Bab 8. Kehidupan Baru

1303 Words
"Kak Ay!" Prisa menyapa Aya dengan menenteng sebuah kantung plastik besar dan menunjukkannya pada Aya begitu pintu dibuka. Membuat Aya terkejut sejenak. Namun kemudian Aya menyunggingkan senyumnya lebar. "Prisa?!" sapa Aya membuka lebar pintunya. "Tante Pisa!" Nala kecil yang belum fasih berbicara itu, juga menyambut Prisa. "Nala, Sayang!" Prisa membalas sapaan Nala dan masuk ke dalam rumah. "Bukankah katamu tidak bisa ke sini?!" tanya Aya. "Ternyata suamiku tidak jadi mengajakku hari ini, Kak. Dari pada aku sendirian, lebih baik aku ke sini saja. Aku ingin bertemu dengan Nala," kata Prisa. "Nala, ini untukmu," ujar Prisa memberikan kantung plastik berisi sesuatu berbau enak. "Yeeee!" Nala membawanya menjauh setelah menerimanya. Aya dan Prisa tersenyum melihat Nala kecil. Mereka lalu duduk di sofa ruang tamu. "Bagaimana kabar Kak Aya?" tanya Prisa meletakkan tasnya. "Aku semakin sering mual." "Usia kandungan masih dua bulan memang masih mengalami morning sickness." "Ya. Bahkan tadi pagi aku sudah muntah-muntah." "Oh iya. Tadi aku membawakan salad buah, kesukaan Kak Aya. Ada di dalam kantung itu. Makanlah untuk mengurangi rasa mual," ujar Prisa. "Terima kasih, Pris." "Jangan terlalu stres. Kak Aya harus membahagiakan kak Aya sendiri." "Aku tahu," jawab Aya seraya tersenyum. "Ngomong-ngomong, apa ada kabar dari Mas Abi?" tanya Prisa lagi. "Tiga hari yang lalu, bapak menerima telepon dari mertuaku. Katanya mereka minta maaf dan akan pulang dari rumah sakit. Mereka akan pulang ke kampung halaman untuk merawat mas Abi yang sudah membaik," jelas Aya. "Apa mereka tidak mampir ke sini?" "Aku tidak mengharapkannya." "Semuanya sangat egois. Sama seperti Mas Abian! Bahkan mereka tidak kepikiran untuk melihat Nala, kan?!" "Paling tidak mereka masih ada itikad baik untuk meminta maaf. Dan aku yakin kalau mas Abi tidak berani menemuiku." "Apa yang membuat Kakak yakin?" "Aku sudah memastikan pada Mas Abi kalau aku menggugatnya cerai. Jadi, setahu mas Abi, kita sudah dalam proses cerai sekarang." "Untunglah." "Setelah bayi ini lahir, aku akan segera mengurus cerai, Pris." "Tapi, apa Kakak yakin Mas Abi tidak ke sini menjemput Kak Aya?" "Aku yakin, dia tidak akan berani ke sini lagi. Waktu di rumah sakit, bapak mengancamnya akan melaporkan ke kantor polisi kalau sampai ke sini. Aku tahu dia orang yang pengecut. Jadi, aku pastikan dia tidak akan pernah ke sini lagi." "Syukurlah kalau begitu. Jangan sampai dia tahu kehamilanmu, Kak. Kalau sampai dia tahu, dia pasti akan memanfaatkannya untuk tidak bercerai denganmu, Kak," ujar Prisa. Aya menganggukkan kepalanya. "Apa mertua Kak Aya tahu kalau Kak Aya hamil?" "Tidak. Aku juga merahasiakannya dari mereka juga. Ibu mertuaku, memintaku untuk tidak bercerai. Tapi aku tahu, sebenarnya dia juga tidak suka denganku. Dia hanya menuruti keinginan anaknya saja." "Jadi, menurut Kakak, ibu mertua Kakak juga senang kalau Kak Aya bercerai?" "Aku pikir begitu." Tiba-tiba, ponsel Aya membunyikan sebuah notifikasi. Mengalihkan fokus Aya dan Prisa pada ponsel Aya. Aya melihat ada pesan masuk, dan membacanya. "Dari siapa, Kak?" "Hanya pesan spam masuk." "Itu kan ponsel dan nomor baru? Sudah ada spam?" "Iya. Sekarang, nomor baru juga cepat sekali dilacak di era digital." "Berarti, Kak Aya kehilangan semua kontak teman-teman Kak Aya di ponsel lama Kakak?" "Tidak apa-apa. Sebagian aku bisa menemukan mereka di media sosial. Aku masih bisa masuk akun media sosialku, kok." "Syukurlah, Kak. Sekarang, Kak Aya bisa fokus pada kehamilan Kak Aya," tutur Prisa lagi. Aya kembali mengangguk dan tersenyum. Prisa lalu berjalan ke arah Nala. Di sana ia menemani Nala yang sedang makan sendirian itu. Aya memperhatikan mereka berdua dengan tersenyum. Namun, sekian detik berlalu senyum Aya perlahan memudar. Ada satu hal yang sangat mengganjal yang ada di pikiran Aya saat ini. *** Aya membuka dompetnya. Hanya tersisa lima puluh ribu di dalam sana. Meski sebenarnya kebutuhan Aya dan Nala sudah ditanggung oleh bapaknya. Bahkan, ponsel baru yang ia gunakan juga dibelikan bapaknya. Tapi, tetap saja Aya tidak bisa terus menerus merepotkan bapaknya. Semua uang yang dimiliki sebelumnya, sudah habis. Lagi pula, saat kabur dari rumahnya waktu itu, Aya hanya membawa sedikit sekali uang. Karena ekonomi saat hidup bersama suaminya, tidak terlalu bagus. Aya menghela nafas beratnya. Ia juga harus melakukan kontrol setiap