Takuto POV
Saya terdiam kaku melihat kedekatan Kenny dan Greg. Saat ini mereka berdua tengah bermain basket di halaman samping rumah, lapangan basket yang sengaja onii-sama buat untuk menyenangkan Tyler-sama yang menyukai basket. Kini lapangan itu malah menjadi tempat membangun hubungan Kenny dan Greg.
Terlebih ketika dengan santainya Greg memeluk Kenny dari belakang, kini mereka bercanda dan bergurau di bawah ring. Wajah Kenny terlihat amat bahagia. Kapan wajah bahagia itu akan dia perlihatkan kepada saya? Kenapa harus Greg? Jika saja orang lain yang Kenny sukai, mungkin saja saya tidak akan merasa ragu untuk menyampaikan perasaan saya.
Namun kenyataan berkata lain, jika saya memperjuangkan perasaan saya ke Kenny, Greglah yang akan terluka nantinya. Mana mungkin saya tega melukai perasaan adik yang begitu saya sayangi. Akan tetapi saya juga tidak sanggup melihat kedekatan Kenny dan Greg. Kenapa perasaan kami begitu rumit?
Tanpa saya sadari wajah saya telah memanas dan air mata yang selama ini saya pikir, tidak saya miliki menetes begitu saja.
"Ternyata cinta bisa begini menyakitkan," gumam saya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, saya pun segera beranjak pergi menjauh. Saya tidak sanggup melihat kedekatan mereka lebih lama lagi.
Apa yang harus saya lakukan? Mendukung Kenny untuk mendapatkan hati Greg? Apakah saya bisa setulus Kenny yang mendukung Greg untuk mendapatkan saya? Tidak. Saya tidak sebaik itu. Saya menginginkan Kenny, hanya Kenny seorang.
***
"Selamat malam Kenny," sapa saya begitu Kenny membukakan pintu rumahnya.
"Tuan Muda Takuto?" serunya yang terkejut dengan kunjungan saya.
"Tolong panggil saya Takuto saja, saat sedang tidak di kantor Kenny, seperti dulu. Sebelum kita mulai bekerja bersama," pinta saya, sejujurnya saya agak muak dengan bahasa formal yang Kenny gunakan kepada saya, sementara dia berbicara dengan lebih santai dengan Greg sejak beberapa hari ini.
"Baiklah, masuklah Takuto, walau aku agak merasa aneh berbicara santai denganmu. Umm ... ya, kau tahu? Soalnya gaya bahasamu selalu formal sejak dulu," kata Kenny seraya mempersilakan saya masuk.
Kini kami telah duduk di sofa ruang tamu rumah Kenny, mata saya menatap lurus ke bola mata hitam miliknya yang selalu terasa menenangkan.
"Kamu sudah tahu alasannya kenapa mustahil bagi saya untuk berbicara di luar bahasa formal," balas saya. Ya Kenny tahu segalanya, masalah saya dan juga masa lalu saya.
"Ya, aku tahu. Tapi sekarang ini kita tidak tinggal di Jepang lagi. Sir Dean juga tidak akan keberatan jika kamu bersikap lebih santai. Apa kamu belum bisa melupakan masa lalumu dan melihat ke depan?" tanya Kenny cemas, kini tangannya telah berpindah ke kepala saya, mengelus lembut, memberikan rasa nyaman yang selalu bisa saya dapatkan dari sentuhannya.
"Saya kira tidak. Rasanya masih begitu menyakitkan," jawab saya jujur.
Kenny kini memeluk saya, pelukan yang selalu dia berikan ketika kami masih kecil dulu. Tentu saja saya membalasnya, namun Kenny tidak pernah menganggap lebih dari setiap sentuhan saya, saya hanya teman masa kecil baginya.
"Kenny, tidak bisakan kamu melupakan Greg?" tanya saya lirih, tapi saya yakin Kenny dapat mendengarnya dengan jelas.
Mendadak dia melepaskan pelukannya dan menatap lurus ke mata saya. "Aku akan berusaha jika kamu bersedia membalas perasaan Greg," jawab Kenny dengan wajah sedihnya.
Bukan ini yang saya harapkan. "Saya tidak akan membalas perasaan Greg, saya mencintaimu, Kenny!" Saya harus mempertegasnya, apa yang saya rasakan padanya.
Kini wajah sedih Kenny telah berubah menjadi terkejut, dia segera bangkit berdiri dan menjauhi saya. Seper kian detik kemudian, Kenny menangis. "Bohong, katakan kamu berbohong, Takuto! Kamu bahkan tidak pernah menunjukkannya! Kalau kamu berkata seperti itu hanya untuk menjauhkan Greg dari mu, itu jahat namanya!" Dia berteriak kepada saya dengan nada bicara yang terdengar menyakitkan.
"Saya tidak berbohong." Hanya itu yang saya katakan. Kemudian saya berjalan mendekati Kenny, dengan lembut saya mengelus wajahnya, menghapus air mata yang terus mengalir. Menatap lekat-lekat ke matanya.
"Apakah mustahil bagi saya untuk memiliki hatimu, Kenny?" tanya saya sekali lagi, jika Kenny masih saja menolak, saya akan mendukung cintanya kali ini.
"Kamu tahu aku mencintai Greg." Jawaban Kenny hanya satu kalimat. Namun cukup membuat saya mengerti, bahwa dia tidak ingin memberikan saya kesempatan.
"Baiklah jika demikian, perjuangkan Greg. Saya akan membantu," ucap saya lembut seraya tersenyum tulus sambil mengelus puncak kepalanya dan mengusap air matanya "Saya ingin melihat kebahagiaanmu, Kenny, juga kebahagiaan Greg." Setidaknya ini yang bisa saya lakukan untuk mereka.
Kenny tidak berkata apa-apa lagi, dia menundukkan kepalanya dalam diam. Akhirnya saya memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Hingga mendadak tangan saya ditahan oleh Kenny, ketika saya baru sampai di depan pintu rumahnya.
"Tapi aku ingin melihatmu berbahagia dengan Greg. Dia tidak akan pernah membalas cintaku Takuto, di matanya hanya ada kamu," ucap Kenny tulus. Menyakitkan. Kini air mata saya sudah jatuh, hilang sudah segala kendali diri saya.
"Begitu juga saya, di hati saya hanya ada nama Kenneth seorang." Saya lalu melepaskan tangan Kenny dan berlari memasuki mobil, melaju pergi tanpa melihat ke belakang lagi. Saya tidak ingin Kenny merasa lebih terluka lagi melihat raut wajah saya yang kacau seperti ini.
Jika kami sama-sama mengalah, lalu siapa yang akhirnya akan merasa bahagia? Tidak ada dan saya tidak menginginkan hal itu terjadi. Namun jika kami sama-sama berjuang, hasilnya juga sama saja. Tidak akan ada yang merasa bahagia.
"Onii-sama, saya harus bagaimana?" ucap saya frustrasi. Saya butuh orang yang bisa diajak membicarakan hal ini, namun saya juga tidak mau mengganggu bulan madu Onii-sama.
Drrr ... drrr ....
Suara getaran ponsel saya terdengar seperti memberi sebuah jawaban, ketika saya melihat nama ID pemanggil. Refleks saya tersenyum tipis dan mengangkat ponsel saya.
"Ayumi, apa kabar?"
“....”
"Tentu, saya akan ke sana sekarang."
Setelah itu saya langsung melajukan mobil saya menuju hotel tempat Ayumi menginap. Sudah 5 tahun sejak saya terakhir kali menemuinya, mungkin sudah saatnya saya berhenti lari dari masa lalu dan menghadapinya. Mungkin saja ini jawaban dari masalah kami. Harus ada yang menyingkir agar Kenny dan Greg bisa berbahagia.