Orang dari masa lalu

1736 Words
Bintang tertidur sampai guru menyatakan pelajaran hari ini selesai. "Tang, lo pulang aja. Nggak usah ikut tambahan kelas." Si teman mendekat ke Bintang, yang diperintah menggumam. Rasanya Bintang sudah tak sanggup lagi. Sudah tidak ingin ke kamar mandi, tenaganya sudah habis. Bintang terkapar di atas meja. Semua yang ia makan dikeluarkan di toilet beberapa kali. Sedangkan dari kelas Starla, gadis itu baru selesai dengan kelas terakhirnya. Ia tidak menemukan Bintang di kelas sejak insiden menghilang itu. Ditambah dia harus rapat organisasi fotografi. "Bintang!" Starla langsung lari pas lihat Bintang tak berdaya di atas meja. Di sampingnya masih ada teman cowok itu. Bintang tak bergeming. Starla khawatir, menggoyang-goyangkan tubuh cowok itu yang masih menempelkan kepalanya di atas meja. Sedetik kemudian, Starla mengangkat wajah Bintang. Terkejut, Bintang sangat pucat berkeringat. Starla memegang dahi Bintang, sangat panas. Starla kemudian menghadap teman Bintang yang hanya menonton. Yang lain juga di tempat masing-masing ikutan menonton dan tidak tahu apa yang terjadi. "Cepet panggil ambulance!" Semua panik, berbisik-bisik riuh. Sedangkan teman Bintang langsung lari dan melaporkan ke ruang guru. "I-iya!" Bumi Reynaldi, selaku teman Bintang yang mukbang bareng tadi langsung buru-buru lari. Panik, langsung merespon gercep apa yang dipikirkannya. Cowok itu mengetuk pintu ruang guru. Lalu, masuk dan berdiri tepat di depan meja wali kelasnya yang sedang beristirahat. Bumi menunduk hormat. Kemudian masih panik melaporkan, "Pak, Bintang pingsan. Ambulance Pak ambulance!" katanya cepat. Pak Rehan selaku wali kelas terkejut. Berdiri, lalu mengambil ponselnya. Menghubungi pihak darurat. Semua ikut panik dan penasaran. Bintang si anak lumayan pintar, tidak terlalu populer, seperti manusia normal yang kadang membuat ulah kadang juga bisa dibanggakan. Pak Rehan dan Bumi bergegas menuju kelas mereka. Melewati pintu belakang yang terbuka. Memeriksa Bintang yang semakin pucat, panas dan berkeringat. Starla panik. Ia hampir menangis karena tidak tahu harus apa. Beberapa menit, para petugas datang bersama kepala sekolah dan pihak sekolah yang lainnya. Membawa Bintang turun ke bawah bersama ambulance. Starla menatap kepergian Bintang, cewek itu mematung. Ada rasa di dalam sana yang tersayat melihat Bintang terluka. Tidak boleh ikut, hanya Pak Rehan dan petugas yang menemani. Hari sudah mulai larut sore. Starla masuk ke dalam. Cewek itu berjalan cepat menuju kelasnya. Menuju bangkunya, membereskan tas dan membawanya pergi, yang disaksikan teman sekelasnya. "Starla mau ke mana?" Itu suara teman sebangku Starla. Levita namanya. Berteman dengan Levita. Dua tahun satu kelas. Dari kelas 2 sampai kelas 3. Namun, mereka baru bisa satu bangku. Itu saja karena denah yang diberikan wali kelas mereka, Bu Sonya. Starla tersenyum menjawab pertanyaan Levita. "Aku izin ya. Kalau boleh minta tolong kamu absenin nanti." Kemudian ia berlalu menepuk pelan bahu Levita. Starla masuk ke kelas Bintang sebentar mengambil tas cowok itu. Lalu menuju lokernya, menaruh tas keduanya di sana. Starla berjalan cepat menyusuri lorong yang masih lumayan ramai menjelang Maghrib begini. Persiapan sebelum kelas tambahan, anak-anak biasanya berlalu lalang. Ada yang menggunakan kesempatan untuk menunggu salat Maghrib ada juga yang sekadar berbincang. Gerbang sekolah masih dibuka. Starla bergegas menuju halte. Menunggu bus yang sebentar lagi datang. Tepat ketika Starla baru sampai dua menitan, bus berhenti di halte. Ia masuk ke dalam, membayar dengan kartu yang tidak lupa ia bawa bersama ponselnya. Gadis itu duduk di dekat jendela. Dari luar yang transparan, tampak dia lelah dan khawatir, mengusap wajahnya sebentar. Mengecek jam di ponselnya. Beralih ke aplikasi hijau lalu, mengetik sesuatu di sana. Hampir 20 menit bus melaju. Berhenti di halte tepat azan Maghrib berakhir. Starla turun dari bus di halte dekat rumah sakit tempat Bintang dibawa tadi sore. Cewek itu berjalan cepat melewati zebra cross. Masuk ke dalam, bertanya pada petugas resepsionis informasi. "Permisi, Suster ... mushola di mana, ya?" "Oh di sana. Lurus saja, ada tandanya kok mushola belok ke kanan." Petugas itu mengarahkan dengan tangannya sambil melihat ke arah yang dimaksud. Starla mengangguk. "Makasih, Sus! Tersenyum, membungkuk sebentar. Lalu, bergegas menuju tempat tujuan. Mengingat petunjuk yang diberikan, Starla sampai pada tujuan. Mushola kecil yang terletak di ujung rumah sakit. Tidak terlalu ramai, dia berharap kebagian mukenah. Melepas sepatu, menghampiri tempat wudu. Melepas jasnya, menggulung seragam putih dan mengendurkan dasi imut yang nangkring di lehernya, lalu mulai mengambil air wudu. Selesai. Ia mengambil jas yang digantung, berjalan menuju mushola. Mengambil mukena yang tersisa satu. Meletakan jas dan ponselnya di pinggir ia salat. Kemudian gadis itu mulai memakai mukena, melakukan salat 3 rakaat. Selesai. Sedikit berdzikir selama 5 menit. Dilanjutkan membaca surah Al-Waqiah, membaca yasin untuk kesembuhan Bintang lewat aplikasi di ponselnya, agar cowok itu tidak kenapa-kenapa. Hampir kesemutan karena terlalu lama menekuk kakinya. Gadis itu menaruh ponselnya, berdoa sejenak. Lalu, membuka mukenanya. Meletakan kembali pada tempatnya. Setelah itu bergegas memakai jasnya kembali, rasanya hati dan pikiran jadi sejuk dan lebih fresh dari sebelum mengambil air wudu tadi. Langkahnya menuntun kembali pada meja petugas tadi. Bertanya kembali, "Permisi, Sus. Ruangan atas nama Bintang Gentala murid SMA yang tadi sore baru ke sini di mana, ya?" Lengkap Starla menyebutkannya, si petugas langsung mencari di layar yang ada di depannya. Kemudian menemukan sesuatu yang dicari. "Nomor ruangan 16, lantai dua Kak!" katanya. Starla mengangguk. Melakukan hal yang sama ketika bertanya letak mushola. Lalu, dia bergegas menuju lift. "Baru ketemu anak SMA sesopan itu ya. Anaknya mungil juga cantik dari hati." Petugas satunya nyeletuk, ia merasa tertarik dengan sikap Starla barusan. Murah senyum dan sangat sopan sekali. Si petugas lain mengangguk menyetujui pendapat temannya. *** Lift berhenti tepat di lantai dua. Persis di depan meja petugas seperti yang terletak di lantai satu. Starla mendekat ke sana, kembali bertanya, "Permisi, Sus ... letak ruangan kamar nomor 16 di mana, ya?" Suster yang bertugas sendirian itu tersenyum. "Itu Kak." Ia menunjuk sebuah kamar yang di sana sudah ada seseorang duduk di depan, di bangku panjang khusus untuk para penjenguk dan sebagainya. Sekali lagi Starla melakukan hal yang sama ketika di lantai bawah membuat si suster menghangat. Merasa dihargai sekaligus enak aja dilihatnya gitu nemu orang yang langka begini di zaman yang serba semena-mena. Starla berjalan sekitar 20 lebih langkah. Menghampiri seorang wanita yang masih cukup muda sedang duduk di sana. Sesekali wanita itu fokus pada ponselnya. Kedatangan Starla yang berdiri, membuat wanita itu tersadar. Starla membungkuk, menyalami wanita itu yang langsung disambut ramah meski agak terkejut. Sama, pemikiran wanita seperti suster-suster yang ditemui Starla. "Halo, Tante. Saya Starla, teman sekolah Bintang." Starla memperkenalkan diri. "Wah, kamu teman Bintang? Bunda kira putra Bunda cuma temenan sama sesama jenis hihi." Wanita itu tersenyum hangat. Mempersilakan Starla duduk di dekatnya. "Sini, duduk dulu. Kamu sudah makan? Pasti bolos jam tambahan, ya?" Starla duduk, menurut guna menghormati. "Hehe iya, Tan. Starla izin, soalnya—" "Pendek! Ngapain lo di sini? Bolos lo, ya." Itu suara Bintang. Si cowok yang random dan suka berubah-ubah sikapnya berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka tanpa tanda-tanda kedatangannya. Membawa selang infus di tangan kanannya. Di sampingnya ada tiang yang dia bawa juga. Bandel banget Bintang, belum juga pulih udah petakilan minta jalan-jalan. Starla melotot. Tidak habis pikir dengan sikap Bintang. "Bun, kenalin ini temen Bintang." Bintang mendekat pelan, yang langsung dibantu Starla. Bintang nyengir bentar melihat wajah Starla menahan amukan. Bunda menggeleng, ia sudah paham dengan putranya itu. "Bunda sudah kenal," kata Bunda tampak santai. "Kapan? Kan kalian baru ketemu." "Tadi dong. Starla langsung kenalan sama Tante." Starla menjawab dengan senyum yang merekah, begitu juga dengan Bunda yang tampak senang dengan kedatangan Starla. Bintang kemudian menyela, ikut duduk di tengah mereka. "Panggil Bunda gue Bunda aja. Tante kesannya nyokap gue udah tua aja." Bintang meminta sekaligus memberikan kode. Bunda mengangguk. "Iya Starla. Panggil Bunda aja." Tanpa menolak Starla membentuk hormat dan berkata, "Siap, Bund!" Yang membuat semua tertawa renyah. Sederhana saja, kekonyolan dan senyum Starla mampu menularkan kebahagiaan untuk mereka. Waktu berjalan begitu cepat. Starla menjaga Bintang, sedangkan Bunda pamit pulang. Untung besok Sabtu jadi sekolah libur. Sudah pukul 10 malam, Starla belum sempat salat. Pamit untuk salat tapi suasana rumah sakit jujur membuat bulu kuduk merinding jika malam begini. Menunggu Bunda datang katanya mau bawa baju dan mukena, sebelum Bunda pergi Starla berniat salat tapi kata Bunda salat di kamar Bintang aja nunggu Bunda bawa sekalian baju ganti untuk gadis itu. Hampir 2 jam menunggu. Tepat pukul 10 lewat, seseorang datang. Bukan Bunda, tapi .... "Starla." Seseorang itu terkejut, sama halnya dengan Starla. Bintang ingin beringsut dari rebahannya, sedangkan Starla masih duduk di sofa tidak jauh dari Bintang. Si pelaku yang baru datang menghampiri Bintang, meletakan barang bawaan di atas ranjang samping Bintang, lalu membantu cowok itu untuk senderan sebentar. Melirik Starla yang memperhatikan mereka, Bintang langsung menepuk tangan sang lawan yang berani-beraninya menatap Starla begitu. "Ngapain lo ke sini?" Bintang bertanya, agak ketus sekaligus kode ngusir. Jujur saja Bintang tak suka jika berdekatan dengan orang ini. "Disuruh Bunda, nih buat temen lo katanya." Mengabaikan penjelasan lawan bicaranya, Bintang mengambil alih barang bawaan seseorang itu. "Starla, ini!" Bintang memanggil Starla, sang pemilik nama mendekat. Tidak melirik satu orang lagi, dia mengacak rambut Bintang. Bintang balik mengacak rambut Starla. Keduanya saling bercanda sebentar di hadapan seseorang itu. "Udah sana ganti, katanya mau salat." Starla mengangguk. Memberikan sikap hormat yang membuat Bintang mencubit gemas pipi Starla. Starla melirik sebentar si penghuni lain kamar ini juga, kemudian dia tersenyum. Senyum manis yang selalu gadis itu tampilkan. Melangkah ke kamar mandi, ganti baju beberapa menit. Kemudian keluar dengan hoodie biru muda milik Bintang yang kebesaran, dengan overal dress tanpa lengan yang panjangnya selutut milik Bunda Bintang waktu muda, warnanya sama agak meluber karena sudah lama tidak dipakai mungkin. Bintang dan seseorang itu memperhatikan Starla yang memakai mukena, menggelar sajadah di samping sofa dengan dialasi karpet bulu yang disediakan di sana. Dua orang ini sibuk memperhatikan Starla salat sampai gadis itu selesai salam terakhir. Kepergok keduanya sama Starla, salah satu dari mereka membuang muka. Pura-pura melihat ponsel yang digenggam. Starla berdoa sebentar. Kemudian membuka mukenanya, meletakkannya kembali di goodie bag bersama dengan baju sekolahnya. Starla memegang perutnya. Bintang yang daritadi memperhatikan Starla refleks turun dari ranjang, lupa kalau impusnya masih menempel. "Aw!" Starla melirik sumber suara. Berhenti memegang perutnya. Ia panik langsung mendekat ke arah Bintang. Sedangkan makhluk lain yang dari tadi melihat bagaimana akrabnya Bintang dan Starla terdiam. Dia mau membantu, tapi Starla lebih cekatan darinya. Membaringkan kembali Bintang di ranjang. Starla menahan rasa sakit di perutnya. "Lo laper?" Starla mengangguk. Menelan ludah karena memang dia sangat lapar. Wajahnya saja sampai pucat begitu, ditambah perutnya perih. Bintang mengambil ponsel. Tapi dia sadar ada sesuatu. "Gue mau keluar. Kalian mau nitip apa?" Itu seseorang tadi. Dia sudah berdiri. Memasang wajah biasa saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD