“Sepertinya dia sedikit terlalu ramah, ya?”
Ani menyikut lenganku dan menunjuk seseorang dengan dagunya. Aku mengikuti arah pandangnya dan menemukan Adit yang tengah tertawa ceria diantara kumpulan siswi sekolah kami.
“Mungkin dia hanya berusaha ramah sebagai murid baru,” kataku yang tak sadar agak membela Adit.
Orang yang kubela menoleh padaku dan tersenyum sumringah padaku seolah tahu apa yang baru saja kulakukan untuknya. Lantas dia berpamitan pada barisan penggemarnya.
“Eh, dia kemari,” celetuk Ani heran.
Benar juga, Adit mendekati kami dan duduk di sebelahku. Sebenarnya itu bukan hal aneh mengingat dia adalah teman sebangkunya. Berbicara hal ini mengingatkanku tentang penghuni bangku kosong di sebelah kananku. Aku terkesiap ketika melirik kesana, wajah berdarah-darah dalam balutan seragam lusuh itu menatapku marah.
“Mengapa dia marah padaku?” gumamku sembari mengkedikkan bahu, ngeri.
“Seharusnya Fara tak boleh menganggapnya ada. Anggap saja disana bangku tanpa penghuni,” sambung Ani lirih.
Aku lupa dia juga bisa melihat makhluk halus. Konon, keluarganya keturunan dukun. Aku baru tahu hal ini dari teman yang lain, itu sebabnya mereka enggan berdekatan dengan Ani.
“Sudah berapa lama kamu tahu dia disitu?” tanyaku penasaran pada Ani.
“Sejak hari pertama aku masuk sekolah.”
Mataku membola mendengarnya. Sudah selama itu? Bagaimana bisa dia bertahan pura-pura tak menganggapnya ada?
“Apa sih yang kalian bicarakan?” sela Adit. Dia menatap heran pada kami berdua.
“Bukan apa-apa!” sahutku dan Ani bersamaan. Sebelum Adit semakin kepo, lebih baik aku membawa Ani pergi darinya.
“Adit, kami ada sedikit urusan. Bye!”
Aku setengah menyeret Ani dan membawanya ke lapangan olahraga. Disini sepi, kami bisa leluasa berbicara tanpa khawatir ada yang memperhatikan atau mendengarnya. Juga tak rikuh ditatap penuh amarah oleh si penghuni bangku kosong.
“Ani, apa kamu tahu cerita dibalik penghuni bangku kosong itu?”
Pertanyaanku tak langsung dijawab oleh Ani. Dia menatap sekitarnya dengan was-was. Setelah memastikan tak ada yang meresahkan, barulah dia berbisik padaku.
“Katanya dulu dia siswa di sekolah ini yang mati bunuh diri, terjun dari atap sekolah.”
“Jadi dia arwah penasaran yang meninggal tak wajar?”
Ani mengangguk. “Katanya dia bunuh diri karena tak tahan sering dipermainkan teman-temannya. Setelah meninggal dia terkadang mengganggu siapapun siswa yang menduduki bangkunya. Kita harus pura-pura tak melihatnya supaya dia tak mengusik kita.”
Ternyata kasus pem-bully-an. Tak kusangka di sekolah dusun terpencil ini ada yang melakukannya dan memakan korban! Tragis sekali.
“Kasihan juga dia. Tak heran dia jadi hantu gentayangan yang … eh, siapa nama penghuni bangku kosong itu?” tanyaku iseng.
“Namaku Budi.”
“Oh, Budi ….” Aku mengangguk sebelum syok begitu menyadari sesuatu. “Aaargh! Mengapa kamu bisa ada disini?”
“Bukannya dia tak bisa meninggalkan bangku kosongnya?” Kali ini aku menanyakannya pada Ani.
Ani diam saja. Ck, mungkin dia sengaja mengabaikanku demi aturan tak boleh menganggap penghuni bangku kosong itu ada. Sialnya aku terlanjur menanggapi keberadaannya. Aku tak mungkin berkelit tak melihatnya lagi.
Ani bersandiwara, pura-pura menguap lebar. “Ngantuk sekali. Fara, aku ke kamar mandi dulu untuk cuci muka.”
Dia pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuanku. Duh, Ani. Mengapa kamu meninggalkanku dengan penghuni bangku kosong ini? Aku terpaksa menghadapinya sendiri.
“Aku tak melihat apa-apa,” racauku seolah pada diri sendiri.
“Ndak usah berkelit lagi. Saya tahu kamu bisa melihatku.”
“Aku tak mendengar apapun,” imbuhku lagi.
“Dengar! Dengar! Dengar! Dengar!” Hantu penghuni bangku kosong itu mengulangnya berkali-kali hingga rasanya telingaku berdenging mendengarnya menjerit di sampingku.
“Diam! Aku tak mendengarmu, mengapa masih ngotot?” bentakku kesal.
Astaga, kali ini aku tak bisa mengabaikannya lagi. Terpaksa aku berhadapan langsung dengannya.
“Namaku Budi. Kamu pasti tahu aku penghuni bangku kosong di kelasmu,” cetus hantu Budi sembari menatapku tajam.
“Apa maumu? Bukannya aku tak menduduki bangkumu?” tanyaku memberanikan diri.
“Karena kamu bisa melihatku, aku ingin kamu membantuku.”
“Tapi apa yang bisa kubantu, Bud?”
***
“Maaf aku meninggalkanmu tadi, Fara. Aku sangat takut melihatnya mengejar kita ke halaman belakang.”
Ani menatapku rikuh. Saat ini kami berada di rumah Ani. Rumahnya mungil dan sederhana, namun terasa nyaman. Aku suka bersantai disini, terutama saat duduk di gubuk bambu di halaman belakang. Angin yang bertiup semilir menyejukkan hati kami. Mungkin karena itu aku jadi murah hati.
“Tak masalah, Ani. Lagipula kamu kembali tak lama kemudian.”
“Iya, aku tak bisa membiarkanmu menghadapi bahaya sendiri. Kita teman, harus saling membantu.”
“Ternyata dia tak berniat mencelakai. Budi hanya ingin meminta tolong.”
“Meminta tolong apa?”
Aku belum sempat menjawabnya, muncul ibu Ani yang datang membawa camilan buat kami. Sepiring bolu kukus hangat dengan uap yang masih mengepul tampak sangat menggiurkan.
“Mari dimakan, Nak. Kebetulan Ibu sedang ada pesanan kue. Ini masih ada sisa stok. Kalian boleh memakannya,” kata Ibu Ani menawarkan.
“Terimakasih, Bu.”
Aku mengambil satu bolu kukus dan menggigitnya sepotong. Manis dan lembut.
“Enak sekali, Bu. Lain kali saya akan meminta Mama pesan kue pada Ibu juga. Ohya, Mama baru membuka toko yang menjual berbagai macam keperluan. Saya akan berbicara dengannya. Barangkali Mama bersedia menjual kue-kue buatan Ibu.”
“Wah, terimakasih Nak Fara telah membuka pintu rezeki buat kami.”
“Belum, Bu. Tunggu Mama menyetujuinya dulu,” kataku meralatnya.
“Ndak apa, Nak, Ibu menghargai niat baik Nak Fara. Maaf, tadi Ibu dengar kalian membicarakan tentang sesuatu. Kebetulan Ibu punya sedikit pengetahuan tentang makhluk halus.”
Ani mengangguk untuk mendukung ucapan ibunya. “Keluarga kami memiliki bakat kekuatan supranatural. Dulu nenek buyut ibuku pernah menjadi dukun. Meski Ibu kini menjadi penjual kue, banyak yang mengira kami adalah keluarga dukun.”
“Ibu dengar ada arwah gentayangan yang meminta bantuan pada Nak Fara.”
“Benar, Bu. Dia meminta saya menemukan orang yang memfitnahnya. Jadi dulu sebelum Budi meninggal, dia pernah difitnah mencuri uang temannya. Itu sebabnya dia mati penasaran. Budi tak ingin dia dikenang sebagai pencuri.”
Bu Suminten, ibu Ani, menghela napas panjang. Dia duduk di sebelahku, dan ikut nimbrung dalam pembicaraan kami.
“Nak Fara memiliki kemampuan khusus yang membuat makhluk tak kasat mata tertarik mendekat. Nak Fara harus bisa memilah-milah mana yang berniat buruk atau mereka hanya sekedar ingin meminta bantuan supaya bisa meninggalkan dunia fana ini.”
“Maksud Ibu saya harus memenuhi keinginan terakhir mereka sehingga mereka bisa pergi ke tempat seharusnya?” tanyaku menegaskan.
“Begitu, Nak.”
Aku teringat akan permintaan Budi, si hantu penunggu bangku kosong. Darimana aku harus memulai penyelidikan kasus yang menimpa arwah penasaran itu? Sedang kejadiannya sudah berlangsung sepuluh tahun lalu.
Tengah aku memikirkan hal ini, tak sengaja tatapanku tertuju pada seseorang yang melintas di depanku. Dia lagi!
“Dia ….” Aku menunjuk padanya.
Perhatian Ani dan ibunya sontak tertuju pada lelaki yang kutunjuk. Bu Suminten tersenyum dan melambaikan tangan padanya.
“Gading, kemarilah.”
Mereka saling mengenal? Lalu ada hubungan apa diantara mereka?
Bersambung.