Part 6

1805 Words
Naya turun dari ranjang rumah sakit setelah salah satu perawat membersihkan gel di perutnya dengan lap berwarna putih. Noah menghampiri dan membantunya mengenakan sandal meskipun ia tak membutuhkan bantuan. Salah satu dari sekian banyak hal kecil yang perhatikan oleh Noah. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Noah sambil menarik satu kursi untuk Naya dan dia berdiri di belakang memegang bahu Naya. “Secara keseluruhan keadaan rahimnya sudah kembali seperti semula dan baik-baik saja. Apa pendarahannya sudah berhenti?” Naya mengangguk. Haidnya sudah berhenti sejak seminggu yang lalu, dan tubuhnya pun sudah terasa lebih sehat dari sejak keluar dari rumah sakit. Luka lecetnya pun sudah tidak membekas lagi di wajah maupun di lengannya. “Apakah ada keluhan lain?” Naya menggeleng. Dokter itu mengangguk-angguk ringan sambil menuliskan beberapa resep di kertas putih. Lalu menyodorkan pada Naya sambil berucap, “Saya hanya meresepkan beberapa vitamin.” Dokter itu memgucapkannya sambil melemparkan satu lirikan kepada Noah. Naya mengambil kertas tersebut. Mengucapkan terima kasih dan keduanya berpamit. “Aku benar-benar lega.” Naya menghela napas dan mengalungkan lengannya di lengan Noah ketika keduanya berjalan di lorong menuju lift. “Aku sempat mengira rahimku akan rusak dan tidak bisa memberimu keturunan.” Noah melepas rangkulan Naya dan berganti menyandarkan kepala istrinya di bahu. Meremas lengan atas Naya dan berbisik, “Aku pun tak akan keberatan jika kau tidak bisa memberiku keturunan, Naya. Kau sudah melebihi kebahagiaan apa pun yang kuinginkan.” “Terima kasih, Noah.” Naya tersenyum, kata-kata Noah selalu mampu membuat hatinya menghangat sebelum terbang ke awang-awang. Keduanya berhenti di ujung lorong. Menekan tombol dan menunggu. Noah tiba-tiba berhenti dan mengurai pelukannya ketika pintu lift terbuka. Membuat Naya bertanya karena Noah menahan lift tetap terbuka, “Ada apa, Noah?” “Sepertinya ponselku tertinggal di ruang dokter,” Noah mengeluarkan kunci mobil dari kantong celana lalu mengulurkannya pada Naya. “Kau tunggu di mobil, aku akan kembali sebentar.” Naya mengangguk dan mengambil kunci mobil tanpa curiga. “Kau hanya perlu turun ke basement. Kau masih ingat di mana mobil kita terparkir, bukan?” Naya tersenyum. “Aku hanya hilang ingatan, Noah. Bukan jadi pelupa. Sepertinya itu memiliki perbedaan yang basar.” Noah terkekeh. Menurunkan wajah memberi kecupan singkat di bibir dan mundur satu langkah. Memastikan pintu lift tertutup dan membawa Naya ke lantai bawah sebelum ia berbalik dan kembali menuju ruangan dokter. “Bagaimana keadaan rahimnya?” tanya Noah tanpa basa-basi ketika langsung menggeser pintu ruangan dokter dan masuk. “Apakah dia siap untuk kehamilan selanjutnya?” Dokter itu mengangguk. Menyodorkan ponsel Noah yang sengaja ditinggal untuk mendapatkan laporan sesungguhnya pasien. Ia sendiri tak bisa berbuat banyak mengenai keadaan pasien. Amnesia yang diderita setidaknya menyelamatkan pasien dari pukulan emosional, meskipun kebohongan ini seperti bom waktu yang siap meledak. Setidaknya, kehamilan kedua akan mengurangi luka hati akibat kehilangan anak pertamanya, bukan? Ia tak berani memikirkan kemungkinan buruknya. “Kondisi rahim sudah membaik dan kembali seperti semula. Pendarahan juga sudah berhenti. Jadi, ya. Pasien siap untuk kehamilan selanjutnya. Dan saya juga meresepkan obat penyubur.” Noah mengangguk. Mengambil ponselnya di meja dan bertanya lagi, “Apakah akan ada dampaknya jika hamil lebih cepat?” “Tidak ada. Hanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Tiga kali lipat dari kehamilan pertama.” Noah memperhatikan dengan saksama. Kali ini ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya hanya untuk Naya dan calon anak mereka. Tak akan teralih oleh apa pun. “Misalnya menghindari stres dan menjaga pola makan. Sepertinya pola makan pasien sempat terganggu sebelum keguguran terjadi.” Noah mengangguk. Pertengkarannya dengan Naya bukan hanya memberikan dampak negatif pada mereka berdua, melainkan juga pada janin dalam kandungan Naya. Ia ingat, dokter memberitahu bahwa selain pendarahan yang hebat, wanita itu juga mengalami kekurangan gizi. Bagaimana mungkin, di antara kemewahan yang ia berikan pada Naya, bisa membuat istrinya yang tengah hamil mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Di saat seharusnya kebutuhan gizi ia perhatikan melebihi dari keadaan normal. Itu semua hanya menunjukkan bagaimana ketidakbecusannya terhadap wanita yang ia cintai dan buah hati mereka. Semua ini akan menjadi pelajaran yang keras untuknya. “Hanya itu?” Dokter John mengangguk. “Selebihnya tidak ada masalah apa pun kecuali ingatannya yang belum kembali. Saya benar-benar berharap yang terbaik untuk kesehatan pasien.” “Tidak ada lagi yang saya inginkan di dunia ini kecuali kebahagiaannya. Anda tahu alasan saya melakukan semua ini.” Dokter John mengangguk, demi kebahagiaan pasien. Sedikit gemetar dengan ketajaman manik Noah. Apa pun selain itu, ia tak akan berani bertindak macam-macam dengan pewaris tunggal Samudra Group. Apalagi membuat seorang Noah Samudra ini tidak suka kepadanya. Noah berdiri. Mengeluarkan amplop coklat yang tampak mengembung berisi tumpukan uang tunai. “Terima kasih atas kerjasama, Dokter. Mungkin tak lama lagi kita akan bertemu kembali untuk memeriksa calon anak kedua kami.” Dokter itu mengangguk. Menatap Noah membalikkan badan dan melangkah keluar ruangan. Mengelus d**a dan mengembuskan napas dengan lega. Dia hanya perlu menutup mulut, kan? Atau karirnya berakhir dengan menggenaskan.   ****   “Apa jadwalku selanjutnya,” Noah bertanya ketika melewati meja sekretarisnya. Ia sudah membatalkan meeting pagi demi mengantarkan Naya ke rumah sakit dan kembali ke rumah. Lita langsung beranjak dari kursinya dan mengekor di belakang Noah menuju ruangan bosnya dengan map di pelukan. “Saya sudah membatalkan pertemuan hinggan jam dua belas. Berjaga-jaga jika Tuan datang lebih lambat.” Noah mengangguk puas dengan pekerjaan Lita. Melepas jas dan menggantungnya sembarangan di gantungan kursi sebelum duduk. “Lalu?” “Makan siang dengan klien dari Cina.” Noah hanya mengangguk ringan. “Kau ikut denganku.” “Ta ... tapi ...” Lita tergagap dan wajahnya memucat. “Bukankah nona Ralia yang akan ...” Noah menatap penuh peringatan pada Lita. Ia menyuruh Lita ikut karena bersama Ralialah ia seharusnya pergi menemuk klien dari Cina itu. Itulah sebabnya ia menyuruh Lita menggantikan Ralia. Ia sedang tidak ingin melihat wajah wanita itu. “Beliau sudah menelpon akan menjemput Anda sebelum menuju ke sana.” “Kau bisa menelponnya kembali sebelum dia menuju kemari.” Bibir Lita terkatup rapat. Kebingungan karena tahu perintah semacam ini juga akan membuatnya tersudut ole Ralia juga. “Mulai sekarang, hapus semua jadwalku yang berhubungan dengannya,” tambah Noah. “Kau benar-benar tak profesional, Noah.” Suara mengejek tiba-tiba menyela perbincangan tersebut. Eva Samudra dengan setelan biru laut dan tas serta sepatu senada masuk. Memberi isyarat mata pada Lita untuk keluar.   Noah menghela napas dan bersandar di punggung kursi. Bersiap dengan hari berat yang siap menghadang dengan kedatangan mamanya. Eva berjalan mendekat dan berhenti di depan meja Noah. “Mama mendengar kau membawa Naya ke perusahaan kemarin siang?” ‘See?’ batin Noah. “Ya, kami makan siang bersama,” jawab Noah mengabaikan kekecewaan dan amarah yang berusaha dipendam oleh mamanya. Bukan rahasia lagi, jika Eva Samudra tak menyukai atau hampir membenci istrinya. Namun, karena Nayalah satu-satunya alasan ia kembali ke tempat seharusnya berada yang tak ia inginkan, Eva Samudra terpaksa menyetujui pernikahan mereka. Membiarkan istrinya tinggal di istana megah Eva Samudra yan steril dari k***********n. Dalam keluarganya, mama selalu menjunjung tinggi harkat, martabat, dan kelas sosial. Dan tentu Naya bukanlah menantu yang diinginkan, bagi keluarga atau siapa pun yang mengenal Samudra Group cukup dekat. “Apakah dia menggunakan lift pribadi? Apakah banyak karyawan atau para direksi yang melihat?” Eva begitu jelas menuntut jawaban. Dengan ekspresi khawatir di seluruh wajah dan tubuhnya. “Lain kali, akan kupastikan semua yang ada di gedung ini menyadari kehadirannya,” sesal Noah sungguh-sungguh. Membuat wajah Eva semakin memucat. Keduanya saling pandang dalam diam. Melemparkan tatapan perlawanan yang begitu jelas. Hingga Eva mengerjapkan mata memutus kontak ketika teringat sesuatu. Memilih mengalah, ia merogoh tas tangannya. Mengeluarkan sesuatu lalu meletakkannya di hadapan Noah. “Apa ini?” Noah melirik undangan bercorak emas dan maron yang tergeletak di meja. Undangan yang sudah ia tolak pada sekretarisnya, tapi ia tahu mamanya akan ikut campur lebih jauh. “Kau harus datang.” “Untuk apa aku mendatangi pesta yang tak diharapkan istriku?” “Istrimu tak perlu ikut. Kau harus datang bersama Ralia sebagai CEO perusahaan ini.” “Dan membiarkan istriku kesepian menunggu suaminya berkencan dengan wanita lain di rumah?” “Dia model perusahaan kita.” “Mama tahu benar akar permasalahan pernikahanku dan Naya adalah wanita itu,” desis Naya tajam. “Jangan berlebihan, Noah. Ini hanya urusan pekerjaan. Apakah istrimu masih bersikap sentimentil meskipun ingatannya menghilang?” Eva menyesalkan dengan menantunya yang tak juga ikut menghilang saja. “Aku pun, bahkan akan lebih sentimentil jika memergoki istriku berciuman di klub malam dengan pria lain. Dan akan kupastikan pria itu mati dan kukubur dengan tanganku sendiri.” Kedua tangan Noah terkepal. Seolah-olah itu benar-benar terjadi dan tak diragukan lagi. Bibir Eva terkatup rapat. Sesaat kemarahan Noah membuatnya takut. “Lalu sampai kapan kau akan bersembunyi dari undangan-undangan semacam ini?” Noah terdiam memikirkan jawaban. Ia memang tak bisa terus-menerus menolak undangan-undangan formal seperti ini. Bisnis harus tetap berjalan atau ia akan menelantarkan nasib ribuan bawahannya. Lagi pula, ia membutuhkan semua kekuatan bisnis dan koneksi ini untuk melindungi Naya dari sesuatu yang hanya bisa ditukar dengan uang. “Aku tidak tahu. Mungkin setelah kami mengumumkan pernikahan kami ke publik.” Eva terkejut dan wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Tubuhnya hampir terhuyung ke belakang saking kagetnya. “Kau ... Apa kau ingin menghancurkan bisnis keluarga kita?” “Lalu, Mama pikir sampai kapan aku akan menyembunyikan istri sahku?” Eva kehilangan kata-katanya, hampir kehilangan napas jika ia tidak segera menarik udara menuju paru-parunya. Putranya sengaja menekankan kata ‘istri sah’ hanya untuk mengusik ketenangan dirinya dengan cara yang lebih akurat. Noah tahu kata-kata itu sangat dibencinya melebihi diri wanita kumuh itu sekali pun. “Pikirkan bagaimana jika Mama berada di posisi Naya dan memiliki mertua seperti Mama. Mama boleh pergi sekarang.” Noah mengambil undangan di meja dan melemparnya ke tempat sampah. Mengakhiri perdebatan. Eva Samudra keluar dengan kefrustasian memenuhi kepala dan wajahnya. Namun, ia tak akan berhenti membuat putranya kembali terlibat dalam kehidupan keluarga yang sesungguhnya. Tanpa noda dan cacat. Mata Noah terpejam, teringat malam itu ia menghadiri pesta yang sama seperti undangan yang ia buang. Mengingat betapa kecewanya Naya ketika mamanya melarang wanita itu pergi karena tak ingin gosip beredar di luar sana dan memberikan dampak negatif pada nama perusahaan. Di balik senyum kuat Naya, ia bisa melihat kesedihan tak terkira ketika Naya menemukan majalan yang menampilkan dirinya dan Ralia bergandeng tangan sebagai cover utama beberapa majalah bisnis dan gosip. Status sosial Naya lagi-lagi membuat wanita itu menjalani hidup sebagai simpanannya meskipun dengan pernikahan yang sah telah mengikat mereka. Namun, kali ini semua itu tak akan terulang. Ia akan memastikan Naya dipandang seperti orang-orang memandangnya. Jika ada satu orang pun yang melihat Naya dengan tatapan hina, maka ia akan memastikan orang tersebut lebih hina lagi. Naya adalah istrinya. Tempat wanita itu adalah di sisinya. Bagi matanya maupun manusia mana pun yang memiliki mata ketika menatap ke arah mereka.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD