6. Kami Semua Bisa Melihatmu ....

1571 Words
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” tanya Bu Suminten sembari bergantian menatapku dan Gading. Aku mengangguk ragu sementara Gading hanya diam saja. Apa bertemu dengannya seperti itu bisa dikatakan kami saling mengenal? “Gak tepat seperti itu sih, Bu. Kami hanya pernah beberapa kali bertemu,” kataku meralat dengan cepat. Aku tak ingin dikatakan sok dekat padanya padahal Gading bersikap acuh seolah tak pernah melihatku. “Dia kemenakan jauh Ibu. Baru datang dari pulau seberang.” Ani mengangkat bahu sambil menatapku penuh arti, dia seakan ingin mengatakan bahwa dia juga baru tahu hal ini sekarang. “Ani pasti lupa, saat Gading tinggal disini dulu dia masih kecil. Ohya Gading, dulu juga mengenal Budi. Mungkin kamu bisa menceritakan tentang Budi pada dua gadis yang penasaran ini.” Gading mengenal Budi? Jadi berapa usianya? Apa lebih tua sepuluh tahun dari kami? Tapi wajahnya tampak belia, tak seperti pria dewasa dengan kerut halus menghiasi sudut mata atau garis tawanya. “Saya tak terlalu mengenalnya. Kami hanya pernah beberapa kali bertemu.” Mengapa aku seperti pernah mendengar kalimat ini? Kurasa dia sengaja meniru ucapanku. Membosankan. Tak sadar aku mendecih kesal. Apa Gading mendengarnya? Dia memutar bola matanya malas. “Tapi saya tahu, Mas Budi punya teman berkeluh kesah. Dulu Mas Budi pernah sekali membawa saya kesana.” Dia memanggilnya ‘Mas’, berarti Gading tak setua yang kusangka tadi. Aduh, mengapa aku justru memikirkan hal tak penting ini? Seharusnya aku fokus untuk mengerjakan tugasku melaksanakan permintaan terakhir hantu penghuni bangku kosong di kelasku. “Mas bisa membawa kami kesana? Siapa tahu dia bersedia cerita masalah yang membelit Mas Budi sampai dia nekat bunuh diri. Karena saya pernah bertanya di sekolah, tak ada yang tahu masalah ini.” Itu benar. Aku pernah mengorek masalah kematian Budi pada satpam sekolah dan tukang kebun. Mereka bungkam, bahkan terkesan menutupi kasus kematian Budi. Mengapa begitu? Aku jadi penasaran. Mungkin mereka sengaja menutupi kasus yang merugikan nama baik sekolah dulu. Gading tak segera menanggapi permintaanku, alih-alih mengiyakan atau menolak permintaanku … dia justru menatapku tajam. Dih, menyebalkan sekali. Kalau tak mau membantu, lebih baik menolak langsung. Tak usah sok misterius begini. “Darimana kalian tahu tentang Mas Budi?” tanyanya lebih ditujukan padaku. Ani menatapku bimbang. Apa kami perlu mengatakan yang sebenarnya bahwa roh Budi mendatangiku dan meminta tolong padaku? Aku tak ingin dicap gadis aneh. Lagipula aku tak ingin kemampuan misteriusku diketahui banyak orang, bahkan kedua orangtuaku belum mengetahuinya. “Kak Fara, dia tanya loh. Kok enggak dijawab?” tegur Lince yang mendadak muncul di sampingku. Aku meliriknya enggan, karena tak ingin semua orang menyadari kehadiran hantu nonik Belanda yang centil ini. Sekarang saja dia asik mengamati Gading dengan mata berbinar-binar. “Cowok ini ganteng sekali. Gak kalah ganteng sama cowok yang di sekolah. Malah lebih keren ini, Kak. Dia so cool. Mirip cowok di film mafia yang Lince lihat itu loh.” Tepok jidat deh. Penyakit centil Lince sepertinya makin menjadi. Aku tak bisa mencegahnya, tangannya terulur ingin menyentuh wajah Gading. Ya ampun! “Pergi!” Aku terhenyak mendengar bentakan marah Gading. Dia berkelit sembari menatap marah pada Lince. Apa dia bisa melihat hantu centil itu? “Apa dia bisa melihat Lince?” Pertanyaanku terwakilkan oleh si pemilik sosok aneh itu sendiri. “Tidak hanya Gading, kami semua bisa melihatmu, Noni kecil,” sahut Bu Suminten. Bola mata Lince nyaris melompat dari sarangnya begitu mendengarnya. Jarinya menunjuk kami semua. “Kalian bisa melihat makhluk halus? Jadi si ganteng ini tahu kalau tadi ku-“ Gading mendengkus kasar memotong pembicaraan Lince dengan wajah muram. Lince bungkam seketika. Perlahan dia beringsut mendekatiku dan berbisik lirih di dekat telingaku. “Ganteng-ganteng jutek, Kak. Lince rasa lebih menarik Adit yang sangat ceria dan berkilau.” “Nak Fara belum tahu, Gading juga bisa melihat makhluk halus. Kemampuannya ini muncul sejak ….” Ucapan Bu Suminten terputus karena lagi-lagi Gading mendengkus dingin memperingatkannya. Wanita paruh baya itu menghela nafas panjang sebelum melanjutkan penjelasannya. “Intinya dia bisa melihat yang tak kasat mata. Nak Fara bebas menceritakan masalah Budi padanya.” Berhubung Gading telah tahu kemampuan anehku, tak ada salahnya kuceritakan arwah Budi yang penasaran ingin dibersihkan namanya. “Dia mendatangiku dan meminta tolong ingin dibersihkan namanya. Katanya dia telah difitnah mencuri sebelum meninggal. Tapi sebagian ingatannya telah hilang. Mas Budi hanya masalah yang membuatnya mati penasaran. Lainnya tidak,” jelasku singkat. “Mungkin dia mati bunuh diri karena tak tahan dituduh telah mencuri,” timpal Ani sembari menggelengkan kepala sedih. “Mengapa kalian tak mencari tahu di sekolah?” tanya Bu Suminten tiba-tiba. “Sudah, Bu. Tak ada yang tahu masalah ini. Sepertinya mereka menutupinya,” jawabku enggan. “Tentu saja!” timpal Gading dingin. “Apa Mas Gading bisa mengantar kami menemui teman akrab Mas Budi tadi?” pinta Ani kalem. Aku ikut memandang Gading penuh harap. Dia melirikku enggan sebelum menjawabnya. Aku tak yakin dia mengiyakannya. “Baik.” Apa aku tak salah mendengar? Dia bersedia membantu kami? Tak sadar aku menatapnya heran. “Besok Sabtu, jam delapan pagi,” lanjut Gading memutuskan tanpa bertanya apa kami sepakat dengannya. Dasar arogan! *** Aku masuk ke rumah diikuti oleh Lince. “Untung kamu masih ingat pulang, gak tinggal disana supaya bisa melihat cowok ganteng sepuasmu?” godaku hantu Noni Belanda yang ganjen itu. “Ish, dia bukan selera Lince! Lebih cocok dengan Kak Fara. Kalian itu sok jutek tapi saling perhatian. Iya, kan?” balas Lince sembari mengerling genit. Ingin aku menjewer telinganya gemas, tapi kupikir percuma. Hantu tak bisa merasakan sakit hanya karena dijewer telinganya. Cocok dari Hongkong?! Mana mungkin aku dan Gading pasangan serasi. “Kami semua bisa melihatnya … kalian sering mencuri pandang.” Tak mungkin! bantahku dalam hati. Namun aku malas melakukannya di depan Lince. Dia tak akan berhenti kalau terus kutanggapi. Lebih baik kuabaikan dan kuanggap dia tak pernah mengatakannya. Sengaja kualihkan tatapanku ke cermin yang tergantung di ruang tengah. Mataku terbelalak begitu menyadari ada pantulan dua sosok yang berwajah sama di sana. Jika yang satu adalah milikku, lalu yang lain? Sosok yang lain itu menatapku penuh dendam! Aku menoleh cepat ke belakangku, namun tak ada siapapun disana. Bulu kudukku meremang seketika. Siapa yang kulihat barusan? Apa sosok tak kasat mata atau halusinasiku semata? “Bayangan lain di sana tadi … apa kamu juga melihatnya?” tanyaku pada Lince sambil menunjuk cermin. Melihat tatapan