bulan untuk kehamilannya ini. Belum lagi kebutuhan Nala seperti s**u, Pampers dan lainnya. Apa lagi, Aya juga harus memikirkan biaya lahiran dalam tujuh bulan ke depan. Apa yang harus dilakukan Aya sekarang? Apa ia harus cari kerja? Tapi siapa yang akan mengurus Nala? Dan lagi, apa mungkin ada perusahaan yang menerimanya dalam keadaan hamil seperti ini? Sebentar lagi, kehamilannya juga pasti membesar. Aya yang duduk di atas ranjang itu, meringkuk menundukkan kepalanya dalam. Ia bingung bagaimana harus menjalani ini ke depannya? Ia tidak bisa hanya terus menjadi beban bapaknya. Aya tidak akan meminta apapun dari Abian. Karena kalau Aya meminta nafkah pada Abian, Abian pasti akan menuntutnya untuk kembali padanya. Lagi pula, Aya sudah hafal sifat Abian yang egois. Ketika masih hidup bersama saja, Abian lebih mementingkan rokok dari pada jajan Nala. Bertahun-tahun, Aya selalu mengalah untuk tidak membeli kebutuhan pribadinya seperti skin care atau yang lain, karena selalu kalah dengan rokok Abian. Tiba-tiba, ponsel Aya berdering. Membuat Aya terhenyak sesaat. Ada sebuah nomor baru yang menelpon Aya. Membuat Aya menautkan kedua alisnya heran. Memangnya siapa yang menelpon di nomor barunya ini? Aya pun mengangkat panggilannya. "Halo?" Aya menyapa lebih dulu. "Halo. Apa benar ini dengan Kak Aya Haninda?" Suara seorang perempuan terdengar membalas sapaan Aya. "Benar. Maaf, ini siapa, ya?" "Perkenalkan, saya dari perusahaan penerbitan, Dane Publisher. Apa benar dua Minggu lalu Kak Aya mengirim cerpen ke Dane Publisher?" Aya tercekat sesaat mendengar keterangan perempuan yang sedang berbicara di telepon dengannya. Ya. Saat Aya baru dibelikan ponsel bapaknya itu, Aya pernah menulis cerpen tentang kisahnya. Ia mengirimkan cerpen itu di salah satu ajang lomba cerpen yang Aya lihat melalui internet. "Ya! Betul!" jawab Aya mantap. "Kami ingin memberitahu kalau Kak Aya memenangkan lomba cerpen ini." "Benarkah?!" Aya terjingkat karena ia senang tidak menyangka akan memenangkan lomba itu. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi tetap saja ia merasa senang. "Betul, Kak Aya. Kak Aya bisa cek sendiri di pengumuman website kami, sama seperri saat Kak Aya mendaftar mengikuti lomba waktu itu." "Terima kasih banyak! Saya tidak tahu kalau harus dihubungi langsung seperti ini?" "Kami khusus menghubungi Kak Aya saja." "Kenapa memangnya?" "Jadi begini Kak Aya. Selain saya memberitahu kak Aya memenangkan cerpen ini, kami ingin menyampaikan satu hal lain," ujar perempuan itu. Membuat Aya terhenti sejenak. "Hal lain apa?" "Kami sudah membaca tulisan Kak Aya. Kami berpikir, jika tulisan itu, mungkin sangat singkat jika hanya dijadikan cerpen. Apa mungkin, Kak Aya bisa menjadikannya menjadi sebuah n****+?" tanya perempuan yang berbicara dengan Aya di telepon itu. "n****+?" "Kebetulan, di perusahaan kami sedang membutuhkan n****+ yang bertema sama dengan cerpen Kak Aya. Kalau mungkin kak Aya berkenan, Kak Aya bisa mengerjakan sebuah n****+ dan bisa melakukan kontrak dengan kami." Aya semakin tercekat karena terlalu senang. Ia kehabisan kata-kata dan belum bisa membalas apa-apa. Entah, hormon bahagia apa yang bekerja dalam tubuhnya, tapi ia benar-benar tidak menyangka. "Kak Aya tidak perlu khawatir soal bonus. Kalau Kak Aya bersedia, kita bisa membicarakan soal bonusnya sebelum Kak Aya menandatangani kontrak nanti. Bagaimana?" Aya sekali lagi terdiam dan tidak bisa langsung merespon. Ia tahu betul, Dane Publisher adalah sebuah perusahaan penerbitan yang lumayan besar. Tentu saja, Aya akan menerimanya. "Iya. Saya bersedia untuk membicarakan ini lebih lanjut." "Baik kalau begitu. Terima kasih atas waktunya Kak Aya. Dalam waktu dekat, kami akan menghubungi Kak Aya lagi." Panggilan pun diputus. Aya menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mengusap kursor berwarna merah untuk mematikan panggilan. Setelah itu, Aya menutup mulutnya dan berteriak pelan. Mendadak, rasa stres dan tertekan Aya, dalam sekejap berubah menjadi semangat yang menggebu. Aya tiba-tiba berkaca-kaca merasa bahagia. Tuhan masih sayang dengannya, karena langsung mengganti rasa kecewanya dengan sebuah kabar baik. Aya menyeka air matanya. Ia menegakkan tubuhnya tegap. Inilah jawaban atas pertanyaannya, beberapa menit lalu. Aya tetap akan bisa bekerja sebagai penulis saat ia hamil. Aya bersiap untuk menyambut kehidupan barunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD