasa menusuk itu muncul lagi di kepalanya.
Kecelakaan itu, Ralia juga mengatakan Noah ada bersamanya saat kecelakaan. Lalu, kenapa Noah berbohong padanya? Atau Raliakah yang berbohong? Apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Tusukan di kepalanya semakin intens. Naya menyerah menggali lebih dalam ingatan di kepalanya. Menyerah pada rasa sakit yang semakin berdenyut.
“Apa kau baik-baik saja?” Noah sedikit mengangkat kepalanya dan melihat wajah Naya ketika merasakan Naya meringis kesakitan dengan tangan menyentuh pelipis. “Apa kepalamu sakit lagi?”
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian keduanya, membuat Noah geram. Jika bukan karena ada Naya di sini, ia pasti sudah membentak sekretarisnya itu dan memecatnya detik itu juga.
Naya mengurai pelukan dan membuat Noah merasa kehilangan. Menatap dan menangkup wajah Naya mengabaikan ketukan tersebut.
“Sepertinya kau harus pergi.” Naya menurunkan tangan Naya dari wajahnya. Keningnya yang sedikit berkerut menahan rasa pusing yang muncul semakin intens.
“Aku tidak akan pergi,” putus Noah.
“Aku baik-baik saja. Pergilah,” yakin Naya meski ekspresi wajahnya tak bisa berbohong.
“Tidak, kau tidak baik-baik saja. Wajahnya juga sangat pucat.”
“Aku akan menunggumu di sini dan beristirahat.”
“Ta ....”
“Pergilah, Noah. Aku tak ingin kedatanganku mengganggu pekerjaanmu.”
“Kau tak pernah menggangguku, Naya.” Noah menekan suaranya dengan tegas. Sudah cukup ia mengorbankan Naya demi pekerjaannya, kali ini ia tak akan mengulangi kesalahan tersebut untuk kedua kalinya.
“Kalau begitu aku akan pulang.”
“Aku akan mengantarmu.”
“Apa yang kauinginkan, Noah,” desah Naya mulai putus asa. “Kau membuatku merasa bersalah dengan kedatanganku yang mengganggu pekerjaanmu.”
Noah mengutuk dirinya sendiri. Perhatiannya yang berlebihan ternyata malah membuat Naya merasa tak nyaman. Akhirnya ia menunjuk pintu di sudut ruangannya dan berkata, “Beristirahatlah di dalam sana. Setelah urusanku selesai aku akan mengantarmu pulang. Oke?” putusnya tak terbantahkan.
Naya pun mengangguk. “Dan jangan biarkan keberadaanku mengganggu konsentrasimu pada pekerjaan.”
“Aku tak pernah mempermasalahkannya, Naya. Tapi, aku akan menuruti kata-katamu.”
Seulas senyum manis Naya untuk Noah saat pria itu memberinya kecupan singkat di bibir sebelum beranjak keluar dari ruangannya. Pria itu juga berpesan untuk meminta pada sekretaris yang lain jika membutuhkan sesuatu.
Naya mendesah lega. Mengusir perasaan tak nyaman akan perhatian Noah yang ia rasa terlalu berlebihan. Meski Noah memang selalu seperhatian itu, sekarang semua terasa aneh dan asing.
Kenapa?
Satu tanda tanya itu kembali menghantui kepalanya.
***
Naya melambai ketika mobil Noah mulai melaju meninggalkan halaman gedung apartemen mereka. Tertegun mengamati bagian belakang mobil Noah menghilang di antara kepadatan kendaraan di jalan raya. Lalu ia menaiki beberapa anak tangga di teras gedung dan melintasi lobi menuju deretan pintu lift di bagian kiri bangunan.
“Kak Naya,” panggil suara dari arah samping Naya.
Naya menoleh dan terkejut menemukan sosok tinggi yang berdiri di antara deretan kursi tunggu di lobi yang luas. Penampilan familiar dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru gelap yang terbuka seluruh kancingnya, menampakkan kaos putih polos membungkus bagian atas tubuh pemuda itu. Celana jeans gelap dengan sepatu kets berwarna putih. Rambut gelap sedikit bergelombang seperti yang ia miliki, yang panjangnya mencapai bahu dan di kuncir di belakang. Mata coklat bening itu juga seperti miliknya. “Arfa?”
Arfa berjalan mendekati kakaknya dan langsung membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya. Melepaskan kerinduan yang teramat besar kepada satu sama lainnya.
“Bukankah kau ....” Naya tak meneruskan kalimatnya karena saking senangnya menemukan adik laki-laki yang dirindukannya kini benar-benar ada di hadapannya.
“Arfa khawatir karena nomor kakak tak bisa dihubungi. Arfa pikir terjadi sesuatu dengan kakak karena nomor kakak tidak bisa dihubungi. Jadi Arfa memutuskan untuk kembali ke negara ini secepat mungkin. Apa yang terjadi dengan kakak?”
Mata Naya melebar tak percaya. Adiknya datang jauh-jauh dari Australia hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja? Arfa tak pernah sekhawatir ini pada dirinya. Karena ia pun tak pernah membiarkan adiknya mengkhawatirkan keadaannya. “Kakak mengalami kecelakaan. Dan sebagian ingatan kakak menghilang. Itulah sebabnya kakak tak bisa menghubungimu,” jelasnya dengan sikat. “Ponsel kakak hancur dalam kecelakaan itu.”
“Kecelakaan?” Mata Arfa membelalak terkejut.
“Jangan khawatir. Sekarang kakak baik-baik saja.” Naya menepuk pundak Arfa. “Ayo naik ke atas.”
Arfa berjalan ke dekat kursi tunggu untuk mengambil tas ranselnya. Lalu mengikuti Naya menuju deretan pintu lift di bagian kiri bangunan. Mengobrol ringan tentang perjalanan Arfa selama di dalam lift. Pembahasan berat yang hendak ia bicarakan dengan kakaknya membutuhkan tempat yang lebih pribadi.
“Apa kak Noah bekerja?” tanya Arfa memastikan keberadaan kakak iparnya. Mengikuti langkah kakaknya sambil sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang penuh kemewahan. Tak diragukan lagi dengan lift khusus yang mereka naiki baru saja. Bahkan Arfa yakin gedung ini juga salah satu properti milik Noah Samudra. Yang segala aksesnya pun akan berada di tangan kakak iparnya itu.
“Ya, dia baru saja mengantar kakak. Duduklah.” Naya menunjuk kursi di meja pantri. “Kau ingin minum apa?”
“Apa pun.” Arfa meletakkan tasnya di meja dan duduk mengamati kakaknya yang mulai membuka pintu kulkas.
“Jus?” tawar Naya memeriksa isi kulkas.
“Ya.” Arfa hanya menjawab ya untuk apa pun yang ditawarkan kakaknya.
Naya mengambil kotak jus jeruk, gelas, dan berdiri di seberang Arfa. Menuangkan segelas penuh untuk adiknya. “Apa kau bertemu dengan mama dan kak Meisya?”
Arfa menggeleng. Ia bahkan berharap tak akan pernah bertemu dengan dua wanita itu seumur hidupnya. “Apa kakak baik-baik saja?”
“Ya, kakak baik-baik saja.”
“Apa mereka masih mengganggu kakak?”
Naya menggeleng. “Kakak hanya berharap mereka baik-baik saja.”
Arfa sama sekali tak mengamini harapan Naya. Segala penderitaan kakaknya berasal dari kedua wanita serakah itu. Walaupun sekarang sumber penderitaan kakaknya kini beralih pada kakak iparnya.
“Apa kau ke sini karena khawatir mama dan kak Meisya akan mengganggu kakak lagi?” tanya Naya tak percaya.
“Bukan. Ada hal lainnya yang membuat Arfa tak tenang.”
Kening Naya berkerut. “Apa?”
Arfa meneguk minumannya sebentar. Dia sudah ada di negara ini dua hari yang lalu, tapi tak bisa menemukan di mana kakaknya tinggal. Hingga tadi pagi Banyu menghubungi dan memberitahu di mana apartemen Noah. Tempat Naya berada. Ia tak akan menunggu lebih lama lagi untuk menemui kakaknya secara langsung dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Hari itu kakak menelpon Arfa. Mengatakan akan menyusul Arfa di Australia.”
“Benarkah?” Pupil Naya melebar, tangan menyentuh dadanya tak percaya. Mengapa Noah pun juga tidak bercerita tentang kunjungan tersebut padanya? “Maaf, kakak tidak bisa datang. Apa kau kesal karena kakak tidak datang mengunjungimu?”
Arfa menggeleng. “Bukan mengunjungi. Kakak bilang akan tinggal di sana. Sepertinya kakak sedang bertengkar dengan kak Noah. Dan sementara saat itu kakak tinggal di apartemen kak Banyu.”