keheranan di wajah gadis itu, sepertinya dia tak mengetahuinya. “Apa yang kamu lihat, Fara?” Justru Mama yang menanggapi pertanyaanku. Dia muncul dari dalam kamar Fitri dengan wajah kuyu. Mama membawa alat kompres penurun demam yang biasa diisinya dengan es batu. “Gak ada, Ma. Apa Fitri sakit?” tanyaku khawatir. Belakangan ini adikku sering demam. Kami khawatir penyakit lama Fitri kembali kambuh. “Dia demam, untung sudah mendingan,” sahut Mama sembari tersenyum menenangkan diriku. Aku teringat akan janjiku yang akan membicarakan masalah penjualan kue buatan Bu Suminten pada Mama. Kurasa sekarang bukan saat yang tepat mengutarakannya. “Ada apa? Sepertinya kamu ingin membicarakan sesuatu pada Mama,” cetus Mama yang tahu aku ingin mengatakan sesuatu dari ekspresi wajahku. “Gak apa, Ma. Mungkin lain kali. Mama masih repot mengurus Fitri,” kataku mengelak. Mama duduk di sofa ruang tengah, meletakkan kompresan yang dipegangnya di meja, lalu menepuk bantalan sofa di sebelahnya … menyuruhku duduk di sana. Aku menurutinya. “Katakan saja. Tak baik menyimpan masalah sendiri,” tukas Mama begitu aku duduk di sebelahnya. “Bukan masalah kok, Ma. Fara hanya ingin meminta sedikit bantuan. Ibu teman Fara berjualan kue-kue. Enak sekali rasanya. Siapa tahu Mama ingin menjualnya di toko kita. Kita bisa mengais rezeki sambil menimbun sedekah, kan?” Mama tersenyum lembut padaku, dia menepuk bahuku pelan. “Mama tak menyangka Fara sekarang semakin dewasa. Mama bangga padamu. Baiklah, Mama ingin memesan beberapa macam kue buatan ibu temanmu untuk mencicipinya. Jika memang enak seperti katamu, kita akan menjualnya di toko kita. Meski baru buka, pelanggan toko kita semakin bertambah. Siapa tahu mereka menyukai kue-kue buatan ibu temanmu.” “Terima kasih, Ma. Mama adalah mama terbaik di dunia! Sudah cantik, pintar kerja, baik hati lagi,” pujiku selangit. Mama membalasnya dengan mencubit hidungku gemas. “Mengapa semakin kesini kamu semakin pintar menggombal?” gerutu Mama sambil pura-pura mendelik. Kami tergelak bersamaan. Namun wajah Mama kembali muram begitu melihat alat kompres yang diletakkan di mejanya. Aku jadi prihatin karena memahami perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. “Ma, bagaimana keadaan Fitri?” Mama menghela nafas berat. “Mama khawatir penyakitnya kambuh lagi. Mungkin Mama dan Papa akan membawanya pergi berobat ke kota. Apa Fara tak masalah kami tinggal sendiri?” Aku tak ingin membebani Mama, dengan cepat aku langsung menjawabnya. “Mama gak usah khawatir. Fara sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri. Jika perlu Fara akan meminta Ani menginap di rumah. Gak apa, kan, Ma?” tanyaku meminta izin. “Tentu. Justru Mama lega ada yang menemanimu selama kami pergi,” jawab Mama yang tak bisa menyembunyikan kelegaannya. Mendadak aku teringat akan janji di hari Sabtu pagi, kami akan pergi menemui teman dekat Budi untuk mengorek masa lalu hantu penghuni bangku kosong itu. Lebih baik aku meminta izin sekaligus pada Mama. “Ma, Fara juga meminta izin untuk pergi bersama Ani dan teman Fara. Kami akan pergi mengunjungi teman.” “Baiklah, tapi jangan pulang terlalu sore.” Mama sontak mengizinkan tanpa curiga. “Terimakasih, Mama. Fara janji akan pulang secepatnya,” janjiku spontan. Aku tak menyangka di kemudian hari, janjiku itu tak akan terpenuhi. Petualangan mengerikan menantikan kami! Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD