Selama ini, ibunya tidak pernah memaksanya untuk menikah seperti saat ini. Charista selalu mendengarkan pendapatnya tentang pernikahan. Memang wanita paruh baya itu gencar menjodohkannya dengan beberapa lelaki, tetapi jika Cora merasa tidak cocok dan tidak ingin melanjutkan, maka Charista menerima keputusannya. Tetapi kali ini Cora bisa melihat kekecewaan yang begitu besar di mata ibunya.
“Maafkan Mama karena sudah bertindak egois dan nggak menceritakan apa pun.” Charista menatap Cora lembut dan menggenggam tangan putrinya itu, “Sudah saatnya kamu menikah, Sayang. Mama dan Papamu udah nggak muda lagi. Nggak tahu kapan ajal menjemput. Apa kamu tahu kalau Mama selalu iri melihat teman-teman yang selalu direpotkan cucu-cucu mereka? Mama takut, jika ajal akan menjemput Mama sebelum merasakan bermain cucu. Kamu anak kami satu-satunya. Mama sudah mengenal Tony, dia lelaki baik dan bertanggung jawab. Dia punya masa depan yang cerah. Mama nggak mungkin memaksamu menikah dengan sembarangan lelaki hanya karena Mama ingin menimang cucu.” Terlihat jelas raut kesedihan pada wajah Charista, tatapan wanita itu membuat hati Cora tersayat perih. Semua karnanya.
“Aku seorang wanita, Ma. Aku mau menikah dengan orang yang kucintai dan lelaki yang mencintaiku. Aku ingin menjadi pasangan seperti Papa dan Mama yang saling mencintai. Aku memang munafik saat mengatakan pernikahan hanya sebuah ikatan untuk mengikat pasangan.” Cora tidak dapat menahan perasaannya lagi, tanpa disadari air mata keluar dari sudut matanya. Ia kalut dan juga sedih.
“Mama ngerti, Sayang. Mama juga seorang wanita. Mama ceritakan satu rahasia kepadamu.” Charista mengeratkan genggaman tangannya, “Awalnya, Mama membenci sikap Papa yang terlalu lembut, sabar, dan begitu banyak hal yang Mama benci dari Papamu. Tetapi Papa nggak pernah menyerah untuk mencintai Mama dan tanpa sadar cinta hadir di hati Mama.”
Cora mengigit bibir bawah, sedang Charista tersenyum lembut dan mengusap air mata Cora.
“Apa kamu percaya jika Mama katakan cinta akan hadir pada saat yang tepat? Mungkin nanti, kamu akan jatuh cinta padanya atau dia akan mencintaimu seperti Papa mencintai Mama. Percayalah, Sayang. Dia akan membuatmu jatuh cinta. Hanya satu yang Mama minta. Menikahlah dengan Tony. Anggap aja ini permintaan terakhir dari kedua orangtuamu.” Charista menatap ke dalam manik mata putrinya, berusaha meyakinkan Cora bahwa inilah yang terbaik. Setidaknya, ia ingin Cora untuk membuka hati.
“Ma … aku … aku ….” Cora membiarkan perkataannya menggantung di udara.
Perasaannya kacau. Ia tidak bisa menolak permintaan ibunya, tetapi hati kecil menolak. Perkenalannya dengan pria itu hanya sebatas nama dan orang gila mana yang mau menikah dengan seorang asing yang tak ia kenali. Bagaimana caranya menghabiskan sisa hidupnya dengan pernikahan tak masuk akal? Terutama ia harus mengubur mimpinya tentang cinta. Jujur saja, ia ingin merasakan hangatnya cinta.
“Cora … kamu adalah hadiah terindah dari Tuhan untuk kami. Kami sangat mencintaimu dan mau kamu bahagia.” Charista menarik tubuh Cora yang bergetar ke dalam pelukannya. Ia mengusap-usap punggung Cora dan membiarkan putrinya menangis. Ia tahu jika ini tindakan egois, tapi mau sampai kapan Cora melajang? Usianya tak lama lagi. Bagaimana jika Cora menjadi perawan tua?
Lama Cora terdiam sebelum berkata, “Baiklah, Ma. Aku terima jika itu bisa membuat kalian bahagia.” Cora memeluk erat tubuh Charista, seakan tubuh renta itu dapat menampung sedikit kegelisahan hatinya.
Keduanya saling bertukar senyum. Charista mengucapkan terimakasih berulang kali pada putrinya. Kebahagiaan yang terpancar, membuat Cora ikut merasakannya. Saat keduanya sudah merasa sedikit tenang. Charista menarik Cora keluar menuju meja makan dan hendak membicarakan pernikahan putrinya.
“Maaf sudah menunggu lama,” ucap Charista sembari tersenyum, “Kenapa pada belum makan?” Charista kembali ke posisi duduknya semula. Cora menunduk begitu kembali ke tempatnya.
Tony menatap sendu wanita itu. Mata Cora terlihat sembab, tetapi ia tidak akan mengurungkan niatnya menikahi wanita itu. Saat Cora sedang larut dalam pikirannya sendiri sebuah kesepakatan telah terjadi di antara keluarga mereka. Keluarga Tony juga sudah membawakan berbagai seserahan untuk dirinya seperti; pakaian, perhiasan, dan segala macam barang-barang mahal. Pernikahan akan dilangsungkan dalam dua minggu ke depan. Saat mendengarkan kata dua minggu, Cora menarik napas panjang dan menghelanya. Ia semakin menunduk, lidahnya kelu, dan tidak dapat berkata-kata saat mendengarkan keputusan yang dibuat sepihak itu. Ia pasrah pada takdir. Jika ia tidak bisa merasakan cinta lagi, tetapi bisa membuat orangtuanya bahagia, mungkin itu yang sudah takdir rencanakan untuknya.
“You are mine and always be mine.” Tony membisikkan kata-kata yang membuat Cora melotot ke arahnya, namun diabaikan oleh Tony.
Ia baru mengerti dengan semua sikap aneh lelaki itu. Tony memang sudah merencanakan semua ini. Lelaki itu berhasil membuat hari-harinya kacau atau bisa disebut juga lelaki itu telah membuat hidupnya hancur berantakan. Pertemuan yang ia pikir hanya sebagai perkenalan antara dua keluarga, berakhir dengan lamaran.
Cora tidak tahu apa yang telah takdir rencanakan. Semudah itukah cinta hadir di antara mereka nanti? Apa keterbiasaan bisa menjadi jaminan atas hatinya yang akan kembali hidup? Memikirkan semua yang akan terjadi di dalam kehidupan pernikahan mereka nanti membuat kepalanya sakit. Tapi apa daya, ia bukanlah seorang anak durhaka yang bisa terus-terusan memberontak kedua orangtuanya. Walaupun tidak bisa menerima keegoisan ibunya itu, ia tidak ingin membuat ibunya merasa kecewa. Walau bagaimanapun, Cora sangat mencintai kedua orangtuanya. Ia tahu dirinya sendirilah penyebab kerisauan mereka.