“Apa kamu baik-baik saja kami tinggal di rumah?” tanya Mama sekali lagi.
Pertanyaan ini terus diulangnya selama Mama bersiap-siap pergi hingga kini duduk di bangku penumpang, di samping Papa yang siap di balik kemudi. Aku tersenyum menenangkan mereka.
“Papa dan Mama gak usah khawatir. Fara bisa jaga diri, lagipula ada Ani yang datang menginap menemani Fara.”
Mama sontak mengalihkan tatapannya pada Ani yang berdiri di sebelahku dan tersenyum ramah padanya.
“Terimakasih, Nak Ani bersedia menemani Fara. Kami benar-benar terpaksa meninggalkannya sendiri di rumah. Untung ada Nak Ani, jadi Fara tak kesepian di rumah,” cetus Mama lembut.
“Ndak masalah, Bu. Fara adalah teman baik Ani. Sesama teman harus saling menolong dan menemani,” sahut Ani sedikit basa-basi.
“Kakak, sesama teman juga harus senang-senang bersama. Kalian nanti malam harus pesta daster ya. Biasa gadis-gadis begitu toh kalau menginap bersama saat Papa Mama gak ada?” celetuk Fitri seraya tersenyum memamerkan gigi ompongnya.
Aku mendelik gemas padanya. Apa Fitri tak tahu efek kalimat ngawurnya itu pada Mama? Terbukti beliau kembali cemas. Aku buru-buru menggeleng menenangkannya.
“Kamu kebanyakan nonton film, Adikku Sayang. Kami gak akan melakukan itu, benar, kan, Ani?”
Aku melirik Ani, meminta dukungannya. Untung sahabatku itu paham maksudku. Dia langsung mengangguk tegas.
“Iya, Kakak juga ndak tahan ngantuk. Kalau malam begitu menyentuh bantal pasti langsung tidur,” cengir Ani.
Mendengarnya, Mama kembali tersenyum lega. Dia hendak berkata menanggapinya namun Papa keburu menyela.
“Ma, sudah selesai pamitannya? Nanti keburu siang, kita harus menempuh perjalanan panjang ke kota S, loh.”
Akhirnya mereka benar-benar pergi setelah Papa memutus kata-kata perpisahan kami yang tak kunjung usai. Aku masih melambaikan tangan meski mobil yang membawa mereka sudah tak tampak lagi. Mengapa hatiku terasa berat berpisah dengan mereka? Dih, jangan sampai ini adalah firasat buruk … batinku tak rela.
“Tenang, Far. Mereka akan kembali dengan selamat karena kita mendoakan dengan tulus. Allah akan mendengarkan doa-doa umatNya,” hibur Ani padaku.
Aku memeluk Ani dengan terharu. Dia memang teman yang baik. “Terimakasih, Ani. Malamku akan sepi tanpa dirimu. Apa benar kamu akan tertidur begitu menyentuh bantal? Mengapa kita gak ngerumpi semalaman? Mumpung bisa tidur sekamar,” bujukku.
Ani terkekeh mendengar usulku. “Siap, mari kita pesta daster semalaman. Berdua!”
***
Pesta daster berdua?
Kami tak hanya berdua. Aku lupa memberitahu Ani kalau Lince tinggal di rumahku. Dan bukan hanya Lince saja! Ani ternganga saat menyaksikan hantu-hantu Belanda yang tengah berpesta tengah malam di ruang tengah rumahku.
“Apa aku sedang menonton film barat kuno toh?” gumam Ani takjub.
Kami tengah bersembunyi di pojokan dinding sembari mengamati hantu-hantu pirang gentayangan yang berdansa dan tertawa cekikikan. Mereka tampak indah dan tak nyata. Jika belum pernah melihat penampakan ini, pasti aku ketakutan seperti yang dialami Ani saat ini.
“Aku ndak paham mereka ngomong apa. Ohya apa kita aman bersembunyi disini?”
Aku tak sempat menjawab pertanyaan Ani, ada yang menjawabkan untukku.
“Selama kalian tak menampakkan diri, Lince rasa aman. Mereka asik berpesta, gak peduli sekeliling. Kecuali orang itu.”
“Orang itu?” tanya Ani bingung. Dia tampak was-was memandang sekitarnya. “Siapa dia? Apa dia sedang melihat kita? Kalau memergoki kita, lalu apa yang akan dilakukan orang itu pada kita?” berondong Ani.
Pertanyaan itu lebih menakutkan lagi bagi Lince, wajah hantu gadis Belanda itu berubah pias. Mata Lince berkeliaran dengan liar seolah tengah memindai kehadiran seseorang.
“Di-dia ibu tiriku. Dia sangat jahat! Lince takut dia akan ….” Lince menutup mulutnya dengan panik. “Astaga! Kita harus lari. Kakak, Mommy sedang mengincar kita!”
Lince menarikku dengan panik, spontan aku juga menarik Ani. Awalnya kami lari bertiga, tapi lama kelamaan Ani kesulitan menyamakan langkah dengan kami. Dia tertinggal di belakang.
“Lince, Ani tertinggal. Berhenti!” teriakku khawatir.
Namun hantu noni Belanda itu sudah kalap, dia tak mendengarku. Aku menyentak tangannya hingga pegangannya padaku terlepas.
“Kakak, kita jangan berhenti … gawat kalau Mommy menangkap ki-“
“Lince, Ani tertinggal! Kita harus menjemputnya,” potongku gusar.
Setelah kubentak barulah Lince menyadari hal itu. Manik biru matanya bergerak liar, mengitari sekitarnya.
“Pasti Mommy sudah menangkapnya! Lebih baik kita ….”
Lince terdiam dan menatap nanar sesuatu di balik punggungku. Sontak aku mengikuti pandangannya. Saat menoleh aku menemukan Ani yang berdiri di belakangku. Aku menarik nafas lega.
“Untunglah kamu bisa mengejar kemari. Maaf, kami tak sengaja meninggalkanmu, Ani.”
Ani tak menyahutiku, wajahnya tampak datar ketika berjalan melewatiku. Apa dia marah karena kami tinggal? Ini semua gara-gara Lince yang terlalu panik hingga tak sadar telah meninggalkan Ani. Aku harus menegurnya.
“Lince, lain kali jangan ….”
Loh, kemana hantu noni Belanda itu? Ck, lagi-lagi dia menghilang sesukanya! Aku menggelengkan kepala gemas, lalu mengikuti langkah Ani yang berjalan menuju kamar kami. Begitu masuk kamar, Ani langsung merebahkan diri ke ranjang … menghadap ke tembok.
“Ani, apa benar kamu ingin tidur sekarang? Bagaimana dengan pesta daster kita? Gak jadi ngerumpi semalaman, nih?” kataku berusaha membujuknya supaya melupakan amarahnya.
Ani tak menjawab pertanyaanku. Tumben, gadis ini jadi sangat pendiam. Sayang aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena dia berbaring membelakangiku. Namun menilik sikapnya yang berubah dingin, kurasa memang dia marah padaku. Aku menghela nafas panjang, lalu ikut berbaring di sebelahnya.
“Ani, maafkan aku. Ehm, sebenarnya tadi kami tak berniat meninggalkanmu … tapi karena Lince terlalu kalut dia tak sadar kalau kamu tertinggal. Sepertinya dia takut sekali pada ibu tirinya. Entah mengapa seperti itu. Kurasa ibu tiri Lince itu bukan hantu yang baik, lebih baik kita ….”
Belum selesai aku berbicara, mendadak Ani berbalik dengan cepat dan menindihku sangat ketat. Tak hanya begitu, dia juga mencekik leherku. Mataku terbelalak begitu menyadari sesuatu. Manik mata Ani berubah biru! Ya Allah, sepertinya Ani kerasukan salah satu arwah hantu Belanda yang gentayangan tadi. Apa roh ibu tiri Lince yang memasuki sobatku itu?
“A-Ani, sadarlah! I-ini bu … bukan kamu! Kem-kembali Ani!”
“Grrrggghhh ….” Ani menggeram kasar. Suaranya jelas bukan miliknya. Dia benar-benar kerasukan!
Ya Allah! Apa yang harus kulakukan? Aku belum pernah bertemu dengan orang yang kerasukan setan. Dalam kebingungan seolah ada yang menuntunku untuk melafalkan ayat-ayat kursi. Aku melakukannya dengan serius.
Sadarlah, Ani. Pergi kau, hantu sialan!
Ani terus mencekikku, kesadaranku hampir menipis. Tidak, aku harus terus fokus melafalkan ayat-ayat kursi untuk menyadarkan Ani. Dia masih menggeram keras dengan mata melotot padaku, tetapi suaranya semakin perlahan. Manik biru matanya bertambah mengecil lalu menghilang. Cekikannya padaku terurai seketika. Ani menatapku dengan bingung.
“Fa-Fara … apa yang kulakukan? Apa yang terjadi padaku?” cicit Ani syok.
Kuelus leherku yang masih terasa perih. Tak sengaja aku melirik ke cermin, dari pantulan disana tampak bekas cekikan pada leherku. Ani memandangku dengan perasaan bersalah.
“Apa aku yang melakukan itu? Ya Allah, apa yang terjadi?”
“Kamu kerasukan, Ani.”
Mata Ani membelalak ngeri mendengar penuturanku. “Bagaimana mungkin? Aku hanya ingat, saat itu ketika tertinggal dari kalian … ada angin dingin yang mengenaiku lalu ….” Ani memandangku galau. “Aku tak ingat sesudahnya.”
“Pasti saat itu kamu dirasuki oleh salah satu hantu Belanda.”
“Yang mana?” cetus Ani penasaran.
Aku menggeleng. Meski tak yakin aku menduga roh yang merasuki Ani adalah milik ibu tiri Lince, karena sebelumnya Lince mengatakan bahwa roh ibu tirinya sedang mengincar kami.
“Apa dia?” tanya Ani lirih.
Dia? Siapa dia yang dimaksud Ani? Aku menoleh padanya dan menemukan sosok hantu nyonya Belanda yang memandang kami dengan keji. Aku yakin dia adalah ibu tiri Lince!
“Ani, lari!” teriakku sembari menyeretnya keluar kamar. Kali ini aku tak akan melepaskan dan meninggalkannya!
Kami berlari secepat mungkin, aku tak berani menoleh untuk mengecek keberadaan hantu jahat yang mengejar kami.
“Apa dia masih mengejar kita?” tanya Ani dengan nafas memburu.
Itu juga yang ingin kuketahui tapi aku tak berani memeriksanya!
“Jangan menoleh, kita lari secepat mungkin saja!”
Lari sejauh mungkin. Namun baru keluar dari pintu rumah, tampak segerombolan hantu-hantu Belanda yang menghadang di depan kami. Hendak berbalik sudah tak mungkin, karena dari belakang telah mendekat roh jahat ibu tiri Lince.
Kami sudah terkepung!
Bersambung.