"Hati-hati ya, Nak!" Bunda berpesan yang diangguki Bintang yang sudah nangkring di atas motor.
"Bun, Bintang pamit. Maaf ngerepotin."
"Nggak apa-apa, sering-sering main ke sini ya!"
Percakapan singkat mereka berakhir setelah Bintang menjawab oke. Kemudian menundukkan kepala sebentar sebagai tanda 'aku pergi dulu'.
Motor Bintang meninggalkan rumah Starla. Gadis itu masih tersenyum hangat, sorot mata yang selalu Bunda lihat adalah kebahagiaan. Bukan seperti hari-hari lalu.
Bunda mengelus puncak kepala Starla, memeluk putrinya dengan erat. "Bahagia selalu, Sayang."
Starla membalas pelukan Bunda lalu mengangguk. Ia sangat bersyukur memiliki Bunda yang super perhatian.
Wanita yang ia cintai, surganya.
***
Halte bus tampak begitu ramai, sampai Starla aja berdiri. Bersandar pada telepon umum, sibuk membaca n****+ yang ia beli bulan lalu. Namanya juga sibuk nugas daring, sebelum masuk sekolah offline. Mana sempat dia baca n****+ di rumah. Sekarang kan sekolah sudah seperti biasa, ia bisa menghirup udara segar.
Sibuk membaca, Starla terkejut saat Bintang tiba-tiba datang menarik tangannya. Membiarkan benda biru yang diberikan cowok itu menggantung satu di telinga.
"Bintang ih!" Starla memukul tangan Bintang dengan novelnya. Tidak peduli anak-anak melihat mereka.
Bintang langsung melepas genggamannya, sedangkan Starla cemberut mengabaikan cowok itu. Lanjut membaca n****+ yang lagi seru-serunya.
Sedetik kemudian Starla melirik sesuatu yang disodorkan Bintang di depan wajahnya, tepat di atas n****+ yang baru ia beli itu.
"s**u cokelat?" Bintang mengangguk. Starla mengambil s**u kotak itu, mencoblos dengan sedotan lalu meminumnya dengan cepat. Kebetulan banget tenggorokannya terasa sangat kering.
"Makasih." Tandas sudah s**u cokelat itu dalam hitungan detik. Starla hendak membuangnya, Bintang mencekal Starla.
"Sekalian." Cowok itu nyengir, meski mencebik Starla melakukannya.
Bus datang tepat Starla kembali di samping Bintang. Semuanya masuk ke sana, Starla yang mungil tersenggol-senggol, tidak bisa masuk. Sedangkan si Bintang sudah nangkring di dalam.
Melihat Starla yang masih di luar, Bintang terkekeh. "Dasar pendek nyusahin."
Cowok itu menarik Starla pelan, dia sudah membayar dengan kartu untuk dua orang.
Pintu tertutup, bus melaju.
Jarak sekolah mereka sekitar 25 menit. Bintang menyomot salah satu benda biru yang ia namakan mp3 itu dari Starla kemudian dipindahkan ke telinga kirinya. Starla tidak menghiraukan Bintang, ia sibuk menyelesaikan novelnya. Dengan satu tangan yang menggantung, satu tangan fokus memegang n****+.
"Turun oy!" Bintang berteriak di samping telinga Starla, gadis itu buru-buru menutup novelnya. Kemudian mengikuti Bintang.
MP3 tadi terlepas begitu saja dua-duanya, karena Bintang bukannya melepaskan malah membiarkan ketarik sampai lepas sendiri.
Sampai depan gerbang, Bintang memundurkan langkahnya. "Lo udah sarapan?" tanya Bintang pada Starla. Si empu cuma geleng kepala.
Starla kan nggak pernah sarapan. Dia tidak bisa semeja dengan ayahnya. Padahal Bunda meminta, tapi dia memilih membawa bekal saja daripada harus membuat keributan di pagi hari, kan.
"Kok belum?"
"Kepo!" Starla berlari, tertawa pelan meninggalkan Bintang yang mematung sesaat kemudian mengejar Starla.
Keduanya saling berlari sampai Starla terjatuh di depan lorong yang dipenuhi siswa sedang mengobrol sebelum jam masuk berbunyi.
Para siswa yang menyaksikan bunyi aneh yang berasal dari Starla langsung tertawa. Bukannya menolong malah semakin menertawakan seakan musibah Starla itu bahan lelucon.
Kaki Starla kesemutan, ditambah lantai yang baru dipel terasa licin akhirnya dia jatuh karena berlari-lari.
Bintang yang baru saja datang, memergoki Starla yang terduduk di lantai. Gadis itu menunduk, novelnya terlempar di depan sana, cukup berjarak dengan si pemilik.
Starla memejamkan matanya, merasakan detak jantung yang bergetar hebat, kepalanya mendadak pening. Darah rendahnya kambuh.
Bayang-bayang anak memakai seragam putih biru yang berdiri di setiap lorong menggema di pendengarannya. Sorot mata mengejek, serta u*****n dan lontaran cacian memasuki bayang-bayang ruang memori lamanya.
"Ya ampun karma itu. Anak pelakor emang berhak dapet karma."
"Bisa-bisanya anak perebut suami orang ada di sekolah kita."
"Menjijikan banget."
"Dasar anak pelakor!"
Plak!
"Starla!"
Starla menahan napasnya yang terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat. Suara Bintang dan suara masa lalu menggema begitu saja.
Bintang berlari hampir ikut terpeleset, berjongkok di hadapan Starla yang masih menunduk. Memegang kedua lengan gadis itu, menatap sekitar yang hanya berdiri menyaksikan tanpa membantu.
Miris banget. Bintang murka. Cowok itu lantas menarik pelan Starla untuk berdiri. Memapah gadis itu pelan-pelan tidak lupa mengambil n****+ yang jatuh.
Membawa gadis itu dari sorot manusia yang tidak punya hati. Tanpa kata, dengan amarah yang ditahannya ia melewati semua siswa dengan tatapan tak habis pikir.
Semua yang menyaksikan tertawa lagi menyaksikan kedua orang yang berjalan ke arah klinik. Entah apa yang mereka pikirkan, seakan tontonan tadi adalah lelucon.
Apakah dunia sebercanda ini? Manusia memang jahat, sesama manusia lainnya sedang jatuh malah ditertawakan.
Ya memang, mereka nggak saling kenal. Tapi, apa salahnya saling membantu?
***
"Lho, ini kenapa?" Tiba di dalam klinik, seorang petugas kesehatan mendekati mereka. Membantu Bintang meletakan Starla di atas ranjang. Membiarkan gadis itu terpejam sambil gemetar.
"Dia kenapa? Nama kamu siapa? Nama dia siapa, biar Ibu catat dulu." Ibu petugas itu bertanya, kembali ke meja tugasnya bersiap mencatat.
"Saya Bintang, Bu. Dia Starla, kita dari kelas 12." Bu Sonya selaku petugas kesehatan mengangguk. Ia mengambil alat periksa, memeriksa Starla dengan teliti.
"Dia kecapekan, banyak pikiran."
Bintang mengangguk. Melirik Starla yang masih memejamkan matanya. Lalu, cowok itu langsung menarik telapak tangan Starla. Menggenggamnya erat berharap menyalurkan ketenangan.
Tangan yang semula bergetar perlahan mulai membaik. Hanya saja suhu tubuh Starla demam. Gadis itu pasti banyak pikiran, mangkanya ia jadi begini.
"Bu, saya mau beli sarapan dulu buat dia, ya. Tolong jagain Starla hehe." Bintang menyengir membuat Bu Sonya geleng-geleng mengerti.
Kemudian cowok itu pergi. Melirik bentar Starla, seolah takut gadis itu menghilang. Sedangkan, Starla sendiri sudah tertidur sejak 3 menit yang lalu karena sangat pening kepalanya.
"Beruntung sekali kamu Starla punya cowok yang perhatian kaya Bintang." Bu Sonya tersenyum, ikut bahagia melihat dua remaja yang saling perhatian seperti itu.
***
Jam pelajaran pertama sudah dimulai, karena mereka beda kelas jadi Bintang tadi meminta izin pada salah satu teman Starla.
Kelas mereka bersebelahan. Kelas 3-2 dan kelas 3-1.
Bintang meninggalkan Starla di klinik, cowok itu menuruti perkataan gadis itu untuk tidak membolos. Mengikuti pelajaran dengan santai.
Ting ting ting
"Selesai untuk hari ini. Sampai jumpa anak-anak!" Wali kelas, selaku guru Matematika menghentikan menulis di papan tulis, meletakkan benda putih di meja guru. Lalu, membereskan beberapa buku yang dia bawa dan pergi meninggalkan kelas.
Bintang langsung keluar dari pintu sebelah kanan. Deretan bangku belakang. Cowok itu berlari, menghiraukan teriakan salah satu siswa.
"Sialan, gue ditinggalin. Miris banget doi ninggalin gue, si Bintang juga sama. Aelah hidup-hidup!" Si empu nyerocos lebay, berjalan ke arah kantin.
Sedangkan Bintang berlari menuruni tangga, berjalan cepat menyusuri lorong kelas 2. Berhenti tepat di klinik kesehatan, membuka pintu. Menemukan Starla tidak ada di ranjang yang gadis itu tempati.
Cowok itu mendekat ke arah ranjang yang semula ditempati Starla dengan panik, kemudian membuka tirai ranjang sebelahnya, tidak ada. Sampai
pada ranjang ketiga, Bintang menemukan Starla terduduk menghadap tembok.
Gadis itu sedang bersembunyi. Di depannya banyak makanan pedas berkuah. Seperti seblak, bakso mercon dan ramen pedas level 4.
Bintang melongo. Meneguk ludahnya sesaat ketika melihat Starla dengan nikmatnya mengunyah makanan-makanan itu. Baru sadar, Bintang mendekat, berteriak kencang di samping Starla yang masih sibuk mengunyah.
"Starla! Bocah satu ini yaampun. Dodol banget sih lo!" Bintang murka, berjongkok cepat mengambil alih sumpit dan ramen yang dipegang Starla.
Starla untung nggak tersedak. Gadis itu biasa saja sebelumnya sempat merasa tertangkap basah.
Dia menyengir kemudian cemberut kesal melototi Bintang. "Balikin nggak! Lagi nikmat-nikmatnya lo ambil. Kalau mau lo beli sendiri, sana!" Starla ingin meraih ramen itu di tangan Bintang, tapi cowok itu lebih dulu menjauhkannya. Membuat Starla gregetan setengah mati.
Bintang menjitak kepala Starla lumayan keras dengan tangan kosongnya. Si empu mengaduh.
"Buang semuanya. Buang," kata Bintang ingin mengambil alih seblak dan bakso yang tersisa dengan kuah merah kental. Pasti nih cabai seember dia tuangin. Pikir Bintang.
Cowok itu ditahan Starla. Membuat Bintang menatap tajam temannya itu. Starla penyuka pedas, tapi dia tidak sadar jika penyakit lambungnya tidak ia pedulikan.
"Starla." Bintang menggeleng. Menjauhkan tubuh Starla yang melindungi makanan-makanan yang dia pesan lewat online itu.
Pasrah, Bintang membungkus semuanya ke dalam plastik, lalu cowok itu berdiri. Diikuti Starla yang tidak bisa berkutik.
"Bintang lo beneran mau buang itu makanan?" Starla menyayangkan banget masih lumayan banyak, ditambah membuang makanan itu mubazir.
"Kan mubazir, Tang!" Starla menambahkan. Membujuk siapa tahu Bintang berubah pikiran dan mengembalikan makanan itu untuk dihabiskan olehnya.
Starla tersenyum di balik punggung Bintang yang masih berdiri. Kemudian cowok itu berbalik, mengucapkan kalimat yang membuat Starla terhipnotis sesaat. "Siapa bilang gue bakal buang? Gue yang habisin." Setelah mengatakan kalimat itu Bintang kembali menuju tempat tujuannya.
Starla diam saja, sadar jika Bintang akan menghabiskan itu semua. Gimana bisa, Bintang tidak suka pedas, ditambah cowok itu gampang sakit perut.
Starla berlari mengejar Bintang yang sudah tidak ada wujudnya. Entah ke mana cowok itu pergi secepat kilat.
"Cepet banget kaya dighosting, datangnya mendadak hilangnya cepet nggak ada jejak. Dasar cowok." Starla ngoceh sendiri sekaligus curhat dikit.
Gadis itu melangkah, bodo amat sekarang dia butuh minuman dingin yang dapat menyegarkan otak dan perutnya yang terasa amat panas dan mulai melilit.
Starla memegang perutnya sebentar, meringis. Kemudian cewek itu mengabaikannya seperti biasa, melanjutkan langkahnya untuk beli es pelangi di Mbak Surti.
"Ckck, cewek udah tau suka sakit perut masih aja makan pedes." Bintang keluar dari persembunyiannya. Dari tadi ia bersembunyi di belokan menuju kelas mereka. Cowok itu terkikik geli saat Starla ngedumel sekaligus curhat.
Tak habis pikir dengan keras kepalanya Starla yang menyakiti diri sendiri ini, cowok itu menatap bungkusan yang dibawanya. Menghela napas pasrah, mengambil ponsel di saku celananya, mengetikan sesuatu di sana.
[Ke tempat biasa. Sekarang, ada yang enak-enak].
Terkirim. Bintang langsung meletakan kembali ponselnya ke tempat semula, bergegas menuju tempat yang dimaksud.
***
"Anjir! Tang, lo serius kita habisin ini semua? Kita berdua?" Si empu yang mendapat pesan dari Bintang dengan iming-iming ada yang enak. Langsung menuju ke TKP.
Sampai di sini, halaman belakang yang cukup asri. Ada bangku panjang di bawah pohon, serta ada air mancur kecil di tengah-tengah halaman. Ditambah dengan tanaman gantung yang dirawat oleh tukang kebun.
"Ini enak. Udah makan, bantuin gue abisin cepet!" Bintang memaksa, menyengir sudah membawa temannya dalam mukbang makanan yang direbut dari Starla.
"Anjir, pedes banget gila! Ini mah menuju ajal tanpa kartu undangan kampret." Teman Bintang, mengusap-usap jidatnya yang penuh keringat. Padahal angin terasa sepoi-sepoi sekali.
Tapi, karena level pedas yang dipesan Starla itu super sadis menuju ajal. Keduanya sampai kepedasan tingkat dewa. Dahi berkeringat, mata memerah menahan tangis. Serta bibir yang tipis semakin merah dan dower.
Keduanya terus melahap. Padahal sudah ingin menyerah!
"Tang, udah. Udah gue nyerah!" Teman Bintang melambaikan tangan, mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. Menepuk dadanya dan melepas jas almamater dongkernya. Terus menyeka keringat, mengibas berulang-ulang. Tepar dia.
Bintang yang merasakan hal sama dengan temannya itu, lantas menutup suapan terakhir, menyudahi sensasi pedas bakso mercon. Cowok itu bernapas lega, meminum sebotol air mineral. Tadi sebelum ke sini, temannya ia perintahkan juga membawa beberapa air minum.
Bintang menenggak habis airnya. Cowok itu lantas ikut tepar. Bersandar di pohon besar. Jas yang dikenakannya ia copot juga.
Masih terasa pedas di mulut dan panas di perut efeknya. Kedua cowok itu merasa perutnya mulai mules dan perih.
"Gue mau babaran, Tang!"
***
Sudah hampir selesai pelajaran dan semua kelas hari ini. Tinggal kelas tambahan nanti malam, tapi Bintang masih saja merasakan mules dan harus bolak-balik kamar mandi. Padahal sudah minum obat pereda.
Cowok itu tepar di atas meja biru muda di belakang. Di sampingnya ada temannya tadi yang sudah agak membaik. Dibandingkan Bintang, cowok itu lebih sedikit makan tadi. Jadi, ya sudah tidak mules lagi.