Terkurung 2

1320 Words
Tidak ada yang lebih menakutkan seumur hidupnya, melebihi yang tengah ia hadapi, dibawa pergi oleh seorang yang asing namun ia tahu menaruh dendam begitu besar terhadapnya. Setelah percobaan melarikan dirinya gagal, Becca tidak menyerah sama sekali. Sayangnya setiap ia berulah, ia semakin sulit untuk bertindak terlebih Sean menjadikan Austin dan Chris sebagai ancaman yang buat gadis tersebut tak bisa berkutik sama sekali. “Apalagi ulah gadis itu?” “Tidak ada,” kata orang yang menjaga kamar Becca. “Jangan lakukan kesalahan seperti waktu itu hingga gadis itu bisa keluar kamar dan mengacau. Menjaga satu orang saja kalian semua mudah dikelabui!” Anak buahnya menunduk. Sean baru akan pergi ketika ruang kerjanya diketuk. Seorang pelayan muncul. “Nona menitipkan sesuatu pada saya, berisi pesan untuk Anda.” Beritahunya. ‘‘Bagaimana ia memberikannya?” “Sewaktu saya akan mengambil piring sesudah Nona makan siang.” Sean mengangguk, kemudian membuka tisu tersebut. Ada sebuah tulisan berwarna merah, berasal dari sebuah lipstik. [Aku ingin menemuimu, kumohon. Aku hanya ingin kita bicara] Sean agak terkejut Becca berani mengiriminya pesan. Menggunakan alat seadanya yang bisa ia temukan di kamar. Pelayan dan anak buahnya sempat terkejut saat melihat Sean meremas tisu itu kemudian membuangnya begitu saja ke tempat sampah. “Apa yang kalian lihat huh?! Kembali ke pekerjaan kalian masing-masing!” Ujarnya dengan nada tak senang. Keduanya segera menunduk, lalu pergi. Ternyata Becca tidak menyerah, kembali mengirimi pesan untuk Sean. [Kau tidak bisa mengabaikanku, jika aku memang harus menikah denganmu, aku ingin tahu segalanya dengan jelas.] Sean mendengkus membaca pesan yang gadis itu kembali kirimkan, masih dengan tisu juga menggunakan lipstik. Calvin yang tengah bersamanya, mengintip, “temui saja, gadis itu cukup berani ternyata. Bahkan, dia menggunakan lipstik seharga ratusan dollar hanya untuk menjadikannya alat tulis!” Sean menatap malas, meremas kembali tisu tersebut, meletakkan begitu saja di atas mejanya. Tok! Tok! Tok! Satu ketukan pintu kembali terdengar, Sean dan Calvin saling pandang. “Taruhan denganku, Boss! Dia kembali mengirimkanmu pesan lagi, Dia akan terus melakukannya, tidak menyerah sampai kau menyetujui permintaannya.” “Aku tak suka diatur oleh siapa pun! Apalagi anak si pria itu!” Calvin menatap bos sekaligus atasannya, “anak pria itu yang akan kau nikahi, dia akan menjadi Mrs. Caldwell!” Pelayan kembali masuk, ucapan Calvin terbukti benar adanya jika Becca mengirimkannya pesan lagi. “Gadis itu!” geram Sean, “atur makan malam, biarkan dia datang menemuiku!” Calvin menahan senyumnya, gadis itu bisa membuat seorang Sean akhirnya mengikuti kemauannya meski terlihat marah. “Apa yang kau tertawakan?!” “Aku tidak tertawa, Bos!” “Kau menahannya!” Sudut bibir Calvin berkedut, “belum apa-apa, gadis itu mulai bisa mempengaruhimu. Sepertinya ini akan sangat menarik Boss!” Sean hanya menatap datar Calvin. Ia kembali menatap berkas-berkas penting yang butuh perhatiannya, mengabaikan ucapan Calvin sebab Sean merasa begitu yakin jika tidak terpengaruh pada Becca. Ia hanya kesal gadis tersebut terus mengirimkannya pesan dengan tisu dan lipstik merah. “Fokus sialan! Awas saja pekerjaanmu tidak benar, aku akan memenggal kepalamu!” ancamnya. Calvin menelan ludahnya susah payah, ekspresi wajah Sean jelas penuh ancaman. Setelah Calvin dan pelayan tersebut pergi, meninggalkan Sean sendiri, ia kembali meraih tisu berisi tulisan dengan lipstik merah. Tetapi, hanya beberapa detik, Sean kembali meremas dan membuangnya ke tempat seharusnya. “Pernikahan ini hanya untuk menghancurkan Austin, melalui putrinya.” Ia tanamkan kalimat tersebut ke pikirannya. *** “Bagaimana?” tanya Becca saat pelayan itu muncul. Becca penuh harap jika Sean setuju untuk menemuinya. “Tuan meminta Nona menyiapkan diri untuk dinner,” beritahu pelayan wanita itu, menyampaikan pesan dari Sean. Becca malah mendesah, “aku hanya ingin menemuinya, bicara bukan makan malam!” “Tuan hanya mengatakan itu, Nona.” “Ya, sudah!” Decak Becca, kembali berbalik kemudian menjatuhkan bokongnya begitu saja di sisi ranjang. Jika ia tidak punya kepentingan, Becca tak akan memohon pada Sean untuk bertemu. Tapi, makan malam dan harus bersiap, untuk membicarakan mengenai hidup dan matinya, terasa berlebihan. Pikir Becca. “Apa aku tidak menyetujui? Ah tapi, ini kesempatan. Aku perlu mendengar penjelasannya, pernikahan seperti apa yang aku lakukan dengannya! Bagus jika manusia tak punya hati itu bisa berubah pikiran, melepaskan aku!” gumamnya. Becca pada akhirnya tetap dilema, belum menentukan untuk setuju menemui Sean, dinner bersamanya atau tidak. Waktu berjalan, Sean menyelesaikan pekerjaannya, mandi dan berpakaian, barulah ia turun menuju ruang makan. Dalam pikirannya, Becca sudah berada di sana, menunggunya. Namun, ia hanya menemukan dua pelayan dan ketua pengurus rumah. “Di mana Becca?” “Nona belum terlihat, Tuan.” Falisa—ketua pengurus rumah memberitahunya. Sean berdecak tak senang, mengapa ia yang harus menunggu Becca. Baginya Becca yang harus menunggu, yang punya kepentingan, membutuhkannya. “Gadis itu!” “Tuan ingin aku memanggilnya?” “Tidak!” Sean langsung menolak, “biarkan saja!” Sean menarik kursi yang biasa ia tempati, kemudian pelayan mulai sibuk menyajikan makanan pembuka untuknya. Di meja makan yang besar dengan banyak kursi yang kosong. Sean baru akan menyuap saat mendengar pintu dibuka, suara langkah mendekat. Ia menahan diri untuk menoleh sampai gadis itu berhenti cukup berjarak darinya. “Maaf, aku terlambat.” Suaranya yang lembut terdengar menarik atensi Sean dan pelayan lain. Tidak ada tanggapan dari Sean membuat Becca terdiam, bingung. Hanya berdiri kaku sampai akhirnya memutuskan untuk menarik kursi terdekat darinya. “Siapa yang memintamu duduk?” suara dingin itu membuat tengkuk Becca selalu meremang. Ia akhirnya menarik tangannya dan urung duduk. Becca menatap Sean yang menatap lurus kemudian akhirnya jatuh beradu tatap dengannya. Mata cokelat Sean itu menelusuri tubuh Becca, dalam balutan dress selutut berwarna abu-abu. “Tetap berdiri sampai aku selesai makan!” “Huh? Kenapa begitu?” Becca tidak bisa menahan mulutnya untuk bertanya. “Karena aku sudah memulai makanku, aku tak ingin selera makanku hilang karena mendengar ocehanmu!” Becca menelan ludahnya susah payah, ia sepertinya sudah membuat Sean marah, tersinggung sudah menunggu. Alih-alih makan malam bersama, Becca harus tetap berdiri sebagai hukumannya. Sean menikmati makannya seorang diri, dengan teganya tanpa pedulikan yang lain. Becca sampai membatin, ‘Ya Tuhan, sungguh ada manusia sedingin, kejam sepertinya?!’ Ia semakin tahu jika dalam cengkeraman seorang Sean, hidup Becca akan sangat pedih seperti dipaksa berjala di atas bara api dengan kejamnya. Sean mengelap bibirnya, menikmati wine saat melirik gadis itu menurut dengan masih berdiri. “Bagus kau belajar banyak dengan tak membuatku marah, Becca.” Becca memilih terdiam sambil mengepalkan tangannya. Sean lalu memundurkan sedikit kursinya, tanpa bangun, ia hanya mengatur supaya lebih leluasa menatap Becca yang menyedihkan. “Apa yang ingin kau sampaikan hingga mengirimkan pesan dengan tisu sebanyak tiga kali hari ini? Jika tujuanmu untuk membuat pikiranku berubah, sebaiknya lupakan saja. Aku tak akan berubah pikiran,” kata Sean. Becca akhirnya mengangkat wajahnya hingga Sean kembali bisa menatap netra biru yang indah milik gadis tawanannya. “Aku memang tidak punya pilihan bukan?” ujarnya dengan keberanian yang ada, “untuk itu, aku hanya ingin tahu, pernikahan seperti apa yang akan kujalani bersamamu, Tuan?” Sean mengetatkan rahangnya, kemudian berdiri. Langkah demi langkah mendekati Becca, membuatnya berdebar. Kepalan tangannya semakin erat hingga ujung jarinya menekan, lalu terlihat memutih. “Rebecca Tasanee,” sebut pria itu, lalu tangannya meraih wajah Becca dengan kasar, mencengkeramnya, “tentu saja pernikahan yang akan membuatmu membenci hidupmu sendiri. Tidak akan pernah ada pernikahan bahagia seperti di negeri dongeng, kau hanya akan jadi simpananku sampai aku bosan.” Bisiknya kemudian detik itu juga Sean melihat air mata Becca meluncur masih dengan tatapan berani memakunya. “Aku akan menjalaninya, asalkan kau tidak menyakiti Dad dan saudaraku.” Ujar Becca dengan suara gemetar. “Menyakiti mereka, terutama Austin justru tujuan utamaku! Jangan sok pintar!” Sean mendorongnya, membuat Becca kehilangan seimbang, hingga terduduk di lantai. Sean berbalik pergi, mendengar isak memilukan dari Becca. Malam ini ia merasa puas telah menambah penderitaan gadis itu seperti tujuannya menahannya. Sementara Becca tak pedulikan masih ada orang lain di sana, ia rasa semua orang di Mansion ini sama buruknya dengan Tuan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD