Eva Samudra benar-benar mempunyai tekad yang luar biasa besar dan kuat. Meskipun dengan penuh kesinisan, Noah merasa salut dengan kegigihan mamanya. menemukan wanita paruh baya itu duduk di ruang tengah dan berbincang dengan istrinya. Well, sejak kapan mamanya itu bergaul dengan istrinya hingga memaksakan senyum palsu demi menyembunyikan rasa jijik? Bersandiwara sehebat itu di depan istrinya penuh kemunafikan.
Sendau gurau Naya dan Eva terhenti ketika perhatian mama mertuanya itu beralih ke belakang mereka dan menemukan Noah yang berdiri di ambang pintu apartemen. Naya berdiri, menyambut Noah dengan senyum cerianya. “Noah? Kau sudah pulang?”
Noah memaksakan senyum ketika wajahnya bertatapan dengan Naya, dan dalam sedetik berubah dingin ketika istrinya berpaling dan menatap tajam pada sang mama.
“Mama datang ingin melihat keadaanku. Membawa beberapa hadiah,” beritahu Naya dengan nada riang melihat keheranan suaminya akan keberadaan Eva Samudra. Ditambah haus kasih sayang seorang ibu membuatnya begitu bahagia dengan perhatian mama Noah. Memberinya hadiah yang tak pernah ia dapatkan dari ibunya. Hidupnya yang dulu terasa sangat mengerikan, dalam sekejap kini menjelma menjadi kebahagiaan yang sempurna. Seperti dongeng dengan akhir bahagia. Selamanya.
Noah mengangguk kecil. Mengulurkan jas dan tasnya pada Naya. Melonggarkan dasi yang terasa lebih mencekik dengan keberadaan mamanya di sekitar Naya.
“Apa kau ingin minum dan menyapa mama sebelum mandi?” Eva Samudra menawarkan, dengan maksud yang tersembunyi yang tersirat sangat jelas di maniknya. Ditujukan hanya untuk putra tunggalnya.
Pertanyaan yang bagus. Noah butuh waktu berbicara berdua dengan mamanya. Berbicara dengan mamanya tanpa topeng yang dipake mamanya di depan istrinya.
“Aku ingin jus. Apa pun yang ada di kulkas,” ucap Noah pada Naya. Dengan niat agar Naya menjauh dari mamanya dan tidak mendengar apa pun percakapannya dengan Eva Samudra.
Naya mengangguk dan segera berlalu ke arah dapur.
Eva berdiri sambil meraih tas tangannya. Merasa urusannya telah selesai. Ia tak ingin lebih banyak membuang waktu berharganya hanya untuk menantu tak tahu diri itu. Hanya inilah tujuannya membuang-buang waktu dan sandiwaranya untuk wanita kumuh itu.
Noah melirik dingin undangan yang ia lempar ke tempat sampah kini berada di sisi meja tempat Naya duduk. “Apa Mama tidak akan menyerah?”
Eva tersenyum tipis dengan lebar. “Istrimu benar-benar wanita yang polos, Noah. Aku tak tahu bagaimana dia bisa terlihat begitu baik-baik saja dengan semua kebohongan ini. Aku juga tak tahu kalau dia terlalu naif dengan kebahagiaan semu yang kau berikan. Ketololannya benar-benar membuat mama kagum.”
Noah tak menyangkal, tapi jemarinya terkepal sangat keras di kedua sisi tubuhnya. Karena dirinya sendirilah yang membuat istrinya hidup dalam kebohongan. Dan ia bersumpah kebahagiaan yang Naya alami bukanlah kesemuan.
Eva mengangkat jam tangannya. “Sepertinya mama harus pulang. Sampaikan salam mama pada istrimu.”
Noah membungkuk mengambil kartu undangan di meja, menyodorkan pada mamanya. “Mama melupakan sesuatu.”
Eva berhenti, melirik kartu undangan tersebut dengan ketenangan yang memuaskan. “Kau tak akan tega melukai hati istrimu, Noah. Itulah kelemahanmu. Kelemahan terburukmu.”
Bayangan senyum bahagia yang ada di wajah Naya melemahkan tubuh Noah. Mamanya benar, Naya adalah kelemahannya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan mamanya pada Naya hingga istrinya terlihat begitu bahagia, tapi ia yakin Naya akan memaksanya datang ke acara sialan itu sebagai bentuk kepatuhan seorang anak menantu.
“Apa mama sudah pulang?” Naya terheran tak menemukan mama mertuanya lagi di ruang tamu.
Noah tergelegap, lalu mengangguk dan mengambil jus jeruk di nampan yang dipegang Naya.
Naya mengambil undangan di genggaman Noah dan tersenyum. “Apa aku pernah mendatangi pesta seperti ini sebelumnya?” tanya Naya. Melihat kartu undangannya saja yang begitu mewah, Naya tak bisa membayangkan pesta itu akan semewah apa.
Noah berhenti meneguk minumannya. Tohokan besar mendarat di dadanya dengan cara yang menyesakkan. “Bisakah kau menyiapkan air panas untuk berendam? Badanku sangat pegal.”
Naya langsung mengangguk. Meletakkan undangan yang ia pegang, membawa kantong besar yang tergeletak di sofa, dan segera berlalu ke arah pintu kamar mereka. Sambil menunggu bath up penuh dan karena tak melihat Noah masuk ke dalam kamar, Naya membongkar kantong belanjaan yang dibawa oleh mama mertuanya. Matanya berbinar, gaun berwarna peach dari bahan sutra dengan hiasan permata sepanjang lengan panjangnya. Tertutup tapi tak mengurangi keanggunan dan keeleganan gaun tersebut. Ini gaun terindah yang pernah ia lihat, ia bahkan tak berani bermimpi akan mengenakan gaun seindah dan semahal ini seumur hidupnya. Naya menempelkan gaun itu di tubuh bagian depannya dan berjalan ke arah cermin. Mematut tubuhnya secara utuh. Gaun itu menyentuh lantai dan menjuntai sangat indah menutupi kakinya yang panjang. Matanya berbinar dan penuh takjub pada gaun itu tak bisa ia tahan. Sungguh sangat indah.
***
Noah menyusul Naya masuk ke kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika sampai di ambang pintu kamar mereka. Tak bisa menahan senyum tertarik di kedua sudut bibirnya melihat senyum lebih lebar yang menghiasi wajah Naya. Yang berbinar penuh kekaguman akan gaun yang ditempelkan di tubuh bagian depan istrinya.
Naya memang terlihat begitu cantik dengan gaun indah itu. Tapi dibanding dengan gaun indah itu, Naya jauh lebih terlihat cantik karena senyum yang melebar di kedua sudut bibir istrinya.
Baiklah. Jika ini memang yang mamanya inginkan untuk mencengkeram kelemahannya. Noah akan datang ke pesta itu. Setidaknya, ia akan memperkenalkan Naya kepada orang-orang di dunia mamanya. Sebagai istrinya. Istri sahnya.
“Apa aku terlihat cantik?” Naya berbalik menyadari keberadaan Noah di ambang pintu kamar. Yang mengamati tingkahnya entah sejak kapan.
Noah berjalan mendekat. Memeluk pinggang Naya dari belakang dan mencium pipi istrinya dengan lembut. “Kau selalu tampak cantik di mataku, Naya. Apa pun yang kau pakai,” bisiknya lembut dengan nada menggoda di telinga Naya.
Naya menggenggam kedua tangan Noah di perutnya. Menoleh ke samping memberikan ciuman balasan di pipi suaminya. “Aku bertanya pada orang yang salah atau pertanyaanku yang salah?”
Jemari tangan Noah naik ke d**a Naya. Melepas kancing dress Naya sambil berbisik dalam dengan nada lebih yang lebih berat. “Dan kau lebih cantik saat tak memakai apa pun.”
“Noahhh ...” Naya terpekik ketika tiba-tiba tubuhnya terayun naik dan berada dalam gendongan Noah. Gaun yang ia pegang terjatuh di lantai karena kedua lengannya terpaksa mengalung di leher Noah agar tubuhnya tidak terjatuh. Pria itu membawanya ke ranjang membaringkan tubuhnya dengan lembut sebelum menindihnya.
“Aku sudah menyiapkan airmu,” sela Naya saat Noah mulai melucuti dressnya dan membuangnya ke lantai.
“Heumm, itu bisa menunggu.” Bibir Noah sudah tenggelam di kelembutan kulit leher Naya. Merambat naik ke bibir dan membakar keduanya.
***
Perjamuan makan malam yang ditujukan untuk penggalangan dana itu ternyata lebih meriah daripada yang Naya bayangkan. Suara musik beralun lembut, pelayan berseragam hitam putih hilir mudik memenuhi permintaan tamu dengan penampilan luar biasa mewah. Dengan nampan berisi minuman dan makanan yang tak hanya bisa dinikmati oleh lidah, melainkan juga lezat di pandang mata.
Pemilik rumah menghias rumah dengan sangat royal dan memanjakan mata para tamu-tamunya. Dengan lampu indah di sekeliling air mancur buatan di tengah ballroom. Dengan bunga-bunga indah dan berwarna-warni di setiap sudut ruangan. Yang menyenangkan hati.
Semua orang menyambut kedatangan Noah dengan sangat antusias. Memuji dan tak berhenti melimpahi Noah dengan segala perhatian. Namun, semua itu hanya untuk Noah. Tak satu pun dari mereka sudi untuk meliriknya, selain tatapan-tatapan sinis para wanita. Yang merasa risih dirinya berada di sekitar Noah. Dan ia merasa tersisihkan. Hingga akhirnya ia memaksa Noah melepas tautan lengan pria itu dipinggangnya dan beralasan hendak ke toilet. Ia tahu, kapan saat kehadirannya tak diinginkan.
Sekembalinya dari toilet, Naya kehilangan Noah. Noah tidak ada di tempat pria itu saat ia tinggalkan. Matanya mencoba mencari pria itu di antara kerumunan para tamu yang tak ada satu pun yang ia kenal. Merasa lelah, Naya menyerah dan berjalan ke sudut ruangan. Menatap hidangan kue-kue mewah yang tersaji di meja bundar. Mencoba mencari kesibukan agar dirinya tak terlihat begitu menyedihkan di antara keriuhan dan canda tawa para tamu. Yang begitu menikmati setiap detik momen di tempat ini. Bersama teman dan kenalan.
Naya berusaha acuh dengan cibiran para wanita yang berkelompok tak jauh dari tempatnya berdiri. Sepertinya kelas sosial tempatnya berasal sudah diketahui oleh hampir semua tamu undangan di sini. Ataukah memang sudah lama. Umur pernikahannya dengan Noah sudah lebih dari setengah tahun.
“Kuakui aku rela merendahkan diri untuk gaun seindah itu, tapi aku tak menyangka Noah membawa wanita rendahan seperti dia ke pesta ini. Seharusnya Noah menyimpannya di kamar hotel saja. Itu sudah lebih dari cukup.”
“Kurasa harga dirinya tak semahal gaun itu.”
“Sungguh disayangkan, gaun semewah itu harus dinodai dengan darah kotornya.”
Naya hanya mampu terdiam. Tak bisa menyangkal karena apa yang diberikan Noah padanya selain cinta yang begitu besar dan keluarga, adalah limpahan harta. Isi lemari dan dompetnya, kendaraan yang ia tumpangi, ranjang yang ia tiduri, apartemen yang ia tempati. Semua adalah hal berbau materi yang diinginkan wanita mana pun. Tak banyak wanita beruntung seperti dirinya. Ia merasa sedikit bangga dengan hal itu meskipun semua kemewahan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan cinta Noah untuknya. Dan Naya merasa sangat beruntung hanya dengan Noah disisinya. Ia tak perlu memikirkan pendapat mereka.
“Well, mungkin dia hanya mainan Noah. Lihat!”
“Woowww, seperti itulah seharusnya wanita yang bersanding dengan Noah.”
“Mereka pasangan yang sempurna.”
Mau tak mau Naya mengikuti arah pandangan yang ditunjuk wanita bergaun hijau muda. Melihat seorang wanita menggelayutkan lengannya di lengan Noah dengan manja. Keduanya tampak tersenyum dan mengobrol pada pasangan paruh baya di hadapan mereka. Dan keduanya terlihat sempurna bersama.
Naya berusaha mengingat, wanita itu adalah wanita yang menyapanya di depan ruang kerja Noah beberapa hari yang lalu. Menepis kecemburuan yang mulai menyeruak, Naya menundukkan kepala. Berusaha berkonsentrasi pada makanan yang ada di hadapannya. Noah mencintainya, Noah mencintainya, Noah mencintainya. Naya merapal mantra demi ketenangan hati dan pikirannya. Noah pasti memiliki alasan membiarkan wanita lain bergelung di lengan pria itu. Alasan sangat kuat karena Noah pernah mengatakan bahwa wanita itu bukan orang baik.
Pria itu mengurus bisnis yang begitu besar, tentu banyak orang yang berkeliling disekitar suaminya. Pria atau pun wanita. Dan ia harus berusaha memahami posisi itu sebagai istri yang baik.
Puding yang masuk ke mulutnya terasa hambar, padahal ia yakin aroma kue itu sangat harum dan tak akan mengkhianati lidahnya. Mungkin karena pikirannya yang tak bisa berhenti memikirkan wanita yang seenaknya saja menyentuh Noahnya. Lalu, Naya berniat memutar kepala meskipun tahu akan merasa kesal pada pemandangan yang akan ia dapatkan lagi.
“Hai.” Tiba-tiba wanita yang tadi bersama Noah kini menghampiri Naya dengan senyum lebarnya. Berhenti di samping Naya dan menyeleksi hidangan yang terhampar di meja sebelum memutuskan mengambil potongan sangat kecil coklat di dekat Naya dan melahapnya. “Namaku Ralia.”
Naya mengernyit pada tangan wanita itu yang terulur. Apakah mereka sebelumnya memang tidak saling mengenal?
“Noah menceritakan tentang ingatanmu yang bermasalah karena kecelakaan itu. Mungkin kau melupakan namaku.” Wanita bernama Ralia itu menjelaskan karena kebingungan Naya.
Naya mengangguk mengerti dan sekali lagi memaksa sebuah senyuman untuk Ralia. Wanita itu begitu cantik, elegan, dan sempurna. Melihat Ralia bersanding di samping Noah tiba-tiba membuatnya merasa buruk. Semua mata menatap penuh kekaguman ketika Ralia dan Noah berdiri bersama. Tidak ketika Noah bersamanya.
“Maaf, aku benar-benar tak bermaksud membuatmu merasa tersisih. Ini hanya masalah pekerjaan.”
Naya menggeleng. Raut sesal begitu kental di wajah wanita itu, membuat Naya merasa tak enak sendiri dan tak tahu harus berkata apa untuk perminta-maafan yang tak perlu. Ia tidak bisa menyalahkan kesempurnaan seseorang, bukan? Namun, entah kenapa dengan senyum yang selalu Ralia tampakkan, tubuhnya selalu menjaga jarak. Hingga ia merasakan keterpaksaan yang mengekang dirinya untuk tetap berada di tempat ini.
“Gaunmu sangat cantik,” puji Ralia di antara keheningan mereka.
Naya merasa kikuk dengan pujian tersebut. Sudah tentu pujian itu hanyalah basa basi Ralia yang entah disertai niat apa. Semua orang tahu, gaun Ralia lebih segala-galanya daripada gaun yang dipilihkan mama mertuanya untuknya. Walaupun baginya ini adalah gaun terindah yang pernah ia kenakan.
“Aku tahu apa yang terjadi padaku dan Noah tidak seharusnya terjadi. Tapi aku merasa lega kalian bisa mengatasi masalah kalian dengan baik.”
Mendadak d**a Naya terasa dicubit dengan sangat keras. Seperti luka lama yang kembali dibuka, tapi ia tak bisa mengingat apa penyebab rasa sakit tersebut. Dadanya begitu sesak, sesuatu di kepalanya berputar membentuk pusaran. Memberinya rasa pusing yang ringan.
“Maaf, tapi aku tak tahu apa yang kaubicarakan.” Naya menjawab dengan sesopan mungkin meskipun hatinya tergoda untuk tahu lebih jauh dan menggapai ingatannya yang hilang.
Mata Ralia melebar dan keterkejutan melintas di wajahnya. “Ya, aku mendengar tentang kecelakaan kalian. Tapi separah apa kecelakaan itu menimpamu dan Noah, aku sungguh tak tahu.”
“Apa?” Naya terkejut. Ia tak tahu, apakah kecelakaan yang dibicarakan Ralia adalah kecelakaan yang sama dengan yang ia pikirkan? Kecelakaan kalian? Denyutan kecil tiba-tiba muncul di kepala saat ia berusaha mengingat kecelakaan yang menimpanya. Apakah Noah juga bersamanya saat kecelakaan itu terjadi? Ataukah Ralia yang tidak benar-benar tahu apa yang terjadi? Dan mendapatkan informasi yang salah.
“Maaf, Naya. Aku harus pergi.” Ralia menepuk pundak Naya dan berlalu. Meninggalkan Naya dalam kebingungannya.
“Ralia jauh lebih sempurna sebagai pendamping Noah. Mungkin Ralia dan Noah sedang bertengkar dan wanita itu hanya sebagai alat agar Ralia berhenti merajuk,” bisik-bisik wanita yang masih tak lelah menggosipkan dirinya membuat kepala Naya semakin berdenyut dan menenggelamkan semua canda tawa para tamu di sekitarnya.
Naya meletakkan piring keci di tangannya ke meja, lalu menyentuh kepalanya bermaksud meredakan pusing yang mulai datang semakin intens.
“Naya.” Eva Samudra muncul dan menyentuh pundak Naya dengan lembut.
Naya tersentak dan menoleh. Menahan denyutan di kepala lalu melengkungkan satu senyuman sempurna untuk mama mertuanya. Namun, senyum itu hanya bertahan selama lima detik. Naya merasa tubuhnya sedikit tidak seimbang dan memegang pundak Eva sebagai sandaran dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memijit sisi kepalanya lebih keras. “Ma.”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Maafkan Naya, Ma. Kepala Naya sedikit pusing.”
“Mama akan membawamu untuk beristirahat.”
“Ta ... tapi Noah.”
“Noah masih terlalu sibuk. Mama akan mengurusmu. Ayo.” Dengan senyum licik yang tersamar, Eva Samudra membawa Naya keluar dari kerumunan pesta. Ke tempat semua hal ini dimulai.
Terlalu curang jika Naya mengambil cara pintas dengan kehilangan ingatan seperti ini. Wanita itu harus menghadapi kenyataan yang sebenarnya meskipun berlumur kepahitan. Karena hidup tak pernah mudah dan semanis dalam dunia dongeng wanita itu.
***