Dua orang yang pernah datang mengubah penampilan Becca kembali datang, kali ini tujuan mereka membantu Becca bersiap di hari pernikahan yang tak Becca inginkan.
Pembicaraan yang coba dia bangun dengan Sean gagal karena pria tersebut tidak mau mendengarkannya, bahkan memperlakukannya sangat buruk.
Amanda dan temannya saling lirik melihat Becca hanya diam, pasrah, berbeda sekali dengan sebelumnya.
“Nona, akhirnya sadar jika kau beruntung dinikahi Sean Caldwell!” decak Amanda.
Amanda memegang dagu Becca, membuat ia terpaksa mendongak. Menatap penampilannya dalam balutan gaun pengantin putih. Becca tidak mengenalinya.
‘Siapa aku? Masih Rebecca Tesanee, lihatlah nasibku sangat buruk?! Ini bukan gaun pernikahan, melainkan gaun kematian untukku. Detik-detik menuju pernikahan, yang ada bagiku detik-detik menuju penderitaanku.’ Batinnya.
Becca tidak menangis meski matanya berkaca-kaca menatap penampilannya sendiri. Tak ubahnya boneka, yang dimainkan oleh seorang Sean.
“Tinggalkan aku sendiri,” bisik Becca.
Amanda dan temannya saling tatap.
“Baiklah, memang sudah selesai.” Angguk Amanda, “Jangan menangis, kau akan merusak make up sempurnamu.”
“Aku tak peduli,” balas Becca.
Amanda agak terkejut dengar ucapannya, ia mengedikan bahu, tak mau ikut campur, tugasnya di sana bekerja dan dapat bayaran.
Becca akhirnya dapat kesempatan untuk sendiri, pintu di tutup rapat dan terkunci lagi.
“Arghhh!” Becca berteriak, menarik veil, hingga merusak tatanan indah rambutnya. Ia melemparnya asal. Becca mencari apa pun yang bisa merusak gaun pernikahannya. Namun, semua steril dari benda-benda tajam, seperti gunting.
Becca menendang kursi depan meja riasnya hingga jatuh tergeletak kemudian ia menatap pantulan dirinya, sudah berantakan.
Ceklek!
“Nona!” Sebuah seruan membuatnya menoleh.
Calvin muncul bersama Amanda, untuk mengecek Becca tetapi betapa ia terkejut pada tampilan Becca, begitu juga Amanda. “Astaga, apa yang kau lakukan?! Kau merusak hasil kerjaku!” decak Amanda kesal.
Calvin segera menutup pintu, “aku tidak mau menggunakan ini, aku tak mau menikah dengan bos kalian yang gilaaa itu!”
Kembali Becca membuat mereka berdua mengerjap, Amanda memungut veil dan mahkota kecil yang Becca lempar begitu saja. Sementara Calvin mendekat, Becca mundur, tetap menjaga jarak, baginya semua orang di Mansion ini sama jahatnya seperti Sean. Tidak ada yang bisa ia percaya. Meski cara Calvin menatapnya tidak dingin, terlihat baik.
“Nona, kurasa kau ingat yang Sean sampaikan.” Calvin menjeda, menatap Amanda yang bagusnya sibuk merapikan veil, “ia tidak pernah main-main, Sean bisa benar-benar membuatmu tidak pernah lagi melihat adik dan ayahmu. Percayalah, pernikahan ini memang tidak kau inginkan, tetapi, ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang berharga dalam hidupmu.”
“Dengan mengorbankan hidup dan kebebasanku sendiri.”
Calvin terdiam, ia terpaksa mengatakannya, jika Becca berulah, ia yang akan disalahkan oleh Sean.
“Pernikahan ini tidak akan seburuk yang kau bayangkan,”
Becca memaksakan tawanya, “maksudmu lebih buruk dari bayanganku, bukan?!”
Calvin kembali mendekat, kali ini Becca tetap bergeming, membiarkan Calvin mendekat, “saat kau tak punya pilihan, maka ikuti arahnya, buat situasinya justru berbalik dipihakmu.”
Becca terdiam, tidak mengerti ucapan Calvin, orang kepercayaan Sean.
“Kau jelas bekerja untuk monster itu! Aku bodoh jika percaya dan ikuti ucapanmu!” Becca tidak terima.
Calvin justru terkekeh, mendengar sebutan Becca pada Sean sudah beragam.
Calvin memasukkan tangan ke saku celana, berbalik menatap kekasihnya, “kau harus lakukan sesuatu untuk penampilannya, kau hanya punya lima menit, Becca.”
“Kau gilaaa!” Amanda melongo, “lima menit?! Harusnya aku sudah selesai, gadis ini menghancurkan hasil kerjaku!”
Calvin tetap santai, mendekat, mengusap bahu kekasihnya, “aku akan menambahkan bayarannya lebih, honey... tolong ya, kau tahu Sean tidak toleran pada pekerjaan yang tak sempurna,”
Amanda menghela napas dalam, mengangguk. “Baiklah, akan kulakukan dalam waktu lima menit." Lalu Amanda menatap Becca, “kau! Awas jika mengacaukannya lagi!”
Amanda mencengkeram lengannya, menarik Becca kembali duduk di kursi depan meja rias setelah membenarkannya. Becca coba menolak, tetapi Amanda lebih tegas.
***
Mata Becca ditutup sebuah kain, lebih tepatnya dipaksa. Lalu yang ia tahu, mengikuti tarikan tangan Calvin menuju sebuah mobil yang kini sudah beberapa jam melaju meninggalkan Mansion.
Becca tahu jika matanya di tutup dengan sengaja, begitu juga tangannya yang diikat, bak tahanan. Semua itu supaya Becca tidak bisa menghafal jalan menuju Mansion, sehingga bisa merencanakan pelariannya dilain waktu.
Becca juga sempat mendengar Calvin bicara dengan Sean melalui telepon, Calvin melaporkan jika sudah membawa Becca menuju tempat pernikahan mereka akan berlangsung.
Kedua tangan Becca yang terikat saling menggenggam, erat. Ia tidak berhenti berdoa, meminta masih ada kesempatan untuk membatalkan ikatan yang akan buatnya menderita.
“Kita sudah sampai, aku akan melepaskan ikatan tanganmu juga penutup matamu, jangan berpikir melarikan diri. Tempat ini sudah diatur, penjagaan ketat, kau hanya akan buat Sean marah jika melakukannya, semua itu akan sia-sia, Nona.” Ujarnya.
Tidak lama ia merasakan tangan Calvin melepas ikatan tangannya, lalu terakhir penutup kepala.
Mata Becca terbuka, ia menoleh menemukan Calvin tersenyum. Becca menatap datar, jika situasinya tidak seperti ini mungkin ia akan memuji ketampanan Calvin.
Calvin turun lebih dulu, membukakan pintu untuknya, ketika Becca tidak bergerak sama sekali, ia menarik Becca, memaksa tinggalkan mobil.
Mata Becca berkeliling, gereja ini jauh dari pusat kota. Dari depan gereja, ia bisa melihat gedung-gedung tinggi dari kejauhan. “Nona, Chris sudah menunggumu.”
“Chris?” tanya Becca, informasi dari Calvin jelas menarik atensi gadis itu.
Calvin menganggukkan kepala, “ya, dia akan jadi pendampingmu langsung.”
“Di mana dia?”
“Aku akan mengantarmu, kau ada waktu beberapa menit sebelum pernikahan dimulai.” Calvin mengarahkan ia menuju sebuah ruangan tunggu khusus untuk pengantin wanita.
Begitu bisa menebak adiknya ada dalam ruangan dibalik pintu bercat putih, mata Becca fokus pada tiga orang yang berjaga di depannya, berpakaian hitam-hitam, dibalik jasnya terdapat senjata.
Becca menelan ludahnya susah payah, pintu pun dibuka, mata Becca langsung tertuju pada adiknya yang tampak berdiri, tengah menunggunya. Becca tidak bisa membendung air matanya, ia berlari, memeluk Chris yang juga menyambutnya. Erat.
“Becca!”
“Chrisss!” Panggilnya, setelah memeluk, Becca memberi jarak sedikit untuk merangkum wajah adiknya, “mereka menyakitimu? Kau baik-baik saja?!”
Kepala adiknya mengangguk, “ya, aku baik-baik saja. Kau?”
Becca tidak menjawab, selain kembali menangis, “nasibku begitu buruk, pria monster itu, akan membuat aku menderita...”
Chris hanya diam, menghapus air mata kakaknya, “semua ini terjadi karena Austin!” decaknya penuh kebencian. “Dia membuat hidup kita berdua dalam bahaya. Aku semakin membencinya, Becca!”
“Tidak, jangan membenci dad!”
Chris menjauh, menatap tak percaya pada sang kakak, “kau masih membelanya, Becca? Sungguh?! Setelah semua yang kau dapatkan, bahkan kau harus menikah dengan pria itu? Kau masih dipihak Dad?!”
“Daddy sudah memperingatkanku, harusnya aku segera membawamu pergi.”
“Aku tak mau mendengarnya, Bec!” Chris menolak.
Becca lalu terdiam, baru menyadari jika Calvin sudah tidak berada di sana. Hanya ada ia dan adiknya.
“Chris, kita harus pergi! Ini kesempatan terakhir, kita harus kabur dari orang-orang itu! Aku tidak mau menikah dengan monster bernama Sean Caldwell!” Becca langsung bergerak.
Hingga ia mendekati jendela yang bisa dilompati mereka berdua. Becca membukanya, “ini tidak dikunci, membukanya pun mudah! Chris, ini kesempatan yang bagus!”
Jendela pun terbuka, udara dingin sore itu langsung menyentuh wajahnya. Ada secercah harapan dalam hati Becca jika ia bisa melarikan diri bersama adiknya, sebelum masuk ke jerat pernikahan tanpa cinta bahkan dengan tujuan tak baik terhadapnya.
"Chris, Ayo!" ajaknya dengan semangat. Becca memantau kondisi di luar terlihat aman untuk mereka.