Bab 4. Justin Goyah

1031 Words
Happy Reading Aldo merasa ada yang memperhatikan dari luar, anak itu langsung melihat ke belakang dan dia melihat ayahnya Florensia masuk ke dalam mobilnya. Entah kenapa melihat Flo dan ayahnya membuat Aldo merasa ingin memiliki seorang Ayah. Padahal selama ini Aldo selalu bisa mengendalikan perasaannya, dia tidak pernah se-sensitif ini sebelumnya. "Ada apa tuan kecil? Kenapa wajahmu begitu murung?" tanya Mia. Memperhatikan gerak gerik Aldo saat dia baru saja tiba tadi. "Tidak apa-apa, Bu, Al laper," jawab anak itu sambil menundukkan kepalanya. Seharusnya Aldo tidak bersikap seperti ini, bahkan dia juga sering melihat temen-temennya yang diantar ke sekolah oleh ayah kandungnya, tetapi Aldo tidak pernah merasa cemburu. Akan tetapi entah kenapa melihat Florensia di jemput oleh ayahnya membuat dia iri seperti ini. "Apa perlu kita mampir beli es krim? Mumpung Mommy tidak tahu, tapi ini hanya akan menjadi rahasia kita, hem?" Aldo terkejut ketika mendengar sang pengasuh menawarkan es krim padanya, padahal biasanya makanan itu selalu di hindari oleh pengasuhnya itu. "Apa Ibu tidak salah bicara? Ibu menawariku es krim?" Mia mengangguk mantap dan melirik sekilas ke arah Aldo, kemudian ia fokus menyetir kembali. "Bu Mia rasa makan es krim sebulan sekali tidak masalah, mungkin tuan kecil perlu mencicipi sedikit es krim coklat agar otak kita menjadi segar, bagaimana?" "Tentu saja aku mau, tapi jangan bilang-bilang ke Mommy dan nenek ya, Bu?" ucap Aldo berbinar. "Tentu saja, sayang. Bukankah Ibu sudah mengatakan bahwa ini hanya akan menjadi rahasia kita?" Aldo mengangguk-anggukkan kepalanya senang. Sudah lama anak itu tidak makan es krim, mungkin sebulan sekali sang ibu mengizinkan putranya itu makan, itu pun tidak boleh kalau musim dingin tiba. Semenjak dua tahun lalu Aldo sakit panas demam sampai harus dirawat dua hari di rumah sakit gara-gara makan semangkuk es krim saat musim dingin. Mia sendiri tidak bermaksud untuk membuat Aldo melanggar aturan mommy-nya, wanita itu hanya merasa kasihan saat melihat wajah Aldo yang terlihat muram setelah melihat temannya bersama Ayahnya. Mia tahu bagaimana perasaan Aldo yang belum pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah semenjak dia lahir. Evelyn sendiri mengatakan bahwa mantan suaminya pergi meninggalkannya. *** Justin menatap Laura yang kini telah sibuk memilih desain undangan untuk pernikahan mereka. Ada rasa bersalah dan tidak enak hati melihat Laura seantusias itu menyambut pernikahan yang akan mereka gelar empat bulan lagi itu. Saat ini keinginan Justin hanya satu, sejak berhasil bertemu kembali dengan Evelyn, pria itu ingin menemuinya lagi, bahkan dia akan meminta nomer telpon sang mantan istri. Biarlah dia menjadi pria b******k, yang jelas itulah yang ia inginkan saat ini. "Apa kamu memiliki nomer pemilik Wedding organizer yang kemarin kita datangi itu, Laura?" tanya Justin. "Pemiliknya nyonya Alma, sahabatnya Mama, apa kamu mau aku memberikan nomernya, sayang?" tanya Laura. Justin menelan salivanya, nyonya Alma adalah mantan mertuanya. Apa dia sanggup untuk bertemu dengan mantan mertuanya itu? "Tidak, maksudku bagaimana dengan Nona Evelyn, apa kamu memiliki nomernya? Aku ingin menanyakan tentang desain pernikahan dengan tema Spring and lilies, aku sangat tertarik dengan desain itu." Laura membelalakkan matanya ketika mendengar ucapan sang calon suami. "Apa aku tidak salah dengar, sayang? Baru kali ini kamu nampak antusias dengan acara persiapan pernikahan kita?" Justin menelan salivanya. "Sial! Kenapa aku bisa keceplosan begini, sih? Agrh! Aku seperti ini karena Evelyn, bukan karena antusias!" batin Justin. "Ya, sepertinya menarik, jadi aku hanya ingin melihat desain itu karena kemarin Evelyn, eh maksud ku nona Evelyn tidak memperlihatkan desainnya itu," jawab Justin kelabakan. "Sepertinya aku benar-benar akan menjadi pria b******k lagi, Eve! Aku akan gila karena mu!" "Ya, aku punya. Akan aku kirim nomer telepon Nona Eve, ehm ... aku senang sekali melihatmu yang sangat antusias seperti ini, sayang!" Laura berdiri dan memeluk Justin. Wanita itu mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir calon suaminya itu, Justin yang paham maksud Laura langsung mengalihkan wajahnya, membuat Laura hanya bisa menempelkan bibirnya pada pipi Justin. Ada raut kecewa yang tercetak di wajah cantik itu, Justin selalu seperti ini, pria itu sangat sulit untuk di ajak bermesraan atau bahkan hanya sekedar ciuman. Justin selalu menghindar, sikapnya yang dingin itulah yang menjadi daya tarik wanita ini. Seorang Laura adalah wanita yang biasanya selalu dipuja dan dikejar oleh para pria tampan, sempurna, kaya, dan mapan. Bahkan banyak dari mereka melakukan berbagai cara agar bisa menaklukkan hati Laura, tetapi nyatanya wanita itu lebih tertarik dengan Justin. Bahkan melamarnya secara langsung karena merasa laki-laki itu begitu kaku. Yah, Laura memang penasaran dengan sosok pria yang saat ini sudah menjadi calon suaminya. Apakah ini masuk kategori cinta atau obsesi? entahlah, Laura hanya ingin membuat Justin takhluk kepadanya. "Baiklah, sayang, tunggulah satu menit, nomer Nona Eve akan segera terkirim, tapi sepertinya dia tidak ingin memberitahukan kepada kita tentang konsep desain premiumnya itu?" ujar Laura akhirnya. Meskipun dia kecewa tetapi Laura selalu bisa mengalihkan kekecewaannya dengan yang lain. Laura menyadari jika menaklukkan seorang Justin itu tidak mudah. "Aku pasti akan mendapatkannya," jawab Justin singkat. "Huh, aku tidak sabar, Evelyn!" batin Justin. *** Sedangkan di sisi lain. Evelyn meletakkan tab-nya ke atas sofa dengan sedikit kasar, desain Spring and lilies sudah 99% jadi dan siap di luncurkan pada klien untuk promosi, tetapi rencana yang sudah ia susun matang ternyata tidak jadi terealisasikan karena pertemuannya dengan klien tidak terduga yaitu Justin sang mantan suami. Mungkin sebaiknya Evelyn mengalihkan pekerjaannya ini pada sang Ibu. Yah, itu lebih baik, meskipun ia yakin bahwa ibunya pasti sama terkejutnya dengan Evelyn, itu lebih baik dari pada dia yang harus menangani. "Sepertinya aku butuh piknik, pikiranku benar-benar lelah!" keluh Evelyn menangkup wajahnya ke meja. Tiba-tiba terdengar suara ponselnya berdering. Evelyn mendongak dan melihat siapa yang meneleponnya. Siapa lagi yang menelepon ke nomer pribadinya? Itu nomor asing? Tidak banyak yang tahu nomer pribadi wanita itu, kalau masalah pekerjaan Evelyn menyuruh Daisy untuk meng-handle semuanya. Bahkan biasanya para klien akan menelpon Daisy terlebih dahulu sebelum asistennya itu melaporkan padanya. Karena nomer itu meneleponnya dua kali mungkin memang penting. Akhirnya Evelyn terpaksa mengangkat panggilan tersebut. "Halo?" Evelyn mengerutkan keningnya ketika tidak ada orang yang menyahutnya di sebrang telepon. "Siapa sih, orang yang iseng?" "Halo, maaf kalau tidak penting dan bukan masalah pekerjaan jangan telepon lagi, Anda menggangu saya!" Siapa sih orang yang mengusiknya sepagi ini? Evelyn akan menutup teleponnya, tetapi tiba-tiba orang di sebrang telepon berbicara. "Jangan ditutup, aku ingin membahas masalah pekerjaan!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD