Bab 7. Mantap Bercerai

1049 Words
Lamat-lamat Aya membuka kedua matanya. Ia perlahan mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ketika kedua mata sudah terbuka, Aya melihat langit-langit sebuah ruangan yang tidak asing sebelumnya. Benar juga. Aya ingat, kalau tadi ia pingsan. Aya memperhatikan sejenak ruangan yang ia tempati. Ia berada di salah satu kamar pasien. Mungkin saat ia pingsan tadi, ia langsung dibawa ke kamar pasien yang kosong? "Aya?!" Suara bapak Aya membuat Aya benar-benar seratus persen sadar. Bapak Aya segera berjalan cepat ke arah Aya. Aya menoleh ke samping di mana beliau tadi menunggu Aya sadar. "Kamu sudah sadar?!" tanya bapak Aya sekali lagi. "Bapak, bagaimana keadaan Nala di rumah?" tanya Aya begitu sadar. Tentu saja yang ada di dalam pikiran Aya saat ini adalah putrinya. "Nala baik-baik saja di rumah. Kamu tenang saja. Sekarang yang terpenting adalah kesehatanmu," kata bapak Aya lagi. "Syukurlah. Ini sudah jam berapa?" "Ini jam dua belas malam. Apa kamu masih pusing?" "Sedikit, Pak. Tapi tidak apa-apa." Aya kemudian melihat sekitarnya lagi. Di dalam ruangan itu, hanya ada dirinya dan bapaknya yang menunggunya. Ia kemudian penasaran akan apa yang terjadi pada Abian. "Bagaimana keadaan mas Abi?" "Dia masih belum sadarkan diri. Tapi, tadi dokter sudah memberikan hasil scan-nya dan hasilnya bagus. Abian tidak mengalami luka dalam yang parah. Jadi, mungkin sebentar lagi dia akan sadar," jelas bapak Aya. Aya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu, ibu dan bapak mertuaku di mana?" "Mereka menunggu di tempat yang sama saat kamu pingsan tadi. Mereka juga baru menemui dokter sebelumnya." "Apa yang dikatakan ibu mertuaku pada Bapak saat aku pingsan?" "Tidak ada. Tadi, ibu mertuamu hanya langsung memberitahu, kalau kamu tiba-tiba pingsan saat baru berdiri." Aya berpikir sejenak. Tentu saja ibu mertuanya itu tidak akan bilang pada bapak Aya kalau sebelum Aya pingsan tadi, ia sempat beradu mulut dan pikiran dengan ibu mertuanya. Mana mungkin berani? "Aya, kamu pingsan mungkin karena kamu terlalu lelah dan berpikir keras," ujar bapak Aya membuat Aya kembali fokus pada bapaknya. "Aku tidak apa-apa." "Kamu sedang hamil muda. Jangan terlalu berpikir banyak. Bapak akan mengambil obat yang diberi dokter untukmu dulu," ujar bapak Aya yang akan menjauh meninggalkan Aya. "Bapak!" panggil Aya tiba-tiba. Membuat bapak Aya terhenti melangkah dan menoleh ke arah Aya lagi. "Ada apa?" "Tolong, Bapak rahasiakan kehamilanku ini pada mertuaku ya, Pak. Aku tidak ingin mereka tahu aku hamil." Bapak Aya terdiam dan berpikir sejenak. Beliau segera bisa tahu maksud Aya untuk merahasiakan kalau dia sedang hamil. Bapak Aya pun menganggukkan kepalanya. "Bapak tahu." Setelah itu, Bapak Aya kembali berbalik dan pergi meninggalkan Aya. Setelah bapak Aya pergi, Aya kembali menyandarkan kepala di atas bantal yang terletak di atas ranjang pasien di dalam ruangan itu sendirian. Ia kembali menatap langit-langit yang terasa hampa. Andai saja, saat ini ibunya masih hidup. Pasti, ada yang bisa memeluk dan menguatkannya. Karena ibu mertuanya, sangat jauh berbeda dengan ibu Aya yang sudah meninggal. Bahkan, saat datang tadi kedua mertuanya sama sekali tidak menanyakan soal Nala. Aya menghela nafas panjangnya. Badannya masih terasa sangat lemas sekali. Mungkin Aya pingsan karena ia merasa tertekan dan stres berkepanjangan. Apa lagi, ia sedang hamil. "Aku kangen ibu," lirih Aya pelan berbicara sendiri, dengan berkaca-kaca. Tiba-tiba, dari arah pintu ruangan, terdengar langkah kaki masuk. Membuat Aya kembali menoleh ke arah pintu. Aya pikir bapaknya sudah kembali. Tapi ternyata, ibu mertuanya yang masuk ke dalam ruangan itu. Aya pun langsung menyeka cepat air matanya. "Kamu sudah sadar?" tanya ibu mertuanya. "Pasti dia hanya pura-pura peduli saja! Padahal, dia juga pasti menyimpan rasa kesal padaku!" gumam Aya dalam hati. "Sudah, Bu." "Apa yang terjadi denganmu? Apa kamu sakit?" "Tidak. Mungkin aku hanya kelelahan saja," jawab Aya yang lagi-lagi berusaha menjaga rahasia kehamilannya. "Aya. Abian masih belum sadar. Kalau dia sadar, nanti tengoklah." Aya memalingkan wajah dan mendengus pelan. Bahkan di saat seperti ini, ibu mertuanya itu masih saja berpikir egois untuk anaknya sendiri. Kapan dia berpikir kalau menantu perempuannya ini sedang trauma dan tidak akan pernah menemui anaknya lagi?! "Aku tidak janji, Bu." "Loh, kenapa? Saat Abian bangun nanti, pasti dia akan mencarimu. Lihatlah keadaannya! Dia banyak cedera dan mengalami luka-luka!" Aya kembali menghela nafas panjangnya. Memang ibu mertuanya tidak sadar, pipi Aya yang merah dan mulai membengkak karena tamparan anaknya? Aya juga lebih banyak mengalami luka selama bersama. Apa lagi, luka dalam yang sulit disembuhkan. "Aku pikir, aku tidak akan menemui mas Abi lagi, Bu. Tolong ibu bisa mengerti kalau aku tetap ingin bercerai." "Aya. Ini masih di rumah sakit. Kenapa bisa-bisanya kamu masih membahas perceraian? Kamu seharusnya ingat dengan anakmu! Jangan marah terus dengan suamimu! Masa kamu tega mengajak Abian bercerai di saat seperti ini?" Aya mendengus kasar tidak habis pikir. Rupanya, keegoisan mertuanya itu, sama sekali tidak berubah meski jelas-jelas sudah melihat Aya pingsan di depannya tadi. "Saya sudah bilang pada bapak saya. Bapak saya juga mendukung saya untuk cerai, Bu. Jadi, kalau memang ibu menolak perceraian ini, silahkan katakan saja pada bapak." "Aya! Pikirkan tentang Nala!" ujar ibu mertuanya. "Justru karena Nala saya bercerai, Bu! Nala sudah terlalu banyak melihat kekerasan!" jawab Aya bersikukuh. Kenapa Nala dibawa-bawa saat seperti ini? Dari mana saja tadi baru ingat Nala kalau membicarakan soal perceraian seperti ini?! "Ada apa ini?!" Tiba-tiba suara bapak Aya muncul dari balik pintu. Membuat Aya dan ibu mertuanya menoleh ke arah pintu. Mertua Aya nampak terkejut. Bapak Aya masuk ke dalam ruangan itu. Wajahnya terlihat serius. Membuat Ibu mertua Aya nampak kikuk dan setengah panik. "Maaf, Bu. Aya sudah memutuskan untuk bercerai. Saya akan sangat setuju," ujar bapak Aya tegas. "Pak. Bukankah kita harusnya mendamaikan mereka? Aya tidak boleh egois dengan keputusannya. Dia —," "Andalah yang egois!" potong bapak Aya dengan menaikkan nada bicaranya. "Anak anda yang paling egois! Lihat apa yang terjadi pada Aya!" bentar Bapak Aya menunjukkan pipi Aya. Memang, bekas tamparan Abian tadi, terlihat jelas. Tapi, ibu Abian sama sekali tidak mempedulikannya meski dari tadi ia juga melihatnya. Membuat ibu Abian terdiam. "Tolong! Setelah ini, jauhkan anak anda dari anak saya! Kalau setelah ini anak anda masih mencari anak saya, saya pastikan akan laporkan ke polisi!" ancam bapak Aya. Aya pun puas mendengar kalimat bapak Aya itu. Seharusnya itu bisa membuat instrospeksi diri ibu mertuanya. Semoga saja, setelah ini Abian tidak lagi mencari Aya. Aya juga menyadari sesuatu. Setelah ini, ia benar-benar sangat yakin, jika ia pasti akan bercerai! Dan Aya cukup lega jika suaminya itu tidak akan datang lagi mencarